Opini Pos Kupang
Pancasila: Dari Ende-Nusa Bunga untuk Nusantara, Sebuah Catatan untuk HUT Pancasila
KEPPRES No. 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila, menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila
Oleh: John Mai, Alumni STFK-Ledalero, Tinggal di Melbourne-Australia
POS-KUPANG.COM - Berdasarkan Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila, menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila dan menjadikan setiap tanggal 1 Juni sebagai hari libur nasional untuk memperingati Hari Lahir Pancasila.
Pada tahun 2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemdikbud) menetapkan tema dalam rangka merayakan hari lahir Pancasila yaitu `Pancasila dalam Tindakan Melalui Gotong Royong Menuju Indonesia Maju.
• Warga Mengurusi KTP di Disdukcapil Malaka Tinggi
'Tema ini secara tidak langsung menegaskan adanya harapan akan implementasi Pancasila dalam aksi menuju Indonesia maju. Perayaan hari lahir Pancasila adalah sebuah kesempatan emas bagi semua pihak untuk melihat kembali sejarah, peran, dan bagaimana Pancasila harus diimplementasikan ke depan.
Ende: Tempat Lahir Pancasila
Tidak banyak orang Indonesia mengetahui tempat lahir Pancasila. Pancasila adalah ideologi negara Indonesia yang dirancang Presiden RI pertama Soekarno di sebuah taman di Ende-Flores (Nusa Bunga), Nusa Tenggara Timur. Sebelum sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Pancasila sudah lahir dari buah pikiran Bung Karno saat empat tahun diasingkan di Ende-Flores, Nusa Tenggara Timur. Terhitung dari tanggal 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938.
• Ketua PHDI Kupang Sebut Umat Hindu Akan Kembali Beribadah Mulai 20 Juni
Selama masa pengasingandi kota ini, Bung Karno merenungkan Pancasila di bawah naungan pohon sukun yang masih kokoh berdiri hingga saat ini. Keseharian masyarakat Ende-Flores, Nusa Tenggara Timur yang harmonis dan pergaulannya dengan para missionaris Serikat Sabda Allah (SVD) menginspirasi Soekarno untuk membentuk dasar negara, Pancasila. Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa lima sila dalam Pancasila adalah internalisasi nilai-nilai budaya masyarakat Ende-Lio.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat Ende-Lio mengenal dan mengakuai adanya sosok Tertinggi jauh sebelum agama-agama hadir di sana. Du'a Ngga'e Gheta Lulu Wula, Ngga'e Ghale Wena Tana adalah ungkapan tentang adanya Wujud Tertinggi. Ungkapan ini tidak merujuk pada doktrin dari agama tertentu. Konsep ini menginsipirasi Soekarno untuk menempatkannya pada sila pertama Pancasila.
Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Masyarakat Ende-Lio sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan. Dalam hubungan dengan ini, Masyarakat Ende-Lio memiliki perjanjian adat atas hak atas tanah yaitu Ha Hage Watu, Ma'u Maro Mesi (Hak atas tanah dan laut). Perjanjian ini bertujuan untuk menghindari perang dan pembunuhan dalam memperebutkan hak atas tanah dan laut. Pembagian ini adalah wujud dari keadilan karena didasarkan pada perjuangan perang.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Persatuan dan kesatuan adalah hal yang menjadi keutamaan untuk masyarakat adat Ende-Lio. Masyarakat adat Ende-Lio hidup dalam sistem suku dan kesatuan dalam suku adalah hal utama yang harus diperhatikan dalam menciptakan persatuan antar suku.
Sila Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Masyarakat adat Ende-Lio menganut sistem keterwakilan dalam kepemimpinan. Mosalaki (kepala suku) adalah sosok yang dipercayai oleh masyarakat adat sebagai perwakilan mereka. Mosalaki selalu berbicara mewakili anggota sukunya, seperti seorang anggota dewan berbicara atas nama rakyat di daerah pemilihannya. Sistem ini secara tidak langsung menginspirasi Soekarno dalam menetapkan dasar negara Pancasila.
Sila Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsep keadilan sosial sudah dihidupi oleh masyarakat Ende-Lio jauh sebelum Indonesia merdeka. Salah satu konsep yang terkenal berkaitan dengan keadilan sosial adalah tentang keberadaan fai walu, ana kalo (janda dan yatim piatu. Fai walu, ana kalo adalah kelompok yang terpinggirkan dan harus diperhatikan secara khusus oleh masyarakat adat.
Seorang Mosalaki (kepala suku atau pemimpin) harus menjamin bahwa setiap masyarakat adat harus diperlakukan secara adil. Berdasarkan fakta-fakta adat, tidak berlebihan bahwa budaya Ende-Lio telah mengilhami Soekarno dalam merumuskan Pancasila. Realitas ini sekaligus mementahkan tesis yang mengatakan bahwa Pancasila hanyalah obsesi Suharto sebagai produk kebijaksanaan Jawa Kuno (Prawiranegara1984,78).
Melihat sejarahnya, penulis sependapat dengan mendiang Marselinus Petu yang mengatakan bahwa "Pancasila adalah rumah kami, tanpa Ende, Indonesia tidak mungkin mempunyai ideologi negara Pancasila."
Pancasila: Pedang Bermata Dua
Pancasila yang lahir di Nusa Bunga dan merupakan buah dari permenungan Bung Karno, kini menjadi bahan perdebatan bahkan menjadi perbantahan di antara anak bangsa. Perdebatan tentang Pancasila masih terjadi sampai hari ini. Sepanjang periode pasca-kolonial, pemikiran politik Indonesia telah didominasi oleh dua kelompok utama, Islamis dan yang lainnya, yang dikenal sebagai nasionalis (sekuler).
Para nasionalis percaya bahwa Pancasila adalah inklusif, ia dapat menyediakan pijakan bersama yang digunakan untuk membangun hubungan antara berbagai kelompok dan elemen yang berbeda yang membentuk Indonesia (O'Shannassy, 2009).
Kelompok kedua adalah kelompok yang secara terbuka atau secara diam-diam ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi yang lain seperti khilafah. Kelompok ini melakukan propaganda dengan menuduh Pancasila sebagai produk kolonial yang harus dihabisi. Pada titik ini, Pancasila selain hadir sebagai pemersatu bagi anak bangsa juga hadir sekaligus pemisah bagi anak bangsa.
Pancasila telah menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menjadi penuntun dan inspirasi hidup bagi seluruh manusia Indonesia, tetapi juga digunakan untuk menindas anak bangsa di sisi lain. Tidak jarang atas nama Pancasila, pemerkosaan atas hak-hak anak bangsa dibiarkan bahkan dibenarkan. Kelompok minoritas (Ahmadiyah) misalnya menjadi korban dari misinterpretasi Pancasila.