Opini Pos Kupang

Gejolak Pangan dan Daya Beli Masyarakat

Pandemi Covid-19, mengganggu sistem pangan nasional. Menurut Presiden Jokowi ada 17 provinsi, 88 kabupaten/kota, rawan pangan kronis

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Gejolak Pangan dan Daya Beli Masyarakat
Dok
Logo Pos Kupang

Oleh: Adi Dami, Mantan Sekda Kota Kupang, Pendiri KUPANG Institute

POS-KUPANG.COM - Pandemi Covid-19, mengganggu sistem pangan nasional. Menurut Presiden Jokowi (detikfinance, 4 Mei 2020), ada 17 provinsi, 88 kabupaten/kota, 936 kecamatan masuk dalam rawan pangan kronis. Bahkan 31 provinsi mengalami defisit pangan.

Sedangkan, menurut Suhariyanto, Kepala BPS, inflasi bulan april 2020 jauh lebih rendah dari rata-rata inflasi bulan ramadhan sejak 2004 yakni 0,08 persen mom. Karena : Pertama, terjaganya pasokan dan harga pangan stabil. Kedua, penurunan permintaan barang dan jasa akibat adanya PSBB. Ketiga, inflasi yang rendah ini mencerminkan adanya penurunan daya beli.

Kasus Positif Covid-19 NTT Meningkat, Gugus Tugas Minta Penegakan Maklumat Kapolri

Padahal, penyumbang utama pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi rumah tangga.Tingkat konsumsi rumah tangga pada kuartal I-2019 di level 5,02 persen, melemah signifikan menjadi 2,84 persen dengan pertumbuhan ekonomi pada level 2,97 persen, pada kuartal I-2020. Daya beli masyarakat yang turun sedemikian drastis akan berdampak signifikan terhadap sisi produksi dan pertumbuhan ekonomi.
Tulisan ini mencoba mengadaptasi dan sekaligus mengelaborasi pandangan Ahmad (2007), mengenai pangan dan daya beli dalam konteks pandemi Covid-19.

Mengukur Daya Beli

Mengukur daya beli masyarakat secara riil, memang tidak mudah khususnya berkenaaan dengan masalah pangan ditengah merebaknya Covid-19. Namun, dengan patokan bahwa rata-rata 50 persen pendapatan rumah tangga dihabiskan untuk konsumsi pangan, maka tidak sulit menghitung dampak kenaikan harga pangan terhadap daya beli masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Rakyat miskin sendiri menjadi fokus di sini karena konsumsi pangan mereka bisa menghabiskan 70-80 persen dari total pendapatannya.

Kupang Pork Festival Baru Direncanakan Harus Tertunda Karena Wabah Pandemi

Data kemiskinan menunjukkan, pada September 2019 persentasenya mencapai 9,22 persen atau sekitar 24,79 juta orang. Dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar 73,75 persen dan garis kemiskinan bukan makanan 26,25 persen. (Kontan.co.id, 17/1/2020).

Menurut Bank Dunia (SindoNews, 1/2/2020), terdapat 115 juta jiwa lagi atau sekitar 45 persen penduduk indonesia dalam kategori rentan miskin yang setiap saat bisa kembali dalam kategori miskin.

Sehingga, ada 139 juta penduduk yang betul-betul akan mendapat beban sangat buruk dari krisis pangan. Kelompok ini bakal langsung terperangkap dalam kubangan kemiskinan ekstrem apabila harga pangan meningkat, misalnya kenaikan 10-20 persen.

Kalkulasi kasarnya, jika diasumsikan kelompok ini membelanjakan 70 persen pendapatannya untuk konsumsi pangan, maka setiap kenaikan 10 persen harga pangan, menyebabkan persentase belanja pangan meningkat 7 persen dari total pendapatan (dengan asumsi mereka tidak mengurangi volume konsumsi pangan).

Jika angka ini dijadikan patokan, maka hanya tersisa 23 persen dari pendapatan yang bisa dibelanjakan untuk kebutuhan lainnya, seperti pakaian, listrik, air, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Sebaliknya, jika mereka tidak ingin mengorbankan pengeluaran non-pangan, maka berarti kaum miskin harus mengurangi belanja pangannya.

Bayangkan, apakah mungkin mereka hanya membelanjakan 23 persen sisa pendapatannya untuk keperluan rumah tangga, pendidikan, dan kesehatan? Itulah gambaran pola konsumsi dan daya beli sekitar 24,79 juta penduduk paling miskin.

Patologi Ekonomi

Persoalan pokok daya beli, bersumber dari rangkaian problem ekonomi, yakni kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran maupun Covid-19. Celakanya, kinerja pemerintah dalam tiga patologi akut itu maupun penanggulangan Covid-19 bisa dikatakan belum memuaskan.

Pertama, meskipun dana dan segepok kebijakan ekonomi sudah diproduksi untuk mengatasi masalah kemiskinan, namun penurunan jumlah orang miskin tidak menunjukkan data yang impresif. Pada 1990, persentase kemiskinan sebesar 15,1 persen (27,2 juta jiwa). Pada 2019, berkurang menjadi 9,22 persen (24,79 juta jiwa). Bayangkan, selama 29 tahun persentase kemiskinan hanya turun 5,88 persen.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved