Transformasi Agama
Keyakinan sama sekali tidak identik dengan kebenaran. Mendakwa dan menghakimi keyakinan lain sebagai yang salah adalah tindakan tercelah
Kalau agama mengabdi pada nilai-nilai seni yang juga adalah produk dari kapitalisme, maka meminjam istilah Georg Simmel, agama menjadi the work of art. Kalau memang demikian maka esensi agama pun mendangkal ke life style. Dan life style itu berhubungan dengan privatisasi.
Dan kalau agama sudah menjadi persoalan privat, maka, nilai-nilai, norma-norma dan acuan-acuan umum yang digariskan oleh agama menjadi lentur dan tidak lagi mempunyai daya paksa.
Menghadapi situasi penghayatan agama yang estetis ini, maka agama harus mampu memberikan pelayanan tidak hanya dalam mendukung dan meningkatkan keyakinan agama pemeluknya, tetapi juga dalam memperluas implikasi agama di luar bidang agama itu sendiri.
Dengan demikian, agama tidak hanya menegaskan fungsinya bagi umat, tetapi performancenya dalam memberikan solusi di luar masalah agama (Abdullah, 2006).
Kendala Toleransi
Keyakinan dalam diri manusia tidak terlepas dari kesadaran diri, persepsi, memori dan belajar yang berpusat pada otak. Pertanyaannya adalah apa yang salah dengan kesadaran, memori, persepsi dan belajar sehingga tolerasi di negara kita sering dicederai dan terluka?
Jawabannya adalah karena kesadaran, memori, persepsi dan belajar telah dikuasai oleh `kesempitan' sehingga melihat segala perbedaan sebagai yang mengancam. Insting mereka-mereka yang sempit cakrawalanya lebih menyukai mitos dalam kehidupan beragamanya. Akibatnya; kemanusiaan seringkali dilanggar.
Pada masa pemerintahan Romawi yang terjadi menjelang kelahiran Yesus Kristus, para pemimpin agama (ahli taurat, imam dan orang farisi) memiliki privilege (kedudukan khusus) dan diberikan kekuasaan untuk mengatur masalah-masalah yang terkait dengan kehidupan rohani.
Kedudukan semacam ini membuat mereka `bermain' sebagai `Tuhan' dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kekuatan tersebut mereka bebas membuat fatwa yang dipergunakan untuk melenyapkan `lawan-lawan' (kelompok yang berbeda).
Sebagai contohnya mereka membuat fatwa bahwa Yesus adalah manusia sesat dan kelompoknya merupakan sekte penghojat Allah. Fatwa yang demikian ini membawa Yesus pada tiang salib.
Agama yang adalah sebuah keyakinan selalu ada dalam ranah differensial. Tanggung jawab kita adalah bagaimana kita bisa menilai dan mengekspose yang differensial ini menjadi nadi dalam membangun kebersamaan yang multireligion sambil menepis dari wajah kita sendiri bisik-bisik egosentrisme?
Terkait dengan realitas adanya pergeseran nilai agama dari etis ke estetis, pertanyaannya adalah, apa yang bisa `dijual' oleh agama sehingga nilai-nilai yang ditawarkan agama bisa membendung nilai-nilai estetis yang kapitalis.
Dalam konteks ini kendala yang dihadapi umat beragama adalah lemahnya sinergisitas dalam memerangi gempuran kapitalisme. Kita terlalu sibuk mempersoalkan perbedaan di antara kita dan sibuk mendakwa the others sebagai yang salah dan sesat dan lupa mencari dan menemukan nilai-nilai suci pada yang lain yang berbeda dengan kita.
Pada hal dalam diri the others pun terkandung nilai-nilai kesucian yang bisa dipelajari.
Kendala tolerasi hanya bisa diurai dengan membuka cakrawala dan memperkaya kesadaran diri, persepsi, memori dan belajar kita. Pada tataran inilah agama mentransformasi dirinya untuk memberi andil sosial. Tanpa ini, kita akan terus berkubang dalam intoleransi dan konflik. (*)