Kasus Kudatuli 1996, Simbol Pelawanan Megawati Terhadap Rezim Orde Baru? Simak Kisahnya Di Sini!
Saat itu, Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI), tidak diakui kepemimpinannya oleh rezim Orde Baru.
Kasus Kudatuli 1996, Simbol Pelawanan Megawati Terhadap Rezim Orde Baru? Simak Kisahnya Di Sini!
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Peristiwa Kerusuhan 27 Juli (Kudatuli) pada 1996, telah berlalu 24 tahun. Namun insiden berdarah itu tak lekang dari ingatan warga, terlebih dalam lingkungan keluarga korban.
Bahkan hingga saat ini, keluarga korban juga terus menuntut agar pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi segera mengungkap kasus tersebut.
Namun, terlepas dari kasus hukum pasca insiden 27 Juli 1996 itu, sejatinya, peristiwa Kudatuli disebut-sebut sebagai simbol perlawanan Megawati Soekarnoputri terhadap Rezim Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto.
Benarkah asumsi tersebut? Jika benar demikian, lantas bagaimana dengan penanganan kasus pidana saat peristiwa Kudatuli? Mengapa Bu Mega diam sampai sekarang?
Saat itu, Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI), tidak diakui kepemimpinannya oleh rezim Orde Baru.
• Ini Kisah Kudatuli, Pertikaian Politik PDI Yang Berujung Insiden, Momen Awal Membesarkan Bu Mega
• Sudah 24 Tahun Bu Mega Diam, Kasus Kerusuhan 27 Juli 1996 Pun Terdiam Sampai Sekarang, Kenapa Ya?
• Pilkada 2020, 573 PPDP Lakukan Coklit Hingga 13 Agustus 2020
Rezim Orde Baru malah mengesahkan dan mengakui kepemimpinan Soerjadi, yang menggelar kongres tandingan PDI pada 1996 di Medan.
Dualisme di tubuh partai itu pun makin menjadi-jadi dan berujung tragedi.
Pada 27 Juli 1996, kubu pendukung Soerjadi mengepung Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Peristiwa itu menewaskan banyak orang dan menghilangkan pula banyak pendukung Megawati lainnya. Belum termasuk banyaknya korban luka-luka akibat peristiwa tersebut.
Ratusan orang juga ditangkap akibat melakukan perusakan dan pembakaran, yang diantaranya merupakan massa pro-Megawati, pro-Soerjadi, dan oknum lain.
Megawati Golput pada Pemilu 1997 Setelah peristiwa itu, PDI pecah menjadi dua kubu. Pemerintah Orde Baru tetap hanya mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah.
Ada dua pilihan bagi pendukung Megawati ketika itu. Pilihan pertama adalah tidak menggunakan hak pilihnya, atau kedua dengan cara mengalihkan dukungan ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Bahkan, saat itu muncul slogan "Mega Bintang" pada Pemilu 1997. Slogan ini punya dua makna.
Pertama, tanda bahwa pendukung Megawati kini mendukung PPP yang berlambang bintang. Kedua, sebagai upaya melekatkan Megawati dengan Sri Bintang Pamungkas, politikus PPP yang ditahan pemerintah Soeharto atas tuduhan subversif setelah dia mencalonkan diri sebagai presiden.
Megawati baru bersuara pada 22 Mei 1997. Saat itu, dia menggelar konferensi pers di kediamannya, terkait sikapnya pada Pemilu 1997.
Dilansir dari Harian Kompas, Megawati mengejutkan publik saat dia menyatakan memilih untuk tidak memilih. Megawati tak menggunakan hak politiknya pada Pemilu 1997.
Namun, Megawati membebaskan pendukungnya untuk menentukan sikap terkait Pemilu 1997.

"Dengan keprihatinan sangat mendalam, saya menyatakan pada hari ini hak politik saya sebagai warga negara tidak akan saya gunakan dalam pemilu 29 Mei 1997," kata Megawati saat konferensi pers dalam dokumen Associated Press (AP).
"Tetap berpegang pada kata hati nurani saat saudara-saudara menggunakan hak politik dalam pemilu kali ini," lanjut dia.
Mendirikan PDI Perjuangan Setelah Soeharto jatuh dan reformasi bergulir, masih banyak pendukung yang berharap Megawati naik sebagai presiden.
Salah satu cara adalah dengan memanfaatkan Pemilu 1999. Guna menyongsong kontestasi politik pada 1999 itu, Megawati beserta pendukungnya mendeklarasikan PDI Perjuangan (PDI-P) pada 14 Februari 1999.
Dilansir Harian Kompas yang terbit pada 15 Februari 1999, Megawati yang disambut antusias lebih dari 200.000 simpatisannya, mengatakan, tidak ada alasan lain untuk menunda perubahan nama dan lambang partainya.
Sejak kelahiran PDI pada 10 Januari 1973, baru kali ini PDI meskipun dengan nama PDI Perjuangan, diizinkan tampil di stadion berkapasitas 120.000 itu.
• Pemerintah Kota Kupang Tutup Puskesmas Pasir Panjang Sampai Waktu yang Belum Ditentukan
• Keluarga Tak Percaya Yodi Prabowo Bunuh Diri, Tunjukan Bukti dari Orang Pintar, Ini Reaksi Polisi
• Lakalantas di Sikka, Ini Nama Korban Meninggal Dunia
Gagal Jadi Presiden
Pada Pemilu 1999, PDI-P menjadi pemenang dengan meraih sekitar 36,6 juta suara.
Namun, Megawati tidak serta merta menjadi presiden. Sebab, pemilihan presiden dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Saat itu, ada dua kubu yang bersaing di MPR, yaitu PDI-P dan Partai Golkar yang dinilai sebagai pewaris Orde Baru. Ketua MPR Amien Rais melakukan manuver dengan membuat Poros Tengah.
Poros Tengah pun mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden dengan mengalahkan Megawati dalam voting di MPR. Megawati kalah voting pemilihan presiden dengan 373 banding 313 suara.
Megawati pun menjalani perannya sebagai Wakil Presiden. Namun, pada 2001, dinamika politik memunculkan sejumlah manuver yang membuat Gus Dur dijatuhkan dari kursi presiden.

• 70 Persen Pemilih di TTU Sudah Lakukan Coklit
• Wagub NTT Minta Dinas Kominfo Percepat Elektronifikasi Administrasi Perkantoran
• KPU Belu Kerahkan 425 PPDP Lakukan Coklit Data Pemilih di Belu
Setelah itu, Megawati ditunjuk sebagai presiden.
Megawati berpasangan dengan Hamzah Haz memimpin hingga 2004.
Saat Megawati-Hamzah haz memimpin, terjadi juga sejumlah pembahasan untuk melaksanakan pemilu presiden secara langsung.
Pada 2004, Indonesia pun menggelar pilpres secara langsung. Megawati sebagai petahana dimajukan PDI-P untuk berpasangan dengan Ketua Umum Nahdlatul Ulama saat itu, KH Hasyim Muzadi.
Namun, pasangan ini kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Pada 2009, Megawati juga maju berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Namun, lagi-lagi dia kalah dari SBY yang berpasangan bersama Boediono. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Peristiwa "Kudatuli" dan Megawati yang Jadi Simbol Perlawanan Orba...", https://nasional.kompas.com/read/2020/07/27/11264561/peristi wa-kudatuli-dan-megawati-yang-jadi-simbol-perlawanan-orba?p age=all#page2