Kata Tori Ata, SH, Ketua Lembaga Perlindungan Anak NTT Soal Kawin Tangkap

Praktik kawin tangkap atau apapun istilahnya ketika ada unsur kekerasan, paksaan, tanpa persetujuan perempuan merupakan tindakan sewenang-wenang

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Kata Tori Ata, SH, Ketua Lembaga Perlindungan Anak NTT Soal Kawin Tangkap
ISTIMEWA
Tori Ata, SH

POS-KUPANG.COM - Praktik kawin tangkap atau apapun istilahnya ketika ada unsur kekerasan, paksaan, tanpa persetujuan perempuan merupakan tindakan sewenang-wenang, perbuatan melanggar hak asasi perempuan dan merupakan tindakan kriminal.

Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan tanpa perkecualian seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain (Pasal 2 Deklarasi Umum HAM ).

Pater Robert Ramone: Kawin Tangkap Bukan Budaya Sumba

Selanjutnya pasal 3 menyebutkan, "Setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu. Lebih tegas dalam Pasal 16 ayat 2 "Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai."

Selain instrument hukum dan HAM secara Internasional, di Indonesia secara jelas mengatur baik dalam konstitusi dasar maupun berbagai perundang-undangan lain misalnya dalam UU No 1/1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa: Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 6 ayat 1).

Bupati Kornelis Minta Stop Kawin Tangkap, Langgar HAM dan Hak Perempuan

Praktik kawin tangkap ini dapat dikategorikan sebagai perampasan kemerdekaan dan juga sebagai penculikan. Ketentuan dalam Pasal 333 (1) KUHP sangat jelas mengaturnya: "Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun".

Kawin tangkap merupakan praktik yang mengatasnamakan budaya untuk kepentingan laki-laki yang mau menikah namun tidak melalui prosedur adat yang sebenarnya.

Karena itu menurut saya kawin tangkap ini merupakan sebuah praktik harus dihentikan karena melanggar Hukum Adat, Hukum Negara dan melanggar HAM Perempuan.

Kita mendukung Budaya yang adil dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Namun menolak segala bentuk tindakan yang mengatasnamakan budaya. Untuk itu perlu dilakukan rembuk bersama dengan melibatkan para rato/tokoh adat di Sumba, berbagai stakeholders untuk mendiskusikan dari berbagai perspektif seperti budaya, agama, hukum, dan perspektif terkait lainnya untuk temukan solusi bersama.
Selain itu, negara harus hadir untuk melindungi perempuan dan anak yang menjadi korban kawin tangkap. Perlu menindak pelaku melalui proses hukum sebab terjadi tindakan kekerasan dan perampasan kemerdekaan. Juga perlu sanksi adat kepada para pelaku.(ery)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved