Corona di NTT
VIDEO - Wawancara Eksklusif : Solidaritas Kemanusiaan Cegah Virus Corona di NTT.
VIDEO - Wawancara Eksklusif : Solidaritas Kemanusiaan Cegah Virus Corona di NTT
Penulis: Ryan Nong | Editor: Jhony Simon Lena
(MJ)
Bapak gubernur (melakukan) koordinasi, kontrol dan pengawasan yang sangat ketat. Di bandara, di pelabuhan dan di semua infrastruktur pemerintah, baik birokrasi sipil maupun TNI-Polri, bersama pemerintah mulai Gubernur sampai ketua RT semuanya bersinergi, dan disamping itu tentu dengan dukungan masyarakat.
Dengan dukungan masyarakat yang sangat kuat, kita bisa mengendalikan, mengontrol setiap orang yang masuk melalui bandara dan pelabuhan. Disana kita sudah tempatkan thermo scanner juga thermogun untuk mengukur suhu tubuh, lalu setiap orang yang datang wajib mengisi kartu tanda sehat lengkap dengan data pribadinya. Selanjutnya tenaga medis kita tetap memantau kemanapun mereka sesuai data pribadinya, dan tentu dengan kontrol yang kuat juga dari masyarakat.
Memang sejak awal bapak gubernur sudah menggerakkan semua struktur pemerintahan mulai Bupati, Camat Forkopimda dan sebagainya. Gubernur dan Wagub sama-sama mengontrol dan tentunya didukung oleh para bupati. Kita berterima kasih kepada para bupati di setiap wilayah yang mengontrol warga yang datang dan menerapkan protokol yang ditetapkan WHO, itu kuncinya.
(HA)
Terkait koordinasi dengan kepala daerah, ada begitu banyak pintu masuk yang bisa dilewati salah satunya melalui jalur laut. Peristiwa kemarin jadi catatan tersendiri. 3 ABK KM Lambelu terindikasi positif Corona melalui rapid test. Biar masyarakat lebih reda, apa yang bisa dijelaskan?
(MJ)
Ya, pertama, masyarakat jangan panik berlebihan. Bapak gubernur selalu himbau kita untuk jangan panik. Yang kedua, kita juga harus memberi kenyamanan warga NTT yang datang dari luar atau yang masuk ke kampung halamannya.
Tentu kesiagaan itu positif dan kewaspadaan itu bagus. Tetapi kalau menolak, tentu itu tidak bagus. Kenapa? Karena kalau kita menolak maka itu sama saja kita memberi beban psikologis kepada mereka. Karena saat ini masyarakat dunia termasuk masyarakat Indonesia dan masyarakat NTT, dari sisi psikososial sudah tidak normal.
Jadi, psikososial dari seluruh masyarakat sedang "terganggu" karena penyebaran Virus Corona yang sangat eskalatif, terutama jika kita lihat pemberitaan di negara-negara Eropa, Amerika, juga negara lain, ada berita yang sangat mengerikan, itu yang membuat secara psikologi kita terganggu.
Ketika misalnya, warga yang datang yang juga secara psikologis terganggu karena datang dari lokasi terpapar, dan mencari keamanan ke kampung halamannya, entah karena pemutusan kerja atau merasa lebih nyaman di kampung sendiri. Jadi dia sebenarnya dari sisi psikologis dan psikososial terganggu.
Kemudian, bertemu dengan orang lokal yang psikologis dan psikososialnya juga terganggu. Jadi pertemuan antara unsur negatif ini menyebabkan kles, sehingga yang sangat perlu adalah bagaimana mengendalikan emosi.
Karena saat psikososial terganggu dan psikologi "tidak normal", itu kendali rasionalitas menjadi menurun, sama dengan kejadian di Maumere. Kita tidak melihat lagi saudara saudara kita sebagai anak, bapa mama, saudara, tetapi kita melihat mereka sebagai "musuh". Itu sangat berbahaya, tetapi kalau sedikit kita rasional, maka kita akan bilang, kamu datang tetapi protap dan protokol mesti dilalui. Itu yang harus dilakukan.
Dua ABK dan satu penjaga kantin pada KM Lambelu, setelah pemeriksaan rapid test, mereka dinyatakan positif tetapi tanpa gejala yang mencurigakan. Tetapi untuk rapid test, meskipun positif belum tentu virus Corona. Itu baru akan terkonfirmasi waktu swab test dengan metode PCR. Polymerase Chain Reaction (PCR) akan mengkonfirmasi apakah mereka itu terpapar virus Corona atau tidak.
Nah kadang juga, walaupun PCR menunjukan positif tetapi kalau kelihatan tidak ada gejala berat tetap harus dilakukan isolasi mandiri, tidak harus ke rumah sakit. Yang kita perlu pahami adalah bagaimana masyarakat memandang virus Corona sebagai bencana kemanusiaan. Sekaligus ini suatu kesempatan untuk masyarakat Indonesia dan masyarakat NTT membentuk yang disebut gubernur sebagai "Solidaritas Kemausiaan"; yang berpunya membantu yang tidak berpunya, yang kuat membantu yang lemah, yang sehat membantu yang sakit.