Opini Pos Kupang
Paradoks Ruang Publik
Arus besar dalam wacana ruang publik diwarnai dua isu dikotomik : hegemoni institusi negara vs pemerkuatan masyarakat sipil ( civil society)
Dengan bukti empiris itu, saya kira cukup beralasan jikalau kita sampai mempertanyakan makna dan manfaat ruang publik. Orang lain mungkin hanya melihat gejala tersebut sebagai sebuah paradoks ruang publik. Namun, bagi sebahagian entitas lebih terasa sebagai ironi ruang publik.
Rasionalisasi di atas merupakan gejala umum peradaban modern yang sering berakibat terabaikannya akar moral dan etik. Karena itu, masalah kebijakan publik bukanlah sekadar kalkulasi-kalkulasi politis dan ekonomis, akan tetapi melibatkan diskursus dan paradigma kultural yang memerlukan komitmen moral pelaksana kebijakan publik. Sebab, bagaimana pun juga perlu disadari bahwa kesadaran sosial dalam diri seseorang yang berorientasi makro, tumbuh bersamaan dengan kesadaran personalitas yang lebih menekankan dimensi mikro kehidupan dalam orientasi makro sosial perlu di-kritis-i dengan orientasi mikro.
Persoalan lainnya adalah bagaimana melakukan perubahan dan menjaga kualitas ruang publik ditengah persaingan politik dan ekonomi yang semakin sengit. Karena itu, jika kita menganggap upaya ini tidak ada harapan, berarti kita juga ikut menutup harapan itu. Sebaliknya, jika kita menganggap apapun selalu ada peluang, maka kita membuka kemungkinan berkontribusi untuk membuat ruang publik yang lebih sehat.
Kesehatan Ruang Publik
Peran sebagai agent of development tidak lagi hanya bertumpu pada inisiatif pemerintah saja. Karena itu, kepedulian publik tak bisa ditawar lagi. Publik harus terus mengawasi dan memberi tekanan agar agenda kebijakan publik ke depan adalah agenda publik. Dengan demikian, dalam konteks pembangunan daerah, masa depan daerah hanya akan lebih baik bila ruang publik diperkuat dan lebih berperan dalam perumusan kebijakan publik.
Walaupun begitu, adalah naif untuk beranggapan bahwa orientasi sentrifugal publik terhadap kebijakan publik merupakan sesuatu yang taken for garanted. Publik perlu lebih asertif sebelum pada akhirnya perjuangan mereka didengarkan dan disepakati oleh pembuat kebijakan (pemerintah) yang mempraktekkan "manajemen reaktif".
Pada titik ini, pemerintah jelas ada dalam arus dan putaran problem ini. Sebab, ruang publik adalah sebuah proses perubahan sosial. Namun, perubahan sosial itu tidak selalu berarti perbaikan sosial. Untuk itu, pemerintah mempunyai tugas membuat protokol kesehatan ruang publik melalui kerangka dan tata nilai, dengan cara: Pertama, melakukan sharing kekuasaan sebagai alternatif terhadap hegemoni negara, Kedua, membangun kapasitas politik, ekonomi dan sosial masyarakat, Ketiga, kerja-kerja kultural menciptakan sikap kritis dan wacana tandingan, Keempat, memanfaatkan jaringan organisasi non pemerintah, dan Kelima, advokasi dan hadirnya negara dalam ruang publik.
Lebih lanjut, kecenderungan transisional diatas juga perlu dihubungkan dengan peran seorang pemimpin amat besar, karena perubahan yang terjadi bukan dalam arti change tetapi transform. Artinya, apa yang terjadi bukan sekedar perubahan bentuk (seperti terjaganya indikator ekonomi), tetapi juga perubahan substansi yang menyangkut nilai, hakikat, dan karakter. Tentu, harus juga mengubah paradigma berpikir bahwa pemimpin bukan orang setengah dewa yang sanggup menyelesaikan semua persoalan sekaligus. (*)