Opini Pos Kupang

Berdoa di "Katedral Udara" (Relevansi Tulisan Saya tahun 2001 dan kini 2020)

Aimee Semple McPherson, seorang perempuan berbakat dalam urusan propaganda agama Kristen, di tahun 1920-an, pernah membuat kejutan

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Berdoa di
Dok
Logo Pos Kupang

Oleh : Prof. Dr. Alo Liliweri, Guru Besar Ilmu Komunikasi UNDANA, Kupang

POS-KUPANG.COM - Steward L. Tubbs dan Sylvya Moss dalam buku mereka "Human Communication" (Hayden Book Company, 1985) berceritera tentang seorang perempuan, nama perempuan itu, Aimee Semple McPherson. Aimee, seorang perempuan berbakat dalam urusan propaganda agama Kristen, di tahun 1920-an, pernah membuat kejutan.

Sister Aimeee, demikian dia dipanggil oleh komunitas kecil keagamaan Kristen di Los Angelos, merintis penyebaran Injil melalui media elektronik. Tidak tanggung-tanggung, Aimee mendirikan apa yang dia sebut "Katedral Udara" yang berfungsi menyebarluaskan agama Kristen dari stasiun radio dan kuil Anglus-nya juga di Log Angeles.

Kata Aimee, propaganda agama untuk menjangkau banyak orang yang tinggal di tempat-tempat yang berbeda-beda tak mungkin menggunakan cara biasa, maka dianjurkan memanfaatkan media elektronik, radio dan televisi. Aimee ingin membuktikan bahwa gereja tidak lagi terbatas pada altar atau mimbar, sebagai media orang mendengarkan sabda Tuhan.

Kawin Tangkap Boleh Atau Tidak?

Atas usahanya yang gigih itu Aimee menjadi perempuan pertama yang memperoleh lisensi penyiaran dari Federal Communiation Commission, yang memberi dia kepercayaan "agar dapat mengembangkan metode baru propaganda agama pada abad ini".

Dia, Aimee, juga dapat disebut sebagai pendeta modern pertama yang menggunakan hampir semua media bagi penyebarluasan ajaran agama, yakni radio, rekaman, film, buku dan pamflet.

Pada masa gemilangnya, Aimee memiliki jutaan penggemar di seluruh dunia, yang bergabung dalam International Churuch of the Fouerswuare Gospel. Dia merupakan pelopor utama para penyebar Injil melalui televisi.

Debitur Bank NTT Muhammad Ruslan Ditangkap Kejati NTT Setelah Jadi DPO

Dia juga yang menyebarluaskan "gereja elektronik" melalui ketangkasan penggunaan promosi, televisi, surat menyurat, rekaman pesan, pengajaran Injil dari rumah dll. Aimee mengerti bahwa "metode propaganda modern" sangat penting bagi "perdagangan" agama, sebuah pelajaran yang oleh para pengikutnya -Oral Roberts, Jerry Falwell, Pal Rbertson, Jim dan Tammy Baker -dapat dipelajari dari "pertunjukan teologi" milik Aimee. Agama popular dalam era propaganda seperti ini di-karakteristiki oleh usaha promosi yang terus menerus, bukan hanya untuk mempermudah kembali keyakinan, tetapi juga untuk memperluas khalayak permirsa dan memenuhi koleksi kekuatan elektronik.
***
Pertanyaan kita adalah mengapa -oleh banyak pengikutnya -metode propaganda agama versi Aimee itu disebut "Katedral Udara"? Istilah `kateral' (cathedra = bahasa Yunani) merujuk pada gereja dengan takta uskup diosisan yang dahulu ditempatkan di belakang altar.

Dari situlah uskup memimpin perayaan ekaristi dan berkotbah. Takhta, tempat uskup mengajar itu menunjukkan martabat istimewa di mata umat, sehingga "gereja katedral" itu lama kelamaan menjadi gereja induk seluruh keuskupan.

Setidak-tidaknya, bagi Aimee, tetap mengakui katedral secara fisik maupun imani. Namun peran katedral sebagai gereja induk -tempat ajaran-ajaran Kristen disebarluaskan itu -perlu diubah supaya makin banyak umat mendengarkan "kabar gembira" tentang Yesus.

Aimee ingin bilang mengapa untuk menyebarluaskan informasi tentang Tuhan dan Kristus putera-Nya harus dari mimbar atau altar gereja katedral? Mengapa orang yang mendengarkan khotbah (di luar kewajiban bagi orang Kristen agar ke gereja pada hari minggu) harus duduk di gereja, ke rumah pendeta atau pastor, apakah tidak dicari metode lain supaya penyebaran pesannya lebih luas tanpa mengurangi peran para pelayan maupun pesan kotbah itu sendiri?

Dilihat dari sisi ini, peranan media massa untuk mendukung "propaganda agama" (bahasa ilmiah komunikasi untuk menerangkan penyiaran agama, komunikasi agama atau daqwah) maka pilihan Aimee itu benar. Mengapa? Karena; pertama, media massa bersifat satu arah, karena sifatnya yang satu arah ini maka dia berkembang ke sasaran tanpa menunggu reaksi balik. Kecepatan dan kepraktisan penyebarluasan Injil dapat dilakukan melalui media satu arah itu.

Inilah yang memberikan inspirasi bagi perancang propaganda agama untuk memanfaatkan media semaksimal mungkin sehingga makin banyak orang yang mengetahui "khabar baik".

Kedua, media massa dalam sistem komunikasi massa sangat berkaitan dengan seleksi. Oleh karena itu maka setiap media memilih khalayak yang dia ingin jangkau. Misalnya melalui media massa disediakan ruang dan waktu khusus untuk propaganda agama, setidak-tidaknya memilih sasaran surat kabar, majalah, radio dan televisi serta VCD- apakah untuk kelas bawah, menengah atau kelas atas.

Dari sini para pendengar pun memilih pesan Injil apa yang relevan bagi mereka. Khalayak juga diberi peluang untuk memilih apakah harus mendengarkan radio, menonton televisi, atau membaca surat kabar saja.

Ketiga, media massa dikenal mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk menjangkau khalayak yang luas dan terpencar, baik pencaran geografis, pencaran social budaya. Media membuka peluang bagi keikutsertaan banyak orang untuk menghayati agama secara berbeda menurut situasi sosial dan budayanya.

Kalau kerja Aimee itu ditelaah dalam cara pandang ilmu komunikasi, komunikasi massa, maka Aimee melalui "Katedral Udara" itu berusaha sedapat mungkin menciptakan media untuk dapat digunakan khalayak sasarannya - yang dalam istilah teoretis disebut "uses and gratification", suatu pendekatan yang baru dikembangkan secara luas tahun 1940-an, atau 20 tahun setelah inovasi Aimee.

Prinsip "uses and gratification" ini mengemukakan bahwa khayalak akan menentukan untuk apa media dan isi pesannya yang akan dapat digunakan sebagai pemuas kebutuhan dan keinginannya. Jadi media dapat (pertama) digunakan sebagai pesan (medium is a message) yang pada akhirnya mencapai suatu tujuan tertentu dalam lingkungan social kita; (kedua) media dapat memberikan kesempatan yang luas bagi khalayak memilih jenis dan isi media untuk memenuhi kebutuhannya; (ketiga) media dijadikan sebagai sumber pesaing bagi sumber informasi yang lain (karena setiap orang pun dapat mendapatkan informasi tentang Injil dari sumber non-media massa; dan (keempat) khalayak mengetahui kebutuhan tersebut dan dapat memenuhinya jika dikehendaki.

Meskipun waktu itu Aimee belum menganalisis lingkungan sosial (ANSOS, analisis sosial) namun dia berusaha benar memahami ciri-ciri demografis,afiliasi kelompok (kepada kelompok mana seseorang suka berkumpul atau berkiblat), ciri-ciri perilaku khalayak, kebutuhan khalayak (apakah lebih suka perikop Injil sesuai dengan konteks profesi, atau injil dalam bahasa sehari-hari; dll.).

Semua itu diusahakan untuk menambah pengetahuan, membangkitkan perasaan beragama (pelepasan ketegangan atau melarikan diri dari kenyataan hidup) serta mengantar khalayak ke tindakan keberagamaan seperti solider intraumat atau antar umat beragama.

Kini apa yang diprakarsai Aimee telah menjadi kenyataan (catatan, tahun 2001). Kita dapat mengikuti pelbagai propaganda agama, kegiatan keagamaan mulai dari menggunakan media massa cetak sampai elektronik yang dikemas, tidak saja dalam khotbah yang konvensional tetapi dialihkan ke dalam bentuk ceritera, film sinetron dll.
Semuanya agar dapat menjangkau khalayak yang lebih luas, bukan khalayak intraagama saja tetapi juga antaragama, jadi didengar juga oleh orang-orang beragama lain. Apa yang dilakukan oleh Aimee sebenarnya semacam satu "protes", karena dia yakin massa, terutama umat Kristen tidak boleh menjadikan agama sebagai sekadar berdoa dan bernyanyi secara `tradisional' di gereja, tetapi orang Kristen diajak untuk dapat mendengarkan dengan seksama propaganda agama Kristen maupun agama lain melalui media massa.

Rintisan Aimee, yang pada mulanya mungkin ditertawakan orang, kini malah telah memasuki trend ekspresif zaman pos modern yang ditandai oleh pergolakan sosial yang cepat beriring dengan pergolakan teknologi komunikasi dan teknologi media massa.

Namun, kita tak sekadar bersaksi atas progresivitas pergolakan sosial, termasuk keagamaan maupun kecanggihan teknologi pos industri abad ini . Di sisi lain, kita dihadapkan pada seribu krisis kemanusiaan: mulai dari krisis diri, alienasi, depresi, stress, keretakan institusi keluarga, sampai beragam penyakit yang mengguncang diri kita di tengah situasi krisis dewasa ini, tak lain adalah hadirnya perasaan ketidaknyamanan psikologis termasuk hidup beragama yang antara lain juga dapat ditimbulkan oleh media. (lihat tulisan Sukidi, New Spiritual Era, KOMPAS 30 Juni 2000).

Melalui perkembangan teknologi media massa itulah kita merasakan salah satu dampak yang positif dari propaganda agama, kita dapat mengenal dan mengikuti dan memahami keberadaan agama kita sendiri maupun agama lain, terutama mengetahui perbedaan antarumat beragama antara lain Kristen dan non Kristen, antara intra Kristen maupun intra Islam setidak-tidaknya dalam cara mempersepsikan, bersikap, dan malah bertingkah laku berdasarkan ajaran agama.

Di sini, dampak media massa elektronik telah mengubah gereja atau katedral konvensional menjadi "gereja elektronik" untuk membangun satu massa jemaat, "jemaat elektronik" pula.

Kita tak sadar kalau dampak media massa dalam propaganda agama ternyata dapat menumbuhkan apa yang di sebut "new spirituality age" atau zaman spiritualitas baru.
Memang dilihat dari segi historisnya, "new spirituality age" itu di barat, khususnya Amerika Utara, situasi krisis serupa, justru diiringi meningkatnya ketidakpercayaan pada institusi agama formal (a growing distrust of organized religion). Barangkali, ekstrimnya seperti dislogankan oleh futurolog John Naisbitt bersama istrinya, Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000, Sprituality Yes, Organized Religion No!

New Spirituality Age itu sebenarnya telah tampil sebagai alternative dari protes terhadap kegagalan gereja Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan. Karena itu maka new agers menoleh pada spiritualitas baru lintas agama yang begitu kuat berpegang pada prinsip spirituality: the heart of religion.

Tradisi spiritual new agers lintas agama ini, tidak saja dapat mengobati kegersangan spiritual yang sekian lama hampa dari lingkungan agama formal, tetapi juga memberi muara kepada new agers ke arah terwujudnya universal religion. Agama universal, dimana ada proses awal kesadaran akan All is God and God is All yang menjadi sandaran doktrin panteisme, tetapi kemudian bergeser ke arah kesadaran spiritualitas new age yang meyakini bahwa "hanya ada satu realitas yang eksis". Semua agama, begitu meyakinkan new agers, hanyalah sekadar jalan-jalan menuju kepada satu realitas yang menjadi ultimate reality dari semua pejalan spiritual (agama-agama). (*)
*) tulisan ini merupakan ceramah dalam acara pembekalan kepada anggota THS/THM Paroki St Maria Assumpta, Kupang, 18 Desember 2001. Kini ditayangkan lagi untuk melihat relevansinya pada era New Normal 2020.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved