Asa Belum Pupus 75 Tahun Indonesia Merdeka Wolokota Ende Masih Terisolir TNI Sudah Melangkah
Asa warga Wolokota Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur ( Provinsi NTT) menikmati akses jalan belum pupus
Penulis: Laus Markus Goti | Editor: Kanis Jehola
Pria-pria kekar berbaju loreng berdiri mengelilingi sementara Heronimus Wowa semangat bercerita. Ia dan tiga rekannya baru pulang berladang lalu mampir di situ. Mereka mampir untuk membagi bekal nasi ketupat kepada anggota TNI.
Sejak ada anggota TNI di situ Heronimus selalu bawa bekal lebih dan membantu TNI bekerja. Heronimus senang anggota TNI semangat bekerja. "Mereka sangat ramah, jujur awal-awal kami takut tapi ternyata mereka ramah," kata Heronimus, disambut tawa anggota TNI.
Jalan pulang Heronimus ke rumah di Wolokota masih jauh dan menantang. Mereka bertaruh nyawa menyusuri lereng bukit sambil mengenggam erat rerumputan atau akar-akar pohon agar tidak terpeleset ke dalam jurang.
Desa Heronimus tak kelihatan, ada di sebelah timur, di balik bukit. Dari tempat kami duduk, kami hanya bisa memandang jauh ke arah barat, jurang yang curam, bukit-bukit, laut dan permukiman warga Desa Reka, Desa tetangga Wolokota.
Tidak ada akses jalan ke Wolokota. Dari Kota Ende jalan mentok di Desa Reka, itu pun jalan masih berbatu. Medannya sangat menantang, karena melingkar di lereng-lereng bukit. Dari atas kendaraan kita bisa melihat jelas curang curam.
Warga Wolokota biasanya gotong-royong membawa hasil bumi untuk dijual di Pasar di Kota Ende. Mereka lebih memilih lewat jalur laut ketimbang harus berjalan kaki menyusuri lereng bukit.
Lewat jalur laut pun sangat menantang karena tak ada pantai, tidak ada dermaga, laut langsung bersentuhan dengan tebing curam. Mereka mengunakan sampan kecil lalu pindah ke perahu motor yang berlabuh kurang lebih satu kilometer dari daratan.
Kembali dari Kota Ende atau dari daerah lain, jika mereka membawa ternak besar seperti sapi, maka sapi pun dipaksa berenang.
Karena jaraknya cukup jauh untuk sampai ke daratan, sapi diikat di leher lalu ujung talinya lempar ke orang-orang yang sudah menunggu di daratan. Mereka menarik tali, membantu sapi agar tidak kecapean berenang.
Saat musim ombak, akses laut mati total. Warga terpaksa memilih lewat jalur darat, menyusuri lereng-lereng bukit yang curam.
Cerita Heronimus dan kawan-kawan menegangkan. "Yah begitulah penderitaan kami sejak Indonesia merdeka sampai hari ini," ungkap Heronimus sembari mengusap peluhnya.
Setelah berpamitan Heronimus dan kawan-kawan mulai pelan-pelan merayapi bukit. Setelah cukup jauh, Ia melempar senyum dan melambaikan tangan.
Kini pria-pria kekar berbaju loreng kembali beraksi. Gemuruh suara exavator kembali terdengar. Cakarnya sering terpental saat bertemu cadas, sang operator pun ikut terguncang. Serempak mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya tanpa ada yang memberi aba-aba.
Yeremias Bertaruh Nyawa di Bibir Jurang
Ada kisah menegangkan beberapa waktu lalu, ketika salah satu personil TMMD berjibaku di bibir jurang meruntuhkan tanah dan batu.