Tamu Kita
Tamu Kita: Dicky Senda: Jangan Malu Pulang Kampung
Keluar dari zona nyaman sebagai seorang guru di Kota Kupang dan kembali ke kampung halaman memang bukan hal mudah.
Penulis: Apolonia M Dhiu | Editor: Apolonia Matilde
Bagaimana kewirausahaan sosial bisa membantu warga di Komunitas Lakoat.Kujawas?
Nah, kalau kewirausahaan sosial, kami memproduksi barang dan jasa. Ada beberapa produk-produk olahan pertanian, makanan, dan jasa. Yang sedang kami rintis adalah ekowisata. Kami memanfaatkan momen musim panen, membuat paket ekowisata Wisatawan datang bisa menikmati kuliner lokal, tetapi juga bisa belajar sejarah budaya, mereka bisa ikut panen, mereka bisa ikut workshop mengolah buah lokal menjadi wine, liquor. Kegiatan satu hari, tetapi mereka bisa belajar banyak bentuknya. Keuntungan kewirausahaan sosial prinsipnya adalah keuntungannya dibagi dua, keuntungan yang lain itu dibalikkan ke mereka, tetapi di sisi lain mereka mulai belajar menabung. Kami membentuk koperasi, yang tujuannya untuk tabungan pendidikan dan kesehatan, dan modal usaha.
Kami mengajar mereka untuk berinvestasi. Investasi bisa berupa uang, bisa berupa tenaga, maupun pemikiran mereka yang nanti itu kembali lagi untuk mereka.
Di Lakoat.Kujawas kami membangun ekosistim, karena semua dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka sendiri.
• Inilah 4 Shio Beruntung dan Kurang Beruntung Besok, Selasa 31 Maret 2020, Ada Shiomu?
Apakah ada juga dukungan dari pihak lain untuk komunitas?
Yah, saat ini gereja, sekolah, tokoh adat mulai terlibat. Sekrang kami sudah punya kelompok disabilitas. Jadi, supaya satu kali jalan dan semua punya dampak. Gereja punya dampak, umat juga bisa sejahtera dan iman mereka bertumbuh. Degan demikian mereka menjadi bangga sebagai orang timor, bangga sebagi orang Molo, dengan potensi seni budaya, menjual paket ekowisata, tetapi sebenarnya sedang merawat alam, tradisi nyanyian, tarian, natoni, dan segala macam. Inilah sebabnya kenapa tokoh budaya kami libatkan di komunitas.
Apa dampak dari Komunitas Lakoat.Kujawas terhadap warga?
Memang ditahun awal kami masih mencoba produk, tes halal, dan uji coba lain. Tahun kedua, kami mulai memasarkan secara online, melibatkan kelompok petani, dan kelompok penenun. Dampak yang paling tidak dirasakan, misalnya di Program Haritage Trile yang dikelolah oleh 12 orang dan sebagian adalah perempuan, sebagian adalah mama-mama, sebagian adalah orang muda, sebagian besar kelompoknya memang masih kecil. Saat ini dampaknya bukan hanya kepada 12 orang tadi, karena mereka juga membeli bahan baku dari kelompok petani yang lain, mereka memenfaatkan penenun dari kami, misalnya benang dari kami, tetapi kami juga mencoba merekrut kelompok yang mewarnai dengan bahan-bahan alam. Kami juga merekrut mama-mama yang penun khusus. Jadi, kami bayar ke mama-mama dan gabung dengan kelompok kami dan mereka hanya menenun saja. Mereka tidak berpiki soal pemasran. Kami membayar mereka ongkos tenun, dan ke bapak-bapak untuk bahan baku. Saat ini, ekowisata sudah masuk tahun kedua, dan naik terus. Artinya, dari partisipasi, dan tamu yang datang lumayan naik dan diliput dari Singapore, Kementrian Parawisata. Kami juga sudah mempunyai komitmen dengan mereka dan sudah mulai bekin paket-paket wisata yang lain. Tidak hanya di desa kami, tetapi juga sudah ke Fatumnasi, Mutis dan lain-lain.
Kalau dampak ekonomi belum terlihat, tetapi lebih ke investasi pembangunana SDM di desa.
Komunitas itu adalah ruang di mana ruang orang-orang berkumpul, mempunyai visi, cara pandang, nilai, kerinduan, dan mimpi yang sama untuk berkumpul dan membuat sesuatu. Apapun jenis komuitas. Nah saya beranjak dari pengalaman, bagimana sebagai manusia melihat sebenarnya ada potensi, ide dan mimpi apa terkait kehidupan ini. Kita dilahirkan di dunia ini sebenarnya tujuannya apa sih, selain kerja, makan, tidur.
Saya pikir semua kita pasti punya mimpi dan tujuan, tinggal diwujudkan.
• dr Tirta Kutuk Penghujat Hujat Anies Baswedan dan Jokowi, Pembela Ria Ricis Ajak Fokus Lawan Corona
Anda juga sangat suka memasak. Darimana Anda mempelajarinya?
Sebenarnya kami di satu keluarga semuanya suka memasak. Kecuali kaka saya yang pastor. Di rumah terbiasa memasak sejak kecil bersama bapak dan mama. Kebetulan, nenek saya, orang yang punya warung pertama di Kapan di tahun 1950-an. Jadi tradisi keluarga sebenarnya itu yang membuat kami semua cinta dengan makanan, merasa dekat dengan makanan sehingga ketika melihat sesuau yang nganggur, makanan di kebun yang nganggur maunya diolah.
Dalam perjalanan dengan internet yang semakin bagus kita bisa cari di yutube mengolah pisang, wortel, dengan segalah macam makanan lokal lainnya. Jadi, kalau Natal atau Tahun Baru, semua pulang ke rumah, dan akan berlomba membuat makanan dan memilih siapa punya makanan yang paling enak.
Produk apa saja yang saat ini diproduksi Komunitas Lakoat.Kujawas?
Pertama, produk kami adalah organik. Masyarakat NTT atau dari liar yang membeli produk kami, sebenarnya sedang membantu petani, kelompok perampuan, kelompok distabilitas, dan anak-anak. Kedua, membagun image dari produk kami. Selain produk komunitas juga produk lokal organik, dan kami selalu menyisipkan narasi sejarah budaya. Misalnya, Sambal Luat, kami benar-benar melakukan riset. Kami mengarsipkan, mendokumentasikan sejarah bagimana orang Molo mengelolah pangan mereka. Bagaimana mereka mengawetkan makanan, memfermentasikan sambal. Pengetahuan-pengetahuan itu yang kami teliti, dan kami menjual produk selalu menempelkan dengan narasi. Kami bukan hanya sedang menjual produk, tetapi merevitalisasi budaya, bagimana identitas. Melalui produk, saya mau mengajak bapak, mama, anak muda, supaya bangga akan identitasnya.
Produk kami juga musiman yang disesuaikan dengan musim panen. Selai buah atau manisan buah dikeringkan, membuat wine. Kami juga punya produk minuman-minuman ferementasi dari buah lokal, jagung bose, sambal luat, produk olahan tepung-tepung jahe, kunyit, temulawak, dan mengeringkan daun bawang. (*)
• Chord Lagu / Kunci Gitar dan Terjemahan Kalung Emas Didi Kempot, Loro Atiku Atiku Keloro Loro chord
Bangga Dengan Identitas
BANGGA dengan identitas sebagai orang Mollo ada salah satu prinsipnya.
Maklum, ia lahir dan dibesarkan di Molo, 22 Desembe 1986.
Pria yang sudah menerbitkan banyak buku, puisi dan cerpen ini memang tidak asing lagi di kalangan anak muda di NTT. Yah, dia adalah Dicky Senda.
Dari pengalaman berkomunitas yang dijalaninya, ia mempunyai nilai adalah bahwa bagimana dirinya dan teman-teman sebagai generasi muda NTT, generasi muda timor, percaya diri dengan identitas yang melekat.
• Pasokan Sembako Berkurang, Pemkab Mabar Minta Penyeberangan Barang di Pelabuhan Feri Dibuka
"Kadang-kadang juga kita malu dengan kita punya jagung bose. Kalau ada tamu datang, mau menyuguhkan jagung bose, rasanya malu.
Kita menjadi rendah sekali, rendah diri dengan makanan lokal. Nah saya mau supaya kita menunjukan bahwa ini identitas kita.
Kain tenun identitas kita, makanan identitas kita, dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Sehingga baginya buat apa malu," ujar Dicky yang pernah mengikuti berbagai kegiatan residensi di berbagai komunitas di luar NTT ini.
Membentuk Komunitas Lakoat.Kujawas sebenarnya bagian dari mimpi bagaimana anak-anak muda harus bangga dengan identitas.
• Penerapan Darurat Sipil di Indonesia Jadi Langkah Terakhir, Apotek & Toko Sembako Harus Tetap Dibuka
Di komunitas tersebut, ia mengajak teman-teman untuk menjembatani dan menghubungkan kembali generasi muda dengan generasi tua.