Opini Pos Kupang
Sebuah Esei Tentang Corona
Lalu korbanpun berjatuhan, dan terus berjatuhan karena kesulitan beradaptasi menghadapi bahaya yang tak kelihatan ini. Orang bilang kena virus corona
Lalu korbanpun berjatuhan, dan terus berjatuhan karena kesulitan beradaptasi menghadapi bahaya yang tak kelihatan ini. Orang bilang kena virus corona
Oleh: JB Kleden, ASN Kementerian Agama Kota Kupang
POS-KUPANG.COM - WUHAN Desember 2019. Beberapa orang tiba-tiba mengalami pneumonia tanpa sebab yang jelas dan tak satupun prosedur perawatan serta vaksin yang diberikan mempan mengatasinya. Lalu korbanpun berjatuhan, dan terus berjatuhan karena kesulitan beradaptasi menghadapi bahaya yang tak kelihatan ini. Orang bilang kena virus corona.
Saat muncul, corona ini seperti memiliki pornografi tersendiri. Laiknya pornografi, ia memerlukan kebisuan, ada kehatian-hatian untuk mengeksposenya. Sayangnya kebisuan itu mengisolasi. Maka bisik-bisik menjalar dan intrikpun merebak. Untung si corona ini muncul pertama kali di Wuhan, seandainya di kampung kita, pasti orang su bilang itu suwanggi.
• Di Ngada - NTT, Warga Australia Sumbang APD untuk Posko Covid-19 Ngada, Simak Liputannya
Ia memang mirip suwanggi. Tak tampak. Secara sembunyi-sembunyi menyihir nurani manusia dan membiarkannya takut dalam kegelisahan yang akut. Menyimak siapa yang lengah untuk diterkam. Dan melumpuhkan. Lalu semua dengan harap-harap cemas berdoa; Che questo disastro finisca presto, Dio ci protegga. Semoga Tuhan menyelamatkan.
Tetapi corona telah mengobok jiwa kita, jauh melebihi ketakutan terhadap Tuhan. Mendengar dengus nafas yang berat di sekitar saja sudah mengerkah kepala kita. Kita sedang berada dalam riam yang bergejolak, dengan cerita hitam yang tersebar: ada persekongkolan setan, konspirasi keji yang merunduk di balik semak, yang mau memojokkan kita, merusak masyarakat kita, stabilitas kita bahkan iman kita.
• Maknai Hari Kartini, Hilda Manafe Bagi Makanan Tambahan di Puskesmas
Dengan demikian, corona tidak hanya pandemik, tetapi juga infodemik. Informasi corona mewabah, tidak hanya tentang harapan baik, tetapi juga sekadar untuk melahirkan keresahan dan semakin menghempaskan kita kedalam ketakberdayaan yang akut. Sekali menyebar, ia bukan saja membikin kepanikan. Ia juga sukar punah. Sebuah kegalauan yang tak kunjung henti, terus berkembang dengan panas batinnya sendiri, dan menginfeksi. Maka mereka yang merasa paling tahu segala sesuatu yang telah dan akan terjadi seputar corona, bukan hanya berkhayal tetapi juga berbahaya.
***
APAKAH yang sedang menghantui kita? Mungkin segala-galanya. Tapi mungkin juga hanya isyarat waktu. Langit begitu jauh, alam begitu luas, dan siklus yang tak terperikan. Sudah berapa lamakah rembulan, menari asmara merayu bumi ayu tanpa boleh mendekatinya?
Bumi selalu tak dapat diperhitungkan. Yang suka science fiction tahu, kisah-kisanya selalu menyajikan imajinasi yang ganjil. Kita mungkin akan hancur seperti penghuni Krypton dalam dongeng superman. Atau seperti dalam Jurasik Park, kegagalan menghidupkan kembali spesies dinosaurus berakibat fatal. Dan barangkali karena itulah, Chairil Anwar menulis dengan satu prase yang kemudian jadi terkenal, "hidup hanya menunda kekalahan".
Puluhan bencana terus timbul dan lenyap dalam waktu. Sebagai pandemi, corona tak sepenuhnya dapat diterangkan, kecuali dengan membaca jejaknya. Dan jejak itu mengisahkan, corona ini adalah jenis baru hasil mutasi. Tak heran bila corona yang demikian mencemaskan itu, juga menyentuh kita dengan apa yang membikin hati kita lebih merendah. Bukan tidak mungkin akan muncul n-cov lainnya.
Nampaknya keberhasilan manusia menemukan antibiotik dan menghasilkan vaksin-vaksin baru, hanyalah setetes air di gurun Sahara mahaluas. Virus tetap menimbulkan masalah serius bagi manusia ke depan. Kemampuannya mengubah diri menjadi strain baru yang kebal terhadap antibiotik dan tidak bisa terdeteksi manusia, menjadi bukti kekalahan manusia terhadap mikroorganisme. Ia juga mengkuatirkan.
Apakah virus corona beradaptasi dengan cepat sehingga kemunculannya selalu mengejutkan? Ataukah mudahnya transportasi dan perubahan lingkungan global membuat corona dengan cepat menyebar? Bagaimana ia bisa bermigrasi ke tubuh manusia dan menjadikannya vektor transmisi?
Corona ini adalah makhluk yang tampaknya sulit dimengerti. Seperti bola kaki, banyak penonton tiba-tiba merasa pintar dengan membicarakannya. Sementara para ahli bingung. Dan apa yang kita ketahui dari bisik-bisik? Corona merebak di pasar grosir Huanan yang menjual hewan hidup. Maka bukan berlebihan kalau diduga berbagai virus yang bermutasi ke manusia, berasal dari hutan-hutan prawan yang dirusak manusia.
"Ini bermula ketika keheningan telah berakhir/ Kekudusan gunung, jurang dan bukit-bukit terusik/ Jiwa penghuni hutan dan palung tak lagi teduh/ Nyawa mereka meregang di perut para penindas", tulis Yoseph Yapi Taum, dalam puisinya `Ini Hari Perhitungan'.
Jika kerusakan lingkungan menjadi semacam trigger bagi mutasinya berbagai virus baru, maka bukan tidak mungkin saat ini corona diam-diam menertawakan dan mencemooh kita, "wahai manusia, inilah akibatnya kalau ganggu habitatku." Cemooh ini mengingatkan bahwa kesehatan manusia, hanya akan dinikmati dengan baik jika kesehatan lingkugan dan makluk hidup lain juga dijaga.
Kelihatannya corona tetap setia mengubah diri mengikuti perkembangan jaman, berbanding lurus dengan laju keserakahan manusia mengeksploitasi lingkungan. Maka penanganan corona dengan demikian tidak hanya sebatas penyediaan pelayanan medis kuratif yang memadai dan terjangkau bagi penderita, tetapi juga juga menciptakan lingkungan yang sehat di tempat mereka hidup, bermain, bekerja dan bermasyarakat, agar kesehatan rakyat tidak terganggu, baik oleh perilakunya sendiri, maupun perilaku orang lain. The enjoyment of the highest attainable standard of health is one of fundamental rights of every human being.
Kita hidup dalam era yang penuh dengan getar-getar roh jahat, tetapi juga diwarnai oleh Roh Kebenaran. Maka mengatasi corona secara bersama-sama tidak lagi sekadar tantangan praktis tapi juga moral, dan religius. Memang agama tidak dapat memberi jawab bagi permasalahan dan penderitaan yang digelombangkan corona. Namun kendati tahu begitu, dalam hari-hari senyap ini, orang terus tiarap di pangkuan agama. Kendati ragu dan putus asa, orang terus berharap dari sanalah keselamatan akan datang.
Dan ketika corona dikaitkan dengan Tuhan. Bukan sekadar yang mahakuasa, tapi juga yang maharahman dan maharahim, agama memberi jawab: wabah pasti berlalu. Hanya butuh kesabaran. Tuhan tidak pernah terlambat, juga tidak pernah salah memberi pertolongan. Berbahagialah orang yang tidak melihat namun percaya.
***
WUHAN april 2020. Seperti pertanda yang datang dari alam, setiap musim ada akhirnya. Saat daun-daun segera berubah warna menjadi kuning, lalu berguguran ditiup angin, saat itu pulalah sebuah musim akan berakhir dan pucuk-pucuk hijau kembali meranggas. Wuhan telah mensyukuri berakhirnya pandemi.
Barangkali itulah salah satu sebab kegembiraan yang melegakan saat ini. Meski kita baru terdampak dan angka positif terus bertambah, orang tidak lagi berada pada posisi defensif, orang tidak lagi was-was berlebihan. Tapi adakah selebihnya hanya sepi?
Entahlah. Dari Wuhan kita menemukan bahwa corona hanya bisa dikarantina, sejauh kita setia mengkarantinakan diri. Dan dia akan mati iseng sendiri. Maka untuk kasih sayang kita kepada semua orang yang kita kasihi dan for our common future, mari mengkarantina diri. On care for our common home, we first had to change our selves mengikuti protokol pemerintah.
Jika kita enggan, maka tidak ada satu akar apapun untuk dibicarakan, selain kepongahan. Lingkungan kita sedang demam dan kita adalah coronanya. Kalau kita enggan, alam akan melalukan eleminisasi seperti kita mengeliminisasi virus. Dunia tidak diserahkan kepada kita untuk kegembiraan, tetapi untuk pengontrolan. Supaya kita menjadi manusia.
Keberanian untuk menerima diri sebagai manusia, akan membuat kita berani meninggalkan pelbagai keyakinan sosial yang membelenggu, termasuk keyakinan religius bahwa agama kita bisa menyelesaiakan pelbagai masalah dunia termasuk corona. Menjadi manusia artinya menerima ketak-berdayaan diri dan percaya Tuhan ikut serta dalam ketakberdayaan itu.
Time is a kind friend. Kita hanya perlu melihat ke air yang diam. Di sanalah kita akan tahu kenapa sejarah Tuhan penuh dengan wabah dan tulah. A thing of beauty is a joy for ever. Maka meski gentar, kita juga terhibur bahwa kita ikut mengalami pandemi ini dan menyadari bahwa kita tetap manusia yang rapuh, tetapi lebih berarti dalam rasa syukur. Karena Tuhan yang memiliki kita. Bukan sebaliknya. Bukankah sejarah Tuhan dimulai dengan kisah genesis, penciptaan kosmos, dan bukan penciptaan manusia, apalagi agama? (*)