Opini Pos Kupang
Berdoa di "Katedral Udara" (Relevansi Tulisan Saya tahun 2001 dan kini 2020)
Aimee Semple McPherson, seorang perempuan berbakat dalam urusan propaganda agama Kristen, di tahun 1920-an, pernah membuat kejutan
Ketiga, media massa dikenal mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk menjangkau khalayak yang luas dan terpencar, baik pencaran geografis, pencaran social budaya. Media membuka peluang bagi keikutsertaan banyak orang untuk menghayati agama secara berbeda menurut situasi sosial dan budayanya.
Kalau kerja Aimee itu ditelaah dalam cara pandang ilmu komunikasi, komunikasi massa, maka Aimee melalui "Katedral Udara" itu berusaha sedapat mungkin menciptakan media untuk dapat digunakan khalayak sasarannya - yang dalam istilah teoretis disebut "uses and gratification", suatu pendekatan yang baru dikembangkan secara luas tahun 1940-an, atau 20 tahun setelah inovasi Aimee.
Prinsip "uses and gratification" ini mengemukakan bahwa khayalak akan menentukan untuk apa media dan isi pesannya yang akan dapat digunakan sebagai pemuas kebutuhan dan keinginannya. Jadi media dapat (pertama) digunakan sebagai pesan (medium is a message) yang pada akhirnya mencapai suatu tujuan tertentu dalam lingkungan social kita; (kedua) media dapat memberikan kesempatan yang luas bagi khalayak memilih jenis dan isi media untuk memenuhi kebutuhannya; (ketiga) media dijadikan sebagai sumber pesaing bagi sumber informasi yang lain (karena setiap orang pun dapat mendapatkan informasi tentang Injil dari sumber non-media massa; dan (keempat) khalayak mengetahui kebutuhan tersebut dan dapat memenuhinya jika dikehendaki.
Meskipun waktu itu Aimee belum menganalisis lingkungan sosial (ANSOS, analisis sosial) namun dia berusaha benar memahami ciri-ciri demografis,afiliasi kelompok (kepada kelompok mana seseorang suka berkumpul atau berkiblat), ciri-ciri perilaku khalayak, kebutuhan khalayak (apakah lebih suka perikop Injil sesuai dengan konteks profesi, atau injil dalam bahasa sehari-hari; dll.).
Semua itu diusahakan untuk menambah pengetahuan, membangkitkan perasaan beragama (pelepasan ketegangan atau melarikan diri dari kenyataan hidup) serta mengantar khalayak ke tindakan keberagamaan seperti solider intraumat atau antar umat beragama.
Kini apa yang diprakarsai Aimee telah menjadi kenyataan (catatan, tahun 2001). Kita dapat mengikuti pelbagai propaganda agama, kegiatan keagamaan mulai dari menggunakan media massa cetak sampai elektronik yang dikemas, tidak saja dalam khotbah yang konvensional tetapi dialihkan ke dalam bentuk ceritera, film sinetron dll.
Semuanya agar dapat menjangkau khalayak yang lebih luas, bukan khalayak intraagama saja tetapi juga antaragama, jadi didengar juga oleh orang-orang beragama lain. Apa yang dilakukan oleh Aimee sebenarnya semacam satu "protes", karena dia yakin massa, terutama umat Kristen tidak boleh menjadikan agama sebagai sekadar berdoa dan bernyanyi secara `tradisional' di gereja, tetapi orang Kristen diajak untuk dapat mendengarkan dengan seksama propaganda agama Kristen maupun agama lain melalui media massa.
Rintisan Aimee, yang pada mulanya mungkin ditertawakan orang, kini malah telah memasuki trend ekspresif zaman pos modern yang ditandai oleh pergolakan sosial yang cepat beriring dengan pergolakan teknologi komunikasi dan teknologi media massa.
Namun, kita tak sekadar bersaksi atas progresivitas pergolakan sosial, termasuk keagamaan maupun kecanggihan teknologi pos industri abad ini . Di sisi lain, kita dihadapkan pada seribu krisis kemanusiaan: mulai dari krisis diri, alienasi, depresi, stress, keretakan institusi keluarga, sampai beragam penyakit yang mengguncang diri kita di tengah situasi krisis dewasa ini, tak lain adalah hadirnya perasaan ketidaknyamanan psikologis termasuk hidup beragama yang antara lain juga dapat ditimbulkan oleh media. (lihat tulisan Sukidi, New Spiritual Era, KOMPAS 30 Juni 2000).
Melalui perkembangan teknologi media massa itulah kita merasakan salah satu dampak yang positif dari propaganda agama, kita dapat mengenal dan mengikuti dan memahami keberadaan agama kita sendiri maupun agama lain, terutama mengetahui perbedaan antarumat beragama antara lain Kristen dan non Kristen, antara intra Kristen maupun intra Islam setidak-tidaknya dalam cara mempersepsikan, bersikap, dan malah bertingkah laku berdasarkan ajaran agama.
Di sini, dampak media massa elektronik telah mengubah gereja atau katedral konvensional menjadi "gereja elektronik" untuk membangun satu massa jemaat, "jemaat elektronik" pula.
Kita tak sadar kalau dampak media massa dalam propaganda agama ternyata dapat menumbuhkan apa yang di sebut "new spirituality age" atau zaman spiritualitas baru.
Memang dilihat dari segi historisnya, "new spirituality age" itu di barat, khususnya Amerika Utara, situasi krisis serupa, justru diiringi meningkatnya ketidakpercayaan pada institusi agama formal (a growing distrust of organized religion). Barangkali, ekstrimnya seperti dislogankan oleh futurolog John Naisbitt bersama istrinya, Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000, Sprituality Yes, Organized Religion No!
New Spirituality Age itu sebenarnya telah tampil sebagai alternative dari protes terhadap kegagalan gereja Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan. Karena itu maka new agers menoleh pada spiritualitas baru lintas agama yang begitu kuat berpegang pada prinsip spirituality: the heart of religion.
Tradisi spiritual new agers lintas agama ini, tidak saja dapat mengobati kegersangan spiritual yang sekian lama hampa dari lingkungan agama formal, tetapi juga memberi muara kepada new agers ke arah terwujudnya universal religion. Agama universal, dimana ada proses awal kesadaran akan All is God and God is All yang menjadi sandaran doktrin panteisme, tetapi kemudian bergeser ke arah kesadaran spiritualitas new age yang meyakini bahwa "hanya ada satu realitas yang eksis". Semua agama, begitu meyakinkan new agers, hanyalah sekadar jalan-jalan menuju kepada satu realitas yang menjadi ultimate reality dari semua pejalan spiritual (agama-agama). (*)
*) tulisan ini merupakan ceramah dalam acara pembekalan kepada anggota THS/THM Paroki St Maria Assumpta, Kupang, 18 Desember 2001. Kini ditayangkan lagi untuk melihat relevansinya pada era New Normal 2020.