Opini Pos Kupang

Menghindari Ujian Terstandarisasi yang Bersifat Menghukum

Mari membaca Opini Pos Kupang berjudul: menghindari Ujian terstandarisasi yang bersifat menghukum

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Menghindari Ujian Terstandarisasi yang Bersifat Menghukum
Dok
Logo Pos Kupang

Mari membaca Opini Pos Kupang berjudul: menghindari Ujian terstandarisasi yang bersifat menghukum

Oleh: Agustinus Rahmanto, ASN Dinas Pendidikan Matim, sedang studi Master of Education (Leadership and Management) di Flinders University, Australia

POS-KUPANG.COM - Kebijakan perubahan format Ujian Nasional menjadi Penilaian Kompetensi Minimum yang akan diimplementasikan pada tahun 2021 ramai didiskusikan. Beragam tanggapan muncul baik yang mendukung maupun menolak model assessment tersebut.

Karena terstandarisasi, jenis assessment seperti ini biasa disebut ujian terstandarisasi atau standardized testing. Terdapat dua jenis standardized test yaitu high-stakes dan non high-stakes standardized testing. High-stakes standardized testing adalah jenis assessment yang digunakan pemerintah untuk menentukan kelulusan siswa, karir guru dan kepala sekolah, keberlangsungan sekolah dan alokasi dana yang diterima sekolah dari pemerintah.

Memaknai Pergantian Tahun

Di Indonesia, Ujian Nasional masuk dalam kategori high-stakes standardized testing karena hasil ujian tersebut menjadi salah satu komponen penentu kelulusan siswa.

Sedangkan non high-stakes standardized testing tidak berimplikasi hukuman bagi siswa, guru dan sekolah karena data hasil ujian hanya digunakan untuk melakukan pemetaan kualitas pendidikan dalam rangka malakukan intervensi dan menyusun kebijakan pendidikan. Salah satu contohnya adalah National Assessment Program-Literacy and Numeracy (NAPLAN) di Australia yang diberlakukan untuk siswa Year 3, 5, 7 dan 9.

Penyempitan Cakupan Konten Kurikulum

Kurikulum menjadi salah satu aspek yang terkena dampak negatif high-stakes standardized testing. Tuntutan standardized test mengharuskan sekolah mengalokasikan lebih banyak waktu untuk mata pelajaran-mata pelajaran yang berhubungan dengan materi ujian terstandarisasi.

Ahmad Atang: Pada Pilkada di NTT NasDem Diprediksi 70 Persen Rebut Kemenangan

Hal ini berdampak pada penyempitan konten kurikulum dan terabaikannya sejumlah mata pelajaran yang tidak masuk dalam materi standardized testing seperti Kesenian, Olahraga dan Sejarah.

Implikasi lanjutannya adalah kesempatan untuk mengasah kreativitas dan implementasi pembelajaran individual potensial hilang dari praktik-praktik pembelajaran di kelas (Thompson; Harbaugh, 2013).

Guru dan siswa menghabiskan lebih banyak waktu untuk malakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat artifisial seperti melatih dan mempraktikan strategi mengerjakan soal dan meningkatkan kemampuan menghafal dan mengingat.

Hal ini menyebabkan terabaikannya cooperative learning dan penerapan pembelajaran yang berorientasi high-order thinking skills dari proses belajar mengajar di kelas.

Di samping itu, penyempitan kurikulum juga berdampak pada fragmentasi pengetahuan. Konten pengetahuan dan pelajaran tidak lagi diajarkan secara terintegrasi dengan mata pelajaran lain tapi diisolasi dan dipisahkan satu sama lain untuk mengantisipasi soal-soal yang muncul dalam ujian terstandarisasi tersebut. Akibatnya adalah proses pembelajaran menjadi terpusat pada guru karena dialog yang interaktif, diskusi dan pembelajaran kooperatif tidak terfasilitasi.

Meningkatnya Stres dan Kecemasan Guru dan Siswa

Selain penyempitan cakupan konten kurikulum, high-stakes standardized testing juga dapat menimbulkan kecemasan dan tekanan psikologis bagi guru dan siswa di sekolah. Implementasi jenis test tersebut membebani guru karena mereka mendapat tugas tambahan untuk mempersiapkan siswa menghadapi ujian terstandarisasi tersebut.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Abrams, Pedulla; Madus (2003) di Amerika menemukan 80 persen guru yang mengajar mata pelajaran yang berhubungan dengan materi standardized test mengalami tingkat stress yang tinggi karena tuntutan sekolah dan distrik untuk meningkatkan nilai ujian siswa.

Di samping itu, guru merasa tertekan karena harus mengubah gaya dan strategi mengajar yang sudah dirasa nyaman dan terbukti efektif meningkatkan kualitas pembelajaran karena harus menyesuaikan dengan tuntutan standardized test. Hukuman yang dialami oleh guru sebagai konsekwensi rendahnya nilai ujian siswa menambah beban dan tekanan psikologis bagi guru. Di Amerika, sejumlah distrik menggunakan hasil ujian terstandarisasi untuk merekrut dan mengevaluasi kinerja guru dan bahkan memberhentikan guru (Russel, 2005).

Selain guru, siswa juga mengalami stress dan tekanan psikologis akibat ujian terstandarisasi.

Pertama, mengkategorikan siswa berdasarkan hasil ujian dapat menimbulkan stigma negative bagi siswa. Hal ini terutama dialami oleh siswa yang mendapatkan nilai ujian yang rendah atau tidak memuaskan karena mereka biasanya membuat perbandingan hasil test dengan sesama teman-temannya. Hal ini dapat menurunkan motivasi belajar yang akan berimbas pada meningkatnya jumlah siswa drop out di sekolah.

Kedua, stress dan tekanan yang dialami siswa juga berasal dari orang tua yang memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap anak-anaknya (Fulton, 2016). Siswa merasa cemas bahwa hasil ujian yang rendah akan berdampak negative bagi masa depan mereka.

Dampak lain bagi siswa adalah ujian terstandarisasi dapat memperkuat marginalisasi siswa dari latar belakang ekonomi dan social yang tidak menguntungkan. Siswa yang hidup dalam kondisi kemiskinan cenderung mendapat nilai ujian yang lebih rendah dibandingkan sebaya mereka dari keluarga yang mapan secara ekonomi.

Hal ini berdampak pada menguatkan marjinalisasi karena mereka dipersepsikan sebagai generasi muda yang tidak punya masa depan yang baik.

Kesenjangan yang Melebar Antar Siswa

Ujian terstandarisasi juga dapat memperlebar kesenjangan antar siswa. Hal ini terjadi karena guru cenderung menggunakan metode pengajaran yang seragam atau pendekatan "one size fits all" untuk menyiapkan siswa menghadapi ujian terstandarisasi. Pendekatan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan siswa yang sangat beragam karena berasal dari latar belakang ekonomi, social dan budaya yang berbeda.

Di Australia, misalnya, pendekatan yangs seragam tersebut tidak menguntungkan bagi siswa dari kelompok minoritas seperti Aborigine, siswa berkebutuhan khusus, siswa imigran dari negara yang bukan penutur Bahasa Inggris serta siswa yang berasal dari keluarga kelas ekonomi bawah karena kelompok siswa tersebut cenderung memperolah nilai ujian yang lebih rendah dari kebanyakan siswa-siswa lainnya (Lange; Meaney, 2011).

Seperti yang dikemukakan Ozturgut (2011), dalam prakteknya ujian terstandarisasi sering kali tidak mempertimbangkan perbedaan kondisi obyektif siswa yang berasal dari latar belakang yang beragam secara ekonomi, social, budaya, kondisi siswa berkebutuhan khusus, ketimpangan infrastruktur, fasilitas pendidikan serta kualitas guru.

Kondisi ini diperburuk dengan fakta bahwa kehadiran ujian terstandarisasi berimplikasi pada kebutuhan untuk menyediakan program bantuan akademik bagi siswa seperti bimbingan belajar dan kursus yang hanya dapat diakses oleh siswa dari keluarga menengah ke atas.

Alasan lain mengapa ujian terstandarisasi dapat memperlebar kesenjangan antar siswa adalah bahwa ujian tersebut biasanya tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan sering kali bias secara budaya. Studi yang dilakukan Roberts (2007) menemukan bahwa soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam ujian terstandarisasi sering kali tidak berhubungan dengan kehidupan nyata siswa dan karenanya pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak merefleksikan keanekaragaman budaya dan geografis.

Menghindari Penilaian Kompetensi yang Bersifat Menghukum

Penilaian Kompetensi Minimum yang berbasis literasi dan numerasi tentu harus mengantisipasi pelbagai dampak negatif yang mungkin saja terjadi. Kita berharap penilaian kompetensi tersebut tidak berimplikasi negatif atau bersifat menghukum bagi siswa, guru dan sekolah namun semata-semata untuk mengukur kompetensi literasi dan numerasi siswa serta sebagai basis data dan informasi dalam rangka memetakan kualitas pendidikan dan menyusun program dan kebijakan pendidikan nasional. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved