Opini Pos Kupang

Valentine's Day sebagai Momen Refleksi dan Pemulihan Makna Cinta

Baca Opini Pos Kupang: Valentine Day sebagai Momen Refleksi dan Pemulihan Makna Cinta

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Valentine's Day sebagai Momen Refleksi dan Pemulihan Makna Cinta
Dok
Logo Pos Kupang

Baca Opini Pos Kupang: Valentine Day sebagai Momen Refleksi dan Pemulihan Makna Cinta

Oleh: Carlo Dagur, Mahasiswa STFK Ledalero

POS-KUPANG.COM - Arus kemajuan disruptif dewasa ini hadir dalam varian bentuk teknologi canggih berbasis IT (Internet of Things) yang membongkar zona nyaman ketertinggalan dan memperketat persaingan. Pelbagai inovasi hadir serentak menggeser penemuan lama. Aplikasi baru terus bermunculan, media sosial pun tidak absen meng-upgrade aplikasinya demi kesejahteraan netizen.

Label disruptif ini juga mendukung eksisnya postmodernisme, sebuah konsep berpikir yang mengusung beragam kritik atau antithesis terhadap rasionalisasi modernisme: relativisme menggantikan moralitas, keinginan menggantikan pikiran, dan kentalnya subjektivisme dalam memaknai realitas (problem of meaning). Postmodernitas sarat menggambarkan situasi globalisasi, fragmentasi gaya hidup, bisnis, dan politik. Eksisnya paham yang ditaburi kondisi glamor zaman ini berpengaruh terhadap cara orang memaknai sebuah realitas.

DPW NasDem NTT Konsolidasi Struktur

Problem kempleksitas cara pandang terhadap realitas berpengaruh juga pada makna cinta. Orang menafsirkan cinta berdasarkan pengalaman, refleksi, idealisme, dan pemahamannya sendiri, atau juga menurut teori dan pandangan orang lain, budaya, dan adat-istiadat. Namun, kedangkalan refleksi akan mengaburkan makna cinta dan perealisasiannya.

Selain itu, efek negatif globalisasi dan kebebasan tafsir cenderung memperkuat takhta otonomi diri dan pemaknaan realitas secara serampangan. Hal tersebut mendegradasi ego dan moral religius seseorang.

Mengguritanya kasus pemerkosaan, kekerasan, dan transaksi seks bebas menjadi bukti yang menggugat relevansi makna cinta dan esensi manusia sebagai binatang berakal budi.

Wabah Imediasi

Lazimnya, term cinta mengandung tiga tingkatan makna: erros, philia, dan agape. Erros sebagai cinta yang bersumber pada daya tarik lahiriah (bentuk fisik). Philia sebagai cinta yang mengalir dari perasaan, terwujud dalam ikatan persahabatan, kesetiakawanan, dan perkawinan. Agape sebagai totalitas cinta murni dan pengorbanan diri.

Bertepatan Hari Valentine, Bupati Tahun dan Wabup Konay Gelar Acara Syukuran Setahun Pimpin TTS

SOren Aabey Kierkegaard, seorang teolog Kristen membahasakan ketiga jenis tingkatan makna cinta ini dengan term estetis, etis, dan religius (cinta Kristen). Cinta religius (selanjunya agape) sarat akan ketulusan mengasihi, pengorbanan diri yang total, dan ditujukan bagi semua orang. Imediasi (eksistensi spontan) adalah suatu keadaan dasariah individu estetis.

Manusia bertindak spontan menuruti dorongan-dorongan hasrat alamiah dan naluri inderawi yang berseberangan dengan esensi cinta suci. Cinta minus etika moral. Manusia cenderung memuaskan hasrat badaniah sesaat-Kierkegaard menyebutnya imediasi mentah-tanpa usaha reflektif, misalnya seks bebas dan konsumsi narkoba.

Kekhasan dari imediasi adalah gagal merefleksikan hakikat gaya hidup, bersifat labil, arah tidak menentu, memuja keindahan badan, dan condong pada pemuasan hasrat.
Imediasi a la Kierkegaard sarat mengkritisi kodrat manusia dan degradasi makna cinta, seperti meroketnya kasus pemerkosaan dan seks bebas (prostitusi online).

Pertama, dominasi kebinatangan. Dua contoh kasus: Selama tahun 2019, terjadi 92 kasus Korban kekerasan (psikis, fisik, dan seksual) terhadap anak dan perempuan dalam dampingan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) di Maumere (Pos Kupang, Jumat, 31/01/2020).

Dinas Kesehatan Kabupaten lembata merilis data bahwa pada tahun 2019 terdapat 177 kehamilan anak di bawah umur yang disinyalir akan terus meningkat seiring bertambahnya kasus kekerasan terhadap anak di bawah usia 20 tahun (Pos Kupang, Rabu, 29/01/2020).

Maraknya kasus serupa menunjukkan bahwa dominasi sifat kebinatangan manusia lebih besar dari pada akal budi dan nuraninya. Meningkatnya libido seks adalah esensi yang dapat diterima pada batas wajar, namun menjadi wabah akut yang sangat berbahaya bila menelan korban. Bahwasanya kekerasan membawa trauma panjang. Orang mudah melihat sesamanya--terutama wanita dan yang lemah--sebagai objek pemuasan hasrat semata.

Terlepas dari unsur kekerasan, problem meroketnya praktik seks bebas pun dikisahkan Moammar Emka (2015: 1) sebagai aksi banal, bahwasanya bisnis seks di Jakarta sejak tahun 2008 hingga sekarang ibaratkan layanan pada Supermarket seks atau sebuah "wisata berahi". Ia menilai bahwa seks tak lepas dari petualangan, "sex is not just sex but it's a game," beragam permainan sengaja dihadirkan secara up to date untuk memuaskan para pelanggan.

Beragam fantasi para pelanggan akan dipuaskan oleh pemilik bisnis. Penutupan sebuah lahan bisnis seks malah melahirkan lahan-lahan baru yang rapi beroperasi. Aksi binal seperti ini menunjukkan dominasi kebinatangan manusia melampaui kesadaran moralnya.

Kedua, media sosial dan dominasi budaya baru. Modernisasi menjamin globalisasi dan penetrasi paham atau budaya asing berupa estetika ketelanjangan, seks bebas, dan feminisme radikal. Masyarakat mudah mengenal, menerima, bahkan mewarisinya tanpa nalar kritis dan pedoman etika moral budaya sendiri.

Warisan paham asing ini mengangkat insan milenial sebagai penguasa akhir atas tubuh dan membentuk keyakinan baru, "this is my body, this is my style, and this is my hoby." Lantas, kaum hawa yang tampil modis dengan pakaian paling mini pun tidak dianggap tabu, tetapi dihargai sebagai bentuk kebebasan berekspresi atau dalam satire Jean Couteau (2017:45) yaitu otaknya "religius," tetapi pinggangnya ditafsir sekuler kebarat-baratan.

Dia menegaskan bahwa tubuh dan busana yang dulunya hanyalah "kenyataan kultural" yang banal telah bertransformasi menjadi "pernyataan identitas" bahkan politik. Hemat saya, paham asing memperkuat otonomi diri dan warna pilihan tindakan setiap orang, serta merawat egosentrisme.

Media merawat efek negatif budaya baru ini dengan beragam cara, sekurangnya dengan menjamin kejahatan transaksi laku zinah atau jaringan prostitusi online, bahkan menjalar pada remaja. Contohnya, siswa SMP kelas IX di Bekasi yang saling berbagi konten porno dan sering mengajak rekan sekolahnya berhubungan seks melalui grup aplikasi pesan daring bertajuk `All Star' (Kompas, Kamis, 11/10/2018).

Kejahatan ini dapat digolongkan sebagai kejahatan diam (silent crime) yaitu kejahatan yang tersembunyi dari pandangan dan pengetahuan umum. Bahayanya, kehadiran media sosial malah membentengi para remaja dari binaan orang tua. Gawai mini membentuk kepribadian mereka tanpa filter yang memadai.

Sesuatu yang dianggap tabu dalam interaksi fisik keseharian malah menjadi realitas yang banal dalam dunia maya.

Ketiga, praktik pembuktian cinta. Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Polres Timor Tengah Selatan (TTS), Bripka Adelina Ma'akh menegaskan bahwa modus yang sering digunakan pelaku kekerasan seksual kepada anak adalah meminta pembuktian cinta dengan melakukan hubungan badan (Pos Kupang, Rabu, 25/07/2018).

Praktik pembuktian cinta dapat diartikan sebagai praktik hubungan badan oleh sepasang insan sekalipun belum berstatus menikah. Praktik ini melelangkan jaminan dan paksaan secara terselubung.

Sekalipun berstatus pacaran, seseorang meminta atau memaksa pacarnya melakukan hubungan badan demi menunjukkan ketulusan cinta dan jaminan menuju jenjang pernikahan. Ironisnya, praktik ini kerap menelorkan kasus beruntun serupa hamil di luar nikah, aborsi, hingga bunuh diri, namun semakin banal dipraktikkan insan muda.

Agape dalam Valentine's day

Rangkaian kasus di atas hendak menegaskan kekeliruan praktik cinta estetis. Kebebasan tafsir dan otonomi diri yang keliru menghantar orang pada kebinalan kebinatangannya.

Dominasi cinta estetis menutup kemungkinan bagi sikap pertanggungjawaban dan penghargaan terhadap sesama. Orang menjadikan sesama sebagai objek pemuasan hasrat dari segi potensi, keuntungan, status, harta kekayaan, penyambung nafkah, kecantikan, dan keindahan ragawi. Penghayatan cinta yang seharusnya otentik melekat pada individu adalah agape atau kasih sayang, yang berjalan dari tingkatan estetis (tubuh), lalu etis (relasi khusus), dan berpuncak pada religius (agape).

Manusia sebagai makhluk sosial menjamin dua unsur penting yaitu keberadaan dan cinta. Keberadaan sebagai bukti bahwa pria dan wanita tampak dalam wujud tubuhnya sekaligus sebagai pemilik atas tubuhnya itu. Tidak mungkin ada relasi tanpa wujud fisik (tubuh) manusia itu sendiri. Bahwasanya, baik anatomi, fisiologi, dan psikologinya manusia sebagai makhluk seksual selalu terarah kepada relasi timbal balik dengan yang lain.

Namun, dengan menghayati cinta religius, manusia akan disadarkan supaya tidak terutama terarah kepada nafsu kebinatangannya, tetapi selalu terarah kepada relasi cinta yang lebih bermartabat. Tubuh menjadi perantara relasi, bukan sebagai pendominasi relasi. Pria dan wanita bukan sekadar makhluk jasmaniah, melainkan juga sebagai makhluk yang bersifat rohaniah.

Unsur cinta agape hadir sebagai penata relasi yang mengontrol aspek pemuasan hasrat badaniah. Simpelnya agape terwujud dalam tindakan cinta, seperti rela berkorban, memberi dengan ikhlas, dan ditujukan bagi semua orang siapa saja tanpa memandang perbedaan status, golongan, ras, dan agama.

Valentine's Day dapat menjadi momentum pencerahan yang kembali menelisik proses enkulturasi budaya asing dan penyadaran kembali tentang makna cinta dalam perealisasianya. Negara Indonesia dikenal sebagai negara religius, memiliki beragam aliran dengan moralnya yang mulia. Moral religius terdegradasi oleh keinginan untuk mencoba mendapatkan sensasi dari replika estetika warisan budaya asing.

Itu seumpama wabah imoral yang kian menafikan budaya malu masyarakat Timur dan menuntunnya ke spiral sekularisme massal. Barangkali mereka yang tengah kasmaran menjadikan Valentine's day sebagai momen berbagi cerita dan bersikap romantis bersama sang kekasih. Pernahkah kita berpikir atau berniat mengisi Valentine's day dengan proaktif menjalin relasi konstruktif dengan umat dari agama lain, mengunjungi orang yang menderita (sakit, miskin, dipenjara, panti rehabilitasi), memberikan motivasi dan hiburan bagi anak-anak di panti asuhan, atau mendukung program humanisasi dari pemerintah. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved