APBD dan Ketidakpastian Ekonomi
KONDISI ekonomi yang mengalami ketidakpastian belakangan ini jelas tidak menyenangkan bagi semua pihak.
Oleh : Adi Dami, Sekda Kota Kupang 2010-2012
POS-KUPANG.COM - KONDISI ekonomi yang mengalami ketidakpastian belakangan ini jelas tidak menyenangkan bagi semua pihak. Dalam atmosfer seperti ini, pemerintah tentu memiliki tanggung jawab besar memastikan rakyat dapat berkembang sebagaimana mestinya dalam peradaban. Tanggung jawab tersebut harus diturunkan dalam perangkat kebijakan serta komitmen anggaran ( APBD).
Sebab, beberapa kebijakan dipertanyakan efektivitasnya karena tidak menjawab persoalan fundamental, bahkan memunculkan masalah baru. Koherensi antara target pembangunan ekonomi jangka pendek dan jangka panjang juga belum tampak.
• Pasar Waimangura Semrawut, Ini Tanggapan Bupati Sumba Barat Daya dr. Kornelius Kodi Mete
Sebagaimana, kebijakan yang fokus pada pengembangan manusia sering kali terabaikan, paling kurang karena dua hal. Pertama, kebutuhan mengejar pembangunan fisik masih begitu masif sehingga konsentrasi pada manusia sangat mudah terabaikan. Kedua, situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian membuat energi tersedot pada upaya memadamkan persoalan ketimbang membangun hal yang tak kelihatan.
Sehingga, persoalan kebijakan ini tentu akan mengalami transmisi pengaruh pada perekonomian domestik. Dalam situasi dimana pertumbuhan nasional terhambat, pertumbuhan daerah tak mampu meningkat drastis. Artinya, ada persoalan struktural yang dampaknya jangka panjang.
• Siswa SMPK Santa Theresia Lewoleba Berikan Bunga untuk Guru
Hal ini tercermin dalam APBD yang disusun, terkesan hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri. APBD bukannya menjadi stimulus ekonomi, tapi justru menjadi konstraksi pada 2020 mendatang. Oleh karena itu, penetapan APBD 2020 harus dilakukan lebih rasional untuk mendukung dinamika perekonomian yang berkembang saat ini.
"Animal Spirit"
Kita memang hidup dalam dunia yang tidak pasti. Dalam ketidakpastian, penentu kebijakan, pelaku ekonomi dan masyarakat akan menghindari risiko, bahkan untuk hal yang kecil sekalipun. Menghadapi situasi ini, jika kita tidak melakukan apa-apa, hal itu sebenarnya mengindikasikan tidak adanya terobosan yang signifikan akibat ketiadaan inovasi dan kreatif.
Tanpa bermaksud menyederhanakan permasalahan dan menganggap pihak lain tak penting, saya sudah sampai pada satu titik kesimpulan: konsevatisme telah menjalar dalam kebijakan APBD.
Kita tidak ingin, anggaran daerah dibelanjakan untuk kegiatan pembangunan, namun nilai manfaat dan keberlanjutannya tidak sebanding ketika prosesnya sering terjadi kegagalan pembangunan. Artinya jangan sampai rangkaian peristiwa akhir-akhir ini memberikan kesimpulan atau persepsi bahwa pembangunan dilakukan tidak sesuai dengan standar atau prosedur yang sudah diatur.
Apalagi, tema pembangunan daerah bertumpu pada sektor ekonomi sebagai penggerak. Oleh karena itu, pembiayaan pembangunan diharapkan bersumber dari pajak dengan mobilisasi sumberdaya domestik maupun swasta.
Namun, Sri Mulyani, Menteri Keuangan mengakui penerimaan pajak yang loyo hingga Oktober tahun ini, diakibatkan oleh kondisi perekonomian global yang tak menentu seperti perang dagang.(CNBC Indonesia.com 16/11).
Jika pemerintah memaksa menaikkan target penerimaan (pajak) secara signifikan. Akibatnya, target penerimaan (pajak) menjadi sangat tidak realistis, cenderung kontraproduktif, dan seolah menjadi sangat represif terhadap pelaku ekonomi. Bukan tidak mungkin, jika hal ini terus berlangsung, pertumbuhan ekonomi yang kurang memuaskan.
Di dalam ilmu ekonomi, salah satu variabel yang tak bisa sepenuhnya dikendalikan adalah ekspektasi yang tidak rasional. Menurut Keynes dalam Basri (2015), menyebutnya animal spirit. Intinya, pelaku ekonomi tak hanya bergerak karena didorong oleh motif ekonomi dan perilaku rasional, tetapi juga perilaku tak rasional, seperti animal spirits.
Dalam situasi yang tak pasti, individu dalam sebuah kelompok akan mencoba mengurangi risiko dengan bergerak mengikuti pola kelompoknya. Tindaan ini dilakukan bersama-sama, tetapi tanpa koordnasi.
Cara pandang yang sama hendak dipakai dalam tarik-menarik pemangku kepentingan APBD. Padahal, fakta yang menarik untuk dikupas, ketika ketidakpastian ekonomi menerjang, apa yang dilakukan pemerintah daerah?
Penganggaran Kreatif
APBD merupakan instrumen fiskal utama guna memandu seluruh kebijakan pemerintah agar ada lompatan besar dan efektif mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Muaranya, untuk mewujudkan target pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, dan penciptaan lapangan kerja.
Pengambil kebijakan APBD mesti paham peta dan implikasi atas seluruh kebijakan belanja daerah yang diproduksi, terutama menyangkut kepentingan masyarakat.
Sebab, menurut Sri Mulyani, Menteri Keuangan (detikfinance.com 15/11), mengungkapkan keresahannya soal belanja pemerintah daerah melalui APBD. Pasalnya 70% digunakan untuk keperluan PNS, sisanya baru untuk masyarakat.
Karena itu, respon kebijakan harus fokus pada kebijakan yang mampu mengangantisipasi dan memitigasi dampak negatifnya ke perekonomian daerah. Sebagai misal, kontribusi APBN terhadap pembentukan PDRB NTT 30% -40%.
Artinya pertumbuhan NTT sangat bergantung pada APBN terutama belanja modal untuk mendukung pembentukan modal tetap bruto.
Oleh karena itu, obat jangka pendek bagi perekonomian daerah tampaknya tak bisa ditawar lagi. Bagaimana mewujudkan hal itu? Kuncinya fokus pada penganggaran kratif yang bisa memberikan daya ganda ekonomi bagi perekonomian dan masyarakat.
Yang bisa memenuhi kriteria ini adalah cash transfer bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin. Alasannya, karena cepat atau lambat, kebijakan ini akan berpengaruh pada daya beli masyarakat dan tingkat konsumsi secara agregat.
Sebab, penganggaran kreatif ini terletak pada dorongan pertumbuhan konsumsi dan investasi. Tanpa dukungan konsumsi yang naik signifikan, tentu akan sulit menggerakkan investasi. Kalau konsumsi masyarakat berangsur membaik, ada harapan pengusaha akan meningkatkan produksi dan mendorong investasinya sehingga pendapatan masyarakat makin membaik.
Sehingga, kebijakan cash transfer ini diharapkan sekaligus mengusir kegalauan banyak pihak soal arah kebijakan APBD dan merupakan bentuk skema penganggaran kreatif yang akan memberikan dimensi baru dalam pengelolaan APBD.
Dengan kata lain, pemerintah wajib memproduksi kebijakan APBD yang bernas pemikahannya dengan meletakan seluruh kapasitas teknokratik dengan beberapa pertanyaan panduan terkait penganggaran kreatif adalah Pertama, apakah dan mengapakah program atau kegiatan itu perlu? Disini memaksa kita untuk menjelaskan sifat program atau kegiatan dimaksud.
Kedua adalah, apakah program atau kegiatan itu perlu sekarang, apakah tidak ada kegiatan lain yang lebih mendesak? Kita perlu menjelaskan urgensi kegiatan ini lebih unggul daripada kegiatan lain. Ketiga, apakah perlu biaya sebesar itu, sehingga ongkosnya tidak bisa diturunkan? Memerlukan kefektifan biaya yang sudah diperhitungkan.
Sehingga, postur APBD yang akomodatif terhadap penganggaran kreatif tidak hanya dapat memperbesar kapasitas pembiayaan pembangunan, mempercepat aktivitas usaha, dan meningkatkan efisiensi perekonomian. Lebih dari itu, penganggaran kreatif berpotensi transformatif bagi perbaikan struktur ekonomi dan penciptaan sumber pertumbuhan.
Ketidakpastian ekonomi selalu berulang dengan pola sama meski pemicunya berbeda. Sehingga, satu-satunya cara untuk memitigasi ketidakpastian adalah dengan menegaskan kecermatan tanpa kompromi. Tantangannya adalah bagaimana di tengah segala keterbatasan anggaran, kapasitas, regulasi, maupun waktu, kita mampu meramu kebijakan dan strategi yang efektif dan paling mungkin dilakukan.
Sebab, perubahan kebijakan penganggaran pasti menimbulkan riak pada titik tertentu. Walapun begitu kehadiran pemerintah (APBD) dalam aktivitas perekonomian diperlukan untuk dapat mengurangi dampak dari ketidakpastian ekonomi.
Oleh karenanya pengaturan yang lebih serius akan tata-kelola APBD secara kese-luruh-an sangat diperlukan agar ekonomi berpeluang tumbuh lebih cepat dan inklusif, agar tidak ter-jadi implikasi buruk terhadap daya hidup ekonomi domestik dan kepentingan masyarakat. (*)