Konser Amal Laboratorium Riset Biomolekuler di NTT: Untuk Apa?
Konser Amal ‘Harmonivasi Dari Timur: Harmoni dan Inovasi- Mendukung Riset Biomolekuler di NTT.
Ancaman virus ASF (African Swine Fever) yang mematikan puluhan ribu ternak babi di NTT hingga hari ini tidak mendapatkan perhatian dari ‘pemerintah pusat’.
Di Kabupaten Belu saja, angka kerugian hingga pertengahan Juli sudah mencapai angka 33 Miliar.
Untuk memeriksa sampel, NTT harus mengirimkan sampel ke Sumatra Utara. DI NTT urusan sumber daya manusia tidak kurang. Tetapi dukungan infrastruktur teknologi tidak ada.
Akibatnya kita hanya bisa mengeluh, dan rakyat hanya bisa menangis, sebab aspek penghidupan (livelihood) dan tabungan mereka lenyap begitu saja tanpa ada daya perlindungan negara.
Hal yang sama juga dialami oleh para peneliti biomolekuler asal NTT ketika berhadapan dengan pandemi Covid-19. Ilmu mereka tidak banyak dimengerti di sini, sehingga kadang ada yang berkomentar bahwa ‘ini ilmuwan nekad’.
Virus memang berbahaya, tetapi jika dengan ‘mental mode’ yang memadai elemen-elemen mikrobiologi ini bisa dihadapi dengan mata terbuka. Kita tidak hanya menjadi konsumen vaksin, maupun pasar bagiperusahaan bio-pharmacy global, tetapi kita punya agenda tersendiri untuk kepentingan warga. Hal ini sederhana, tetapi dilupakan.
Contohnya ketika krisis dan terjadi kelangkaan PCR, reagen, bahkan masker N-95. Indonesia bukanlah negara produsen utama untuk ketiga hal ini. Kita adalah importir.
Mungkin sebagian orang Indonesia adalah peneliti di berbagai perusahaan dunia, tetapi di rumah mereka, visi aparat pemerintahan mereka tetap lah konsumer sejati, bukan inovator.
Sambil tiap kali publik harus waspada mengawasi apakah ada pemburu rente yang sedang mengintai kebijakan yang ditelurkan.
Berhadapan dengan situsi ini, para peneliti biomolekuler butuh dukungan rakyat. Kita butuh sesuatu yang bisa dibandingkan dengan ‘arus utama’. Tanpa penelitian tidak mungkin ada inovasi. Sekian turunan kebijakan dari WHO, sumbernya adalah riset.
Tetapi di Indonesia diperlakukan seolah fatwa WHO turun dari langit, bukan dari hasil kerja berkeringat di dalam hazmat para peneliti dalam laboratorium dalam rentang waktu tertentu.
Apakah sudah minta dukungan negara? Visi semacam ini masih belum dikenali di kampus sekali pun.
Jika kampus saja juga masih merasa asing dengan kerja interdisipliner, kita mungkin butuh 30 tahun baru ide semacam ini diadopsi sebagai kebijakan publik. Elit kita jarang mengenali detil pembuatan dan isi dapur pembuatan kebijakan.
Elit kita sering lalai pada metode, dan suka dengan kesimpulan prematur dan bombastis. Untuk memenuhi arus informasi sikap ini mungkin cukup. Tetapi jika tujuannya untuk selamat, ini ceroboh.
Apakah kita punya waktu menunggu ketika berhadapan dengan situasi emergency? Jawabannya tidak.