Opini Pos Kupang
Paradoks Ruang Publik
Arus besar dalam wacana ruang publik diwarnai dua isu dikotomik : hegemoni institusi negara vs pemerkuatan masyarakat sipil ( civil society)
Oleh Adi Dami, Mantan Sekda Kota Kupang, Pendiri KUPANG Institute
POS-KUPANG.COM - Arus besar dalam wacana ruang publik diwarnai dua isu dikotomik : hegemoni institusi negara (state) versus pemerkuatan masyarakat sipil ( civil society). Hampir seluruh aktivitas sosial-budaya-ekonomi-politik berada dalam dua arus besar ini yang mengalir dalam ruang publik.
Meski begitu, bagi filsuf Richard Rorty menggambarkan ruang publik tidak selalu berdasarkan rasionalitas. Filsuf Slavoj Zizek juga menegaskan kekaburan distingsi antara ruang privat dan ruang publik. Misalnya, ketika sebuah skandal diperbincangkan orang dalam ruang privat, tidak ada ledakan yang setara jika kasus ini dipercakapkan dalam ruang publik. Jadi, menurut Zizek, ruang publik adalah sebuah paradoks.
• Covid-19 Masih Mengintai Kita
Ruang publik sering dipahami sebagai ruang penghubung antara ruang privat di satu sisi dan ruang otoritas publik di sisi lain. Secara normatif, konsep ruang publik diartikan sebagai wadah sosial, wahana orang-orang untuk berkumpul bersama dan secara bebas mengidentifikasi serta mendiskusikan berbagai bentuk persoalan sosial.
Proses yang terjadi di dalam ruang publik nantinya akan memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah, bisnis maupun entitas lainnya di masyarakat. Secara ideal, ruang publik juga sering dibayangkan sebagai ruang diskursif dimana setiap orang dan setiap kelompok dapat berkumpul untuk membicarakan soal-soal yang berkaitan dengan kepentingan bersama, sehingga apabila mungkin mereka bisa sampai pada keputusan bersama.
• Camat Waigete Sudah Usul Perbaiki Jalan Menuju ke Kampung Wairbukan
Jadi, ruang publik secara konseptual berbeda dengan pemerintah. Ruang publik juga berbeda dengan "pasar". Ruang publik bukanlah suatu arena tempat relasi-relasi jual-beli kebijakan atau kepentingan terjadi. Ruang publik adalah suatu arena untuk mempertimbangkan dan memperdebatkan semua hal yang berkaitan dengan kepentingan bersama.
"Poetic Public Sphere"
Didalam buku Contingency, Irony, and Solidarity, banyak keputusan yang diperdebatkan di dalam ruang publik sering kali lebih memberi porsi pada sentimen-sentimen dan afeksi-afeksi yang tidak didasarkan pada argumentasi rasional. Ruang publik ini disebut poetic public sphere. (Eko, 2010).
Sejatinya, sikap saling tuduh ataupun fitnah misalnya, itu juga sudah ada sejak dulu, tapi sekarang jadi makin marak. Karena, kalau dulu yang membuat gaduh lebih banyak kalangan politisi. Kalau sekarang siapapun ikut membuat gaduh karena semua orang bisa aktif ikut berkomunikasi, misalnya dilapak dan medsosnya.
Terungkapnya berbagai kasus finah akhir-akhir ini menunjukkan bahwa ruang publik bukanlah medium steril dari kemungkinan penyalahgunaan kebebasan berpendapat. Sehingga, kegaduhan di medsos yang agendanya dinamis dan cepat berubah, justru sering membuat kritik publik tenggelam dalam kegaduhan itu sendiri. Kritik yang terlalu banyak bercampur dengan tuduhan, hinaan, ledekan menjadi tidak fokus dan tidak efektif. Sekalipun tema-tema yang diusung merupakan counter discourse terhadap hegemoni negara. Namun, tidak sampai dan tidak diperhatikaan sasaran kritik.
Kritik terhadap kebijakan publik berkenaan dengan lemahnya basis sintesis pemikiran, ketiadaan peta jalan dan kemustahilan waktu untuk mencapainya. Konstruksi argumennya, mengingkari seluruh realitas bangun sosial-ekonomi-politik mutakhir yang merupakan konsekuensi dari pilihan kebijakan.
Bahkan, sikap kritis itu juga dibangkitkan oleh proses yang kurang jelas, bagaimana sesungguhnya gagasan, prakarsa dan langkah-langkah yang ditampilkan. Sekiranya kita bertitik tolak dari kaleidoskop di atas, barangkali di sinilah konteks kecemasan dan kegelisahan menatap ruang publik.
Implikasi Praktis
Apa implikasi meningkatnya kecenderungan poetic public sphere? Sikap paradoks dan ambivalensi dalam ruang publik ketika menyikapi berbagai fenomena kebijakan publik, melahirkan kelompok pragmatis-oportunis yang dengan gampang merasionalisasikan segala bentuk pengingkaran atas kebijakan publik itu dengan mengasumsikannya sebagai ritus kemanusiaan sejati, yang sebenarnya semu.
Secara etik praktik ini tak bisa diterima. Moralitas ruang publik akhirnya menjadi sebuah konsep yang terlalu sulit untuk dicerna. Eksisnya praktik ini adalah patologis. Keyakinan ini bukan tanpa dasar karena ada beberapa bukti empiris yang mendukung : Pertama, ia tidak hanya mempertahankan, tetapi juga memperdalam kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat. Kedua, menghambat pembentukan dan pertumbuhan civil society. Ketiga, mudahnya disusupi kepentingan pragmatis dan membelokkan esensi hadirnya ruang publik.