Pater Robert Ramone: Kawin Tangkap Bukan Budaya Sumba
Pemerhati budaya Sumba, Pater Robert Ramone, CSsR menegaskan, kawin tangkap bukan budaya Sumba
POS-KUPANG.COM - Pemerhati budaya Sumba, Pater Robert Ramone, CSsR menegaskan, kawin tangkap bukan budaya Sumba.
Pater Robert dalan pesan WhatsApp kepada Pos Kupang menjelaskan, kawin lari sesungguhnya sudah sangat amat jarang terjadi di Sumba dibanding tahun-tahun ketika dirinya masih anak-anak hingga remaja di kampung Kodi, Sumba Barat Daya, sekitar tahun 70-an.
Pater Robert menjelaskan, beberapa alasan mengapa terjadi kawin lari atau kawin tangkap, yakni pertama pria dan wanita suka sama suka tapi orang tua kedua belah pihak atau salah satu pihak entah orang tua wanita atau pria tidak setuju lalu terjadi kawin lari. Pertimbangan mereka adalah dengan cara kawin lari, orang pasti setuju.
• Bupati Kornelis Minta Stop Kawin Tangkap, Langgar HAM dan Hak Perempuan
Kedua, tidak saling mencintai. Cinta yang seharusnya sebagai syarat sebuah pernikahan tapi tak terjadi. Biasanya hanya laki-laki yang mau atau ngebet tapi pihak wanita tidak cinta (bertepuk sebelah tangan) lalu pria menculik wanita kesukaannya.
Bila wanita sudah diculik, biasanya orang tuanya setuju kendati pun sangat terpaksa.
Satu prinsip yang dipegang oleh orang tua wanita adalah tidak mau malu dengan tetangga atau bahkan lebih menjaga puterinya untuk tidak menjadi bahan pergunjingan "sudah ternoda".
• Parodi Situasi Minggu 19 Juli 2020: Taman Cinta Ditutup
Lanjut Pater Robert, bisa saja orang tua wanita merebutnya kembali tapi akibat lebih lanjut adalah puterinya "tidak laku lagi".
Biasanya pada alasan nomor dua ini haruslah keluarga pihak pria lebih superior dari pada keluarga wanita. Superior dalam banyak arti seperti punya pengaruh dan kedudukan dalam masyarakat dan keluarga kaya.
Biasanya pada tahun 70-an bila merancang kawin lari pada alasan ini maka keluarga pria harus terlebih dahulu mempersiapkan banyak hal seperti hewan untuk mas kawin sudah diikat di sepanjang jalan menuju kampung asal wanita sehingga saat terjadi penculikan maka pihak keluarga yang mencari melihat banyak hewan diikat di sepanjang jalan maka tahulah mereka bahwa inilah mas kawin untuk anak puteri mereka. Bila sudah demikian pembicaraan tidak begitu rumit lagi.
Ketiga untuk perdamaian keluarga. Contohnya kedua ayah ibu dari pria dan wanita telah bermusuhan sekian lama entah karena alasan batas tanah atau peristiwa pembunuhan salah satu pihak keluarga lalu pria dan wanita dari kedua keluarga bermusuhan merancang pernikahan minggat dari rumah dengan tujuan agar keluarga mereka yang bermusuhan dapat berdamai.
Alasan ini seringkali jitu terjadi perdamaian tapi seringkali malah menambah kerunyaman hubungan bahkan lebih hebat lagi. Ini namanya main judi yang sungguh nekad tapi niat luhur dari pria wanita agar kedua keluarga dapat berdamai patut dipuji.
Keempat salah satu orang tua dari pria dan wanita yang hendak kawin lari, setuju, contohnya ayah dari wanita tidak setuju dengan laki-laki pilihan puterinya tapi mamanya setuju. Supaya ayahnya setuju dirancanglah upaya kawin lari bahkan seringkali mamanya memfasilitasi agar kawin lari terjadi dengan mulus. Pada akhirnya, ayah dari puteri setuju.
Satu hal pasti bahwa kawin lari di Sumba tidak pernah terjadi pada orang asing yang tidak dikenal. Kawin lari hanya terjadi dalam satu suku atau antar suku dengan catatan sudah saling kenal, atau salah satu pihak biasanya pria sudah mengincar pihak wanita.
Jangan khwatir untuk orang luar Sumba. Pasti aman; tak pernah terjadi orang dari luar Sumba diculik atau kawin paksa.
"Saran saya untuk orang luar Sumba jangan khwatir ajak pacar, isteri atau puterinya berlibur di Sumba. Gereja Katolik Sumba dan juga Gereja Kristen Sumba (GKS) tidak menjadikan "kawin lari" sebagai kebijakan pastoral bahkan sangat jarang dibicarakan karena tidak sesering dulu lagi dan juga mereka yang kawin lari masih kebanyakan yang menganut aliran kepercayaan Marapu,"kata Pater Robert.
Kalau soal belis,kata Pater Robert, bukan itu alasan utama terjadinya kawin lari. Kendati mas kawin mahal, di Sumba ada istilah "kumpul tangan atau sambung tangan" artinya tangan saya tidak cukup kuat atau panjang untuk sebuah urusan yang penting dan berat, dibutuhkan bantuan tangan-tangan lain.
Dua tokoh adat Loura yakni Yohanes Bili Daingo alias Ama Vebi dari Kampung Bondo Rongo, Desa Weepangali, Kecamatan Kota Tambolaka dan Kornelis Bobo Malo alias Ama Ansi dari Kampung Keruni, Desa Keruni, Kecamatan Loura, Sumba Barat Daya ditemui Pos Kupang di Keruni, Jumat (17/7) mengatakan dari tradisi Sumba kawin tangkap itu boleh terjadi.
Dijelaskan, tradisi kawin tangkap itu berlangsung sejak nenek moyang berdiam di bumi Marapu Sumba. Memang di zaman modern seperti sekarang sudah jarang terjadi dan kalaupun terjadi hanya satu dua orang saja.
Meski demikian, keduanya mengaku hal itu tidak mudah terlaksana karena pihak laki-laki harus mampu menyiapkan belis (mas kawin) berupa kuda dan kerbau yang banyak. Sebab setelah orang tua perempuan mengetahui anaknya telah ditangkap maka orang tua perempuan akan mendatangi orang tua laki-laki untuk menanyakan anak perempuannya.
Pihak laki-laki menjawab dengan menyerahkan satu ekor kuda dan satu buah parang khas Sumba. Bila tidak terima serta terus menanyakan anak perempuannya maka pihak laki-laki tetap menjawab ada dengan menyerahkan lagi satu ekor kerbau serta satu buah parang lagi dan seterusnya sampai pihak perempuan menerimanya.
Karena itu tradisi kawin tangkap tidak mudah dilaksanakan karena pihak laki-laki harus benar-benar mampu menyiapkan belisnya. Bahkan terkadang nyaris terjadi perang bila pihak perempuan nekat mengambil kembali anak perempuannya dan pihak laki-laki mati-matian mempertahankanya. Pada titik ini, biasanya ada juru runding yang adalah tokoh adat panutan masyarakat yang memfasilitasi penyelesaiannya. (pet/gem)