Virus Corona

Rahasia Negara yang Dipimpin Perempuan Merespons Wabah Virus Corona Lebih Baik

BanyaK negara di dunia saat ini dipimpin oleh perempuan. Data membuktikan bahwa negara-negara tersebut merespons wabah virus corona lebih baik.

Editor: Agustinus Sape
REUTERS/Wolfgang Rattay
Kanselir Jerman Angela Merkel 

Respons terhadap krisis Covid-19 tentu sangat beragam, karena setiap negara punya realitas sosio-ekonomi dan ketersediaan sumber daya masing-masing—aspek-aspek yang mungkin tidak terkait dengan gender.

Karena itu, pemimpin pria yang tidak masuk stereotipe seperti yang dijelaskan Prof Cambell mendapati angka kematian yang relatif sedikit di negara mereka.

Di Korea Selatan, misalnya, penanganan Presiden Moon Jae-in dalam krisis Covid-19 berujung pada kemenangan partainya dalam pemilihan anggota parlemen, 15 April lalu.

Kemudian, PM Yunani, Kyriakos Mitsotakis, disanjung karena dinilai mampu meminimalisir jumlah kematian akibat Covid-19. Hingga 20 April, sebanyak 114 orang meninggal di Yunani, negara berpenduduk 11 juta jiwa.

Sebagai perbandingan, Italia, negara berpenduduk 60 juta jiwa, mencatat 22.000 orang meninggal dunia.

Yunani mampu menghadapi wabah ini dengan memprioritaskan anjuran saintifik dan menempuh langkah menjaga jarak aman—sebelum kematian pertama tercatat.

Perempuan dinilai lebih terkena dampak sosial dan ekonomi wabah Covid-19.
Perempuan dinilai lebih terkena dampak sosial dan ekonomi wabah Covid-19. (EPA)

Ada pula negara dengan pemimpin perempuan yang kewalahan menghadapi penyebaran virus corona.

Sebagai contoh, Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina. Walau dia telah berupaya menghambat penyebaran virus, ada kekhawatiran mengenai kapasitas pengujian di Bangladesh yang terbatas.

Kemudian masih ada masalah kekurangan alat pelindung diri (APD) yang membuat para tenaga kesehatan semakin terpapar risiko.

Keputusan-keputusan sulit
Guna menghentikan penyebaran Covid-19, para pemimpin harus membuat keputusan-keputusan sulit, seperti menghentikan perputaran roda ekonomi pada tahap awal pandemi.

Pilihan-pilihan tersebut mengandung biaya politik tinggi dalam jangka pendek, yang "berkebalikan dengan keinginan para pemimpin populis", kata Prof Campbell.

Di sisi lain, para pemimpin perempuan justru mampu memenangi opini publik dengan berbicara secara terbuka dan transparan mengenai tantangan yang dihadapi negara mereka.

Kanselir Jerman, Angela Merkel, misalnya, dengan cepat mengakui Covid-19 adalah ancaman yang "sangat serius".

Pemerintah Jerman pimpinan Merkel telah membentuk skema pengujian, pelacakan, dan pengisolasian terbesar di Eropa. Lebih dari 4.600 orang meninggal dunia akibat Covid-19 di Jerman, negara berpenduduk 83 juta jiwa.

Di Norwegia dan Denmark, rangkaian pendekatan yang ditempuh perdana menteri perempuan mereka membuat kedua negara itu lebih mau ketimbang pemimpin pria yang mengedepankan sikap 'macho'.

Perdana Menteri Norwegia, Erna Soldberg (kiri), dan PM Denmark, Mette Frederiksen, menggelar konferensi pers khusus untuk anak-anak selama wabah virus corona.
Perdana Menteri Norwegia, Erna Soldberg (kiri), dan PM Denmark, Mette Frederiksen, menggelar konferensi pers khusus untuk anak-anak selama wabah virus corona. (BBC News Indonesia)
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved