Transformasi Agama

Keyakinan sama sekali tidak identik dengan kebenaran. Mendakwa dan menghakimi keyakinan lain sebagai yang salah adalah tindakan tercelah

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Transformasi Agama
Dok
Logo Pos Kupang

Keyakinan sama sekali tidak identik dengan kebenaran. Mendakwa dan menghakimi keyakinan lain sebagai yang salah adalah tindakan tercelah

Oleh: Dony Kleden, Dosen Antropologi & Sastra STKIP Weetebula, Sumba Barat Daya

POS-KUPANG.COM - Keyakinan sama sekali tidak identik dengan kebenaran. Mendakwa dan menghakimi keyakinan lain sebagai yang salah adalah tindakan tercelah yang dikuasai oleh naluri pertahanan diri yang egois.

Agama adalah sebuah bekuan keyakinan. Kitab Suci adalah sebuah bekuan sejarah. Keyakinan dan sejarah sama-sama membangun sebuah entitas suci yang pada gilirannya meminta kepatuhan dan kesetiaan. Karena sebagai sebuah entitas, agama meleburkan diri dalam sebuah sistem di mana di dalamnya terdapat entitas lain yang saling mempengaruhi. Dan karena itu agama tidak bisa melepaskan diri dari kerja sistem.

Operasi Sesar, Haruskan Menggerogoti Dana BPJS Kesehatan

Membaca hadir dan perannya agama dalam kehidupan orang modern sekarang, rasanya ada lompatan kuantum yang mengangkangi kekhusukan ajaran klasik dan tradisional yang dilestarikan dalam berbagai ritus, dan juga ajaran-ajaran yang sifatnya interpretatif. Memahami ritus dan ajaran-ajaran agama yang sifatnya interpretatif, orang lalu mulai bertanya; apakah ritus dan ajaran itu sah?

Pertanyaan yang demikian ini mendapat reaksi dari para teolog atau pemuka agama, yang berdalih bahwa, menjalankan ritus dan ajaran-ajaran agama itu tidak terletak pada soal sah atau tidak sah-nya. Karena sah atau tidak sah-nya itu terletak pada ketepatan dalam sebuah pelaksanaan.

Wabup Langoday Buka Musda MUI Kabupaten Lembata

Pertanyaan yang lebih substantif dari persoalan ini adalah; apakah itu semua bisa membawa orang pada keselamatan? Pertanyaan yang semacam ini, sebenarnya menggiring orang masuk dalam sebuah hutan rimba yang gelap gulita. Karena tidak ada orang pun tahu secara persis, apakah apa yang dibuat itu sungguh membuat selamat.

Mengapa? Karena agama juga tidak mempunyai kriteria yang kokoh tentang keselamatan selain berpijak pada sebuah rabaan tafsir dan mitos. Karena berpijak pada rabaan tafsir dan mitos maka kriteria yang dipakai pun adalah kriteria yang baik dalam kaca mata manusia yang sangat mungkin saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Konflik antar agama karena klaim kebenaran adalah bukti dari perbedaan tafsir itu.

Etis ke Estetis: Realitas

Pada peradaban modern sekarang ini, kehidupan manusia ditandai dengan berbagai proses estetisasi, yakni menguatnya kecenderungan hidup sebagai proses seni. Produk yang dikonsumsi tidak dilihat dari fungsi, tetapi dari simbol yang berkaitan dengan identitas status. Pada saat kecenderungan ini terjadi esensi kehidupan menjadi tidak penting, karena sebagai sebuah seni, kehidupan itu memiliki makna keindahan sehingga yang dihayati dari hidup itu adalah citra (Simmel, 1991).

Makanan bukan lagi merupakan proses pemuasan kebutuhan biologis, tetapi lebih merupakan kebutuhan simbolis yang dikaitkan dengan jenis makanan, tempat makan, dan suasana yang dihadirkan pada saat makan. Tata makan dan seni di dalam praktik makan, telah membentuk suatu lingkaran nilai yang menjauhkan praktik makan dari nilai esensialnya (Abdullah, 2006).

Bagaimana dengan penghayatan agama? Karena agama juga adalah sebuah entitas yang berada dalam sebuah sistem maka, dia juga tidak selalu berhasil menghindarkan diri dari estetika itu. Penghayatan agama pun seringkali terjebak dalam praktik-praktik pragmatis estetis.

Pragmatis estetis adalah sebuah penghayatan yang didasarkan atas dorongan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga bisa diterima dan bertahan, tidak terkecuali dipuja-puji dan bukan karena kesadaran dan intervensi ilahi.

Kalau agama terjerembab dalam pragmatis estetis ini, nilai-nilai etis agama menjadi kabur. Agama lalu menjadi produk yang dikonsumsi dengan jiwa kapitalis. Kalau memang demikian maka yang dikonsumsi dari agama tidak lagi esensi dari agama itu sendiri tetapi citra agama sebagai sebuah sistem simbol (Abdullah, 2006).

Kalau pengahayatan agama sudah terjerembab dalam situasi yang demikian ini maka agama gagal dalam menanamkan nilai-nilai yang mampu membendung citra seni dari kapitalisme yang begitu hegemonik.

Kalau agama mengabdi pada nilai-nilai seni yang juga adalah produk dari kapitalisme, maka meminjam istilah Georg Simmel, agama menjadi the work of art. Kalau memang demikian maka esensi agama pun mendangkal ke life style. Dan life style itu berhubungan dengan privatisasi.

Dan kalau agama sudah menjadi persoalan privat, maka, nilai-nilai, norma-norma dan acuan-acuan umum yang digariskan oleh agama menjadi lentur dan tidak lagi mempunyai daya paksa.

Menghadapi situasi penghayatan agama yang estetis ini, maka agama harus mampu memberikan pelayanan tidak hanya dalam mendukung dan meningkatkan keyakinan agama pemeluknya, tetapi juga dalam memperluas implikasi agama di luar bidang agama itu sendiri.

Dengan demikian, agama tidak hanya menegaskan fungsinya bagi umat, tetapi performancenya dalam memberikan solusi di luar masalah agama (Abdullah, 2006).

Kendala Toleransi

Keyakinan dalam diri manusia tidak terlepas dari kesadaran diri, persepsi, memori dan belajar yang berpusat pada otak. Pertanyaannya adalah apa yang salah dengan kesadaran, memori, persepsi dan belajar sehingga tolerasi di negara kita sering dicederai dan terluka?

Jawabannya adalah karena kesadaran, memori, persepsi dan belajar telah dikuasai oleh `kesempitan' sehingga melihat segala perbedaan sebagai yang mengancam. Insting mereka-mereka yang sempit cakrawalanya lebih menyukai mitos dalam kehidupan beragamanya. Akibatnya; kemanusiaan seringkali dilanggar.

Pada masa pemerintahan Romawi yang terjadi menjelang kelahiran Yesus Kristus, para pemimpin agama (ahli taurat, imam dan orang farisi) memiliki privilege (kedudukan khusus) dan diberikan kekuasaan untuk mengatur masalah-masalah yang terkait dengan kehidupan rohani.

Kedudukan semacam ini membuat mereka `bermain' sebagai `Tuhan' dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kekuatan tersebut mereka bebas membuat fatwa yang dipergunakan untuk melenyapkan `lawan-lawan' (kelompok yang berbeda).

Sebagai contohnya mereka membuat fatwa bahwa Yesus adalah manusia sesat dan kelompoknya merupakan sekte penghojat Allah. Fatwa yang demikian ini membawa Yesus pada tiang salib.

Agama yang adalah sebuah keyakinan selalu ada dalam ranah differensial. Tanggung jawab kita adalah bagaimana kita bisa menilai dan mengekspose yang differensial ini menjadi nadi dalam membangun kebersamaan yang multireligion sambil menepis dari wajah kita sendiri bisik-bisik egosentrisme?

Terkait dengan realitas adanya pergeseran nilai agama dari etis ke estetis, pertanyaannya adalah, apa yang bisa `dijual' oleh agama sehingga nilai-nilai yang ditawarkan agama bisa membendung nilai-nilai estetis yang kapitalis.

Dalam konteks ini kendala yang dihadapi umat beragama adalah lemahnya sinergisitas dalam memerangi gempuran kapitalisme. Kita terlalu sibuk mempersoalkan perbedaan di antara kita dan sibuk mendakwa the others sebagai yang salah dan sesat dan lupa mencari dan menemukan nilai-nilai suci pada yang lain yang berbeda dengan kita.

Pada hal dalam diri the others pun terkandung nilai-nilai kesucian yang bisa dipelajari.
Kendala tolerasi hanya bisa diurai dengan membuka cakrawala dan memperkaya kesadaran diri, persepsi, memori dan belajar kita. Pada tataran inilah agama mentransformasi dirinya untuk memberi andil sosial. Tanpa ini, kita akan terus berkubang dalam intoleransi dan konflik. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved