Opini Pos Kupang
Menghindari Ujian Terstandarisasi yang Bersifat Menghukum
Mari membaca Opini Pos Kupang berjudul: menghindari Ujian terstandarisasi yang bersifat menghukum
Sebuah survei yang dilakukan oleh Abrams, Pedulla; Madus (2003) di Amerika menemukan 80 persen guru yang mengajar mata pelajaran yang berhubungan dengan materi standardized test mengalami tingkat stress yang tinggi karena tuntutan sekolah dan distrik untuk meningkatkan nilai ujian siswa.
Di samping itu, guru merasa tertekan karena harus mengubah gaya dan strategi mengajar yang sudah dirasa nyaman dan terbukti efektif meningkatkan kualitas pembelajaran karena harus menyesuaikan dengan tuntutan standardized test. Hukuman yang dialami oleh guru sebagai konsekwensi rendahnya nilai ujian siswa menambah beban dan tekanan psikologis bagi guru. Di Amerika, sejumlah distrik menggunakan hasil ujian terstandarisasi untuk merekrut dan mengevaluasi kinerja guru dan bahkan memberhentikan guru (Russel, 2005).
Selain guru, siswa juga mengalami stress dan tekanan psikologis akibat ujian terstandarisasi.
Pertama, mengkategorikan siswa berdasarkan hasil ujian dapat menimbulkan stigma negative bagi siswa. Hal ini terutama dialami oleh siswa yang mendapatkan nilai ujian yang rendah atau tidak memuaskan karena mereka biasanya membuat perbandingan hasil test dengan sesama teman-temannya. Hal ini dapat menurunkan motivasi belajar yang akan berimbas pada meningkatnya jumlah siswa drop out di sekolah.
Kedua, stress dan tekanan yang dialami siswa juga berasal dari orang tua yang memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap anak-anaknya (Fulton, 2016). Siswa merasa cemas bahwa hasil ujian yang rendah akan berdampak negative bagi masa depan mereka.
Dampak lain bagi siswa adalah ujian terstandarisasi dapat memperkuat marginalisasi siswa dari latar belakang ekonomi dan social yang tidak menguntungkan. Siswa yang hidup dalam kondisi kemiskinan cenderung mendapat nilai ujian yang lebih rendah dibandingkan sebaya mereka dari keluarga yang mapan secara ekonomi.
Hal ini berdampak pada menguatkan marjinalisasi karena mereka dipersepsikan sebagai generasi muda yang tidak punya masa depan yang baik.
Kesenjangan yang Melebar Antar Siswa
Ujian terstandarisasi juga dapat memperlebar kesenjangan antar siswa. Hal ini terjadi karena guru cenderung menggunakan metode pengajaran yang seragam atau pendekatan "one size fits all" untuk menyiapkan siswa menghadapi ujian terstandarisasi. Pendekatan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan siswa yang sangat beragam karena berasal dari latar belakang ekonomi, social dan budaya yang berbeda.
Di Australia, misalnya, pendekatan yangs seragam tersebut tidak menguntungkan bagi siswa dari kelompok minoritas seperti Aborigine, siswa berkebutuhan khusus, siswa imigran dari negara yang bukan penutur Bahasa Inggris serta siswa yang berasal dari keluarga kelas ekonomi bawah karena kelompok siswa tersebut cenderung memperolah nilai ujian yang lebih rendah dari kebanyakan siswa-siswa lainnya (Lange; Meaney, 2011).
Seperti yang dikemukakan Ozturgut (2011), dalam prakteknya ujian terstandarisasi sering kali tidak mempertimbangkan perbedaan kondisi obyektif siswa yang berasal dari latar belakang yang beragam secara ekonomi, social, budaya, kondisi siswa berkebutuhan khusus, ketimpangan infrastruktur, fasilitas pendidikan serta kualitas guru.
Kondisi ini diperburuk dengan fakta bahwa kehadiran ujian terstandarisasi berimplikasi pada kebutuhan untuk menyediakan program bantuan akademik bagi siswa seperti bimbingan belajar dan kursus yang hanya dapat diakses oleh siswa dari keluarga menengah ke atas.
Alasan lain mengapa ujian terstandarisasi dapat memperlebar kesenjangan antar siswa adalah bahwa ujian tersebut biasanya tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan sering kali bias secara budaya. Studi yang dilakukan Roberts (2007) menemukan bahwa soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam ujian terstandarisasi sering kali tidak berhubungan dengan kehidupan nyata siswa dan karenanya pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak merefleksikan keanekaragaman budaya dan geografis.
Menghindari Penilaian Kompetensi yang Bersifat Menghukum
Penilaian Kompetensi Minimum yang berbasis literasi dan numerasi tentu harus mengantisipasi pelbagai dampak negatif yang mungkin saja terjadi. Kita berharap penilaian kompetensi tersebut tidak berimplikasi negatif atau bersifat menghukum bagi siswa, guru dan sekolah namun semata-semata untuk mengukur kompetensi literasi dan numerasi siswa serta sebagai basis data dan informasi dalam rangka memetakan kualitas pendidikan dan menyusun program dan kebijakan pendidikan nasional. (*)