Opini Pos Kupang
Cerita dari TTS, "Makan Mati -Tidak Makan Mati"
Mari membaca Opini Pos Kupang berjudul: Cerita dari TTS, "Makan Mati -Tidak Makan Mati"
Mari membaca Opini Pos Kupang berjudul: Cerita dari TTS, "Makan Mati -Tidak Makan Mati"
Oleh : Ermi Ndoen, Anggota FAN NTT
POS-KUPANG.COM - Keracunan makanan kembali merenggut satu nyawa di Kabupaten Timor Tengah Selatan ( TTS). Aleta Oematan (56 th) tewas, setelah menyantap daging sei rusa. Penyebab utama kematian Aleta masih belum dipastikan, apakah berkaitan langsung dengan daging se'I rusa ini atau penyebab lain, tapi yang jelas, kematian Aleta ini menambah catatan panjang kematian warga TTS akibat (kemungkinan) keracunan makanan selama periode April 2019 -Jan 2020.
Sejak April 2019 hingga 9 Jan 2020, tercatat sudah 10 kasus keracunan makanan terjadi di Kabupaten ini dengan korban 367 warga TTS, 6 orang diantaranya meninggal dunia.
Kasus keracunan di TTS, walaupun sudah berulang 10 kali dengan 6 korban jiwa; tapi tidak seheboh kasus keracunan restoran terkenal di Jakarta akhir Desember 2019 lalu. Satu kasus keracunan di Jakarta sempat diviral oleh korbannya lewat Instagram.
Si-korban berhasil membuat pemerintah DKI dan pemilik restoran bertindak segera. Pemerintah DKI dan pemilik restoran melakukan investigasi dan mencaritahu sumber keracunan, mengecek para korban dan bahkan meminta maaf.
Bagaimana dengan di NTT ataupun di TTS? Siapakah yang bertanggungjawab terhadap kondisi yang ada?
• Transfer Pemain Liga 1 2020 : Belum Lakuan Pergerakan Transfer Pemain, Arema FC Dingin, BAHAYA
Kasus keracunan makanan di TTS di tahun 2019/20 ini merupakan kasus terbanyak dan mungkin terburuk di NTT saat ini. Hanya dalam delapan (8) bulan, terjadi 10 keracunan. Lebih menarik lagi, 9 kasus keracunan terjadi antara September 2019 hingga Januari 2020; bahkan 5 kasus di antaranya terjadi dalam kurun waktu Desember 2019 sampai minggu pertama Januari 2020.
Penyebab keracunan makanan di TTS ini juga bermacam. Ada yang keracunan setelah menyantap makanan di Pesta; ada yang keracunan makanan/minuman kadaluwarsa (jas jus dan biscuit), akibat makan ikan beracun, memakan bangkai hewan (kambing) dan yang terakhir adalah akibat (diduga) daging sei rusa.
Keracunan makanan sendiri adalah "segala gejala yang timbul akibat makanan yang terkontaminasi atau tercemar". Sumber infeksi ataupun racun yang masuk kedalam bahan makanan bisa berupa organisme infeksius berupa bakteri, virus, maupun parasit atau toksin yang dihasilkan oleh organisme tertentu, dan juga bahan kimia berbahaya yang masuk ke dalam makanan.
Pencemaran terhadap makanan ini bisa terjadi mulai dari produksi, proses penyiapan makanan, penyimpanan dan distribusi makanan atau bahan makanan.
Beberapa jenis bakteri penyebab keracunan makanan di antara adalah bakteri Salmonella, E.Coli, Campylobacter, Listeria, Cholera dan Clostridium botulinum.
Umumnya bakteri-bakteri ini ditemukan dalam telur mentah, daging mentah atau susu yang tidak bersih, ataupun makanan yang diawetkan, terutama makanan kaleng atau makanan kering terawetkan seperti bahan mie. Keracunan ini menyebabkan berbagai macam penyakit -mulai dari diare hingga kanker, mulai dari sakit "ringan" hingga kematian.
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization -WHO) menekankan bahwa akses ke makanan aman dan bergizi dalam jumlah yang cukup adalah kunci untuk mempertahankan kehidupan dan meningkatkan kesehatan.
Secara global data WHO menunjukkan setiap tahunnya, diperkirakan 1 dari 10 orang di dunia -jatuh sakit setelah makan makanan yang terkontaminasi setiap tahun. Anak-anak berusia di bawah 5 tahun menanggung 40 persen dari beban penyakit bawaan makanan, dengan 125.000 kematian setiap tahun.
Keamanan pangan juga terkait erat dengan masalah gizi. Makanan yang tidak aman menciptakan lingkaran setan penyakit dan kekurangan gizi, khususnya yang menyerang bayi, anak kecil, orang tua, dan orang sakit.
Kasus keracunan makanan di TTS, tidak hanya dilihat dari dampak langsung, kesakitan dan kematian, tetapi juga mungkin ada hubungan dengan masalah gizi akut misalnya stunting atau anak kerdil. Apalagi TTS dikenal sebagai salah satu kabupaten dengan angka stunting tertinggi di NTT (56 persen, tahun 2018); hanya 0.8 persen di bawah Kab TTU (50.8 persen, 2018). Keamanan bahan makanan sangat penting sebagai salah satu upaya mencegah stunting. Karena itu, cerita keracunan di TTS, seperti buah siimalakama, "makan mati, tidak dimakan mati".
Terlepas dari apapun sumber keracunan makanan, umumnya keracunan makanan terjadi akibat adanya bahan makanan yang sudah tercemar ditambah dengan proses penyediaan makanan yang tidak bersih, proses memasak makanan belum cukup matang, dan atau bahan makanannya sudah kadaluwarsa.
Patut juga dicurigai kondisi kesehatan para jurumasak, ada kemungkinan mereka juga carier (pembawa) sumber pencemaran tanpa disadari. Untuk itu, sudah saatnya dilakukan skrining dan pelatihan penjamah makanan di TTS.
Melihat kasus keracunan makanan di TTS yang terbanyak adalah keracunan makanan di tempat pesta; maka dapat diduga, masalah sanitasi atau kebersihan merupakan faktor dominan penyumbang sumber pencemaran makanan.
Selama tahun 2019, sebagian besar daerah di NTT termasuk TTS mengalami kemarau yang panjang, sekitar delapan sampai sepuluh bulan. Ketersediaan air bersih yang cukup menjadi masalah utama yang dialami oleh masyarakat NTT, terutama di daerah pedesaan, seperti di TTS. Dengan kondisi air bersih yang kurang, bahan dan makanan yang disajikan tidak bisa dijamin kebersihannya.
Dengan kondisi kemarau panjang dan suhu yang meningkat, aktivitas organisme (bakteri, virus, parasite) sumber infeksi menjadi meningkat. Bahan makanan mentah (terutama susu, telur, ikan dan daging) menjadi rentan terhadap pencemaran.
Untuk daerah seperti TTS dengan infrastruktur terbatas, terutama listrik, tidak semua masyarakat memiliki kulkas untuk menyimpan makanan. Dengan kondisi ini, makanan mentah maupun makanan masak yang tidak disimpan dengan baik akan gampang tercemar.
Faktor lain yang diduga turut menjadi penyumbang kasus keracunan di TTS adalah makanan kadaluwarsa. Buktinya adalah adanya keracunan minuman jas jus dan keracunan biscuit. Di sini, peran pemerintah dalam mengawasi keamanan makanan yang beredar di masyarakat menjadi penting.
Terjadinya kasus keracunan yang banyak dalam rentanwaktu yang pendek mengindikasikan lemahnya peran petugas kesehatan dalam melakukan pemantauan factor resiko, pemantauan bahan makanan kadaluwarsa (terutama pada saat hari raya) dan juga penyuluhan terhadap masyarakat.
Karena itu status Kejadian Luar Biasa Keracunan Makanan yang ditetapkan oleh Bupati TTS, harus menjadi pelajaran untuk melakukan langkah antisipasi dalam pengawasan keamanan bahan pangan, keamanan makanan dan termasuk pendidikan terhadap masyarakat untuk menyediakan bahan pangan dan makanan yang aman bagi dirinya dan orang lain.
Di tingkat yang lebih tinggi, sudah saatnya Pemerintah Provinsi NTT menguatkan surveilans keamanan bahan pangan dan makanan yang beredar di NTT. Dengan rantai disribusi yang panjang dari sumber produksi di luar NTT, daerah ini menjadi sangat rawan terhadap peredaran makanan kadaluwarsa. Peran Dinas Kesehatan Provinsi NTT dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan di NTT dalam mengawasi peredaran makanan yang sehat dan aman di NTT menjadi sangat penting.
Dalam kondisi kejadian luar biasa keracunan makanan, sangat dibutuhkan keputusan yang cepat dalam mengambil langkah-langkah pengamanan. Untuk itu dibutuhkan informasi yang benar tentang sumber pencemaran dan langkah antisipasinya.
Sampai saat ini hampir semua sampel untuk meneliti penyebab keracunan makanan masih harus dikirim ke laboratorium lain di luar NTT. Akibatnya hingga KLB berakhir, belum tersedia informasi tentang sumber pencemaran yang sesungguhnya.
Sudah saatnya Pemerintah NTT meningkatkan kapasitas Laboratorium Kesehatan Provinsi NTT agar bisa menangani berbagai kejadian luar biasa di NTT termasuk keracunan makanan.
Masyarakat juga perlu dihimbau terus menerus untuk berperilaku hidup sehat dan lebih pintar saat membeli bahan makanan dengan memperhatikan tanggal kadarluarsa di kemasan makanan. Kebiasaan ini belum membudaya di masyarakat sehingga berisiko untuk keracunan makanan akibat makanan kadarluarsa seperti yang terjadi saat ini. Pemerintah melalui petugas kesehatan yang ada di desa-desa, bahkan para perangkat desa perlu diberdayakan untuk menyebarkan informasi tentang makanan kadarluarsa.
Sedangkan bagi para pedagang perlu diberikan pemahaman cara menyimpan makanan-makanan yang mudah rusak atau terkontaminasi dan dampak menjual makanan kadarluarsa. Rantai pasokan atau distribusi makanan yang panjang, dibutuhkan adanya kerja sama yang baik antara pemerintah, produsen dan konsumen membantu memastikan keamanan pangan.Semoga simalakama keracunan TTS segera berakhir.(*)

 
							 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											 
											