Anak Kampus di Sarang Radikalisme
Dekade belakangan ini, sakralitas kampus sebagai institusi akademik mengalami kebangkrutan yang serius.
Oleh : Marsel Robot, Dosen, Kepala Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata LP2M Undana
POS-KUPANG.COM - Dekade belakangan ini, sakralitas kampus sebagai institusi akademik mengalami kebangkrutan yang serius. Terkesan sangar, jutek, ugal-ugalan, terutama oleh karena dua hal. Pertama, terjadi tawuran ngawur antarmahasiswa yang mementaskan perilaku kampungan oleh orang kampus. Tingkah laku anak kampus semacam ini merupakan salah satu bentuk ekspresi penistaan martabat akademik yang paling memilukan dan memalukan sekaligus.
Masyarakat tersipu malu, lantas melemparkan senyum sinis seraya berkata penuh heran, "Kok bisa? Kampus menjelma menjadi simpang jalan atau deker tempat menyelesaikan masalah mengandalkan otot daripada otak." Padahal, kampus yang penduduknya kaum cendikia harus menjadi "dian" (lampu bercahaya) yang memberikan solusi ilmiah bagi fenomena sosial yang membutuhkan jamahan pikiran dan aplikasi ilmunya.
• Naskah Pidato Nadiem Makarim di Hari Guru Nasional Viral, Komentar Dian Sastro Curi Perhatian
Kedua, yang jauh lebih berbahaya dan bersifat laten ialah merasuknya paham radikalisme berkedok agama di kampus. Bayangkan, jikalau kampus-kampus terhinggap atau terpapar radikalisme, apalagi di kampung-kampung. Atau sebaliknya, orang kampung justru lebih bijak, tumbuh dalam keademan, parokial, hidup di antara kicauan burung di ujung senja dan bentangan sawah di kaki bukit, petani menapak pematang tanpa horor karena teror. Mungkin, orang kampung terlalu sibuk mengurusi nafkah, sehingga tidak ada waktu untuk mereken-reken agama apa yang dianut oleh tetangganya. Apalagi menyeret Tuhan ke jalan raya.
Radikalisme berusaha merasuk dan merusak mental anak kampus (mahasiswa). Mencengangkan, misalnya, data yang disodorkan Direktur Riset Setara Institute, terdapat 10 perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia terpapar paham Islam radikalisme yakni UI, ITB, UGM, UNY, UIN Jakarta dan Bandung, IPB, UNBRAW, UNIRAM, dan UNAIR. Universitas-universitas keren yang selalu menginspirasi perubahan. Tak terkecuali di Nusa Tenggara Timur, sejumlah universitas besar terpapar paham radikalisme. Penelitian terhadap paham radikal pada lima perguruan tinggi negeri dan swasta telah dilakukan oleh Dr. Hendrik Maku, SVD, Bernard Raho, SVD, dan Romo Mathias David, Pr., menunjukkan 20,05 persen dari 200-an responden mahasiswa di NTT terpapar paham radikalisme (Pos Kupang, 25 Oktober 2019).
• Turun Satu Peringkat di Klasemen, Persib Tampil di Turnamen Internasional Piala Cabaran 2020
Angka itu tergolong tinggi bagi daerah yang dikenal daerah toleran di Indonesia. Pertanyaan yang sayup menyusup dari sisi kanan kampus, mengapa kampus begitu mudah jatuh dalam cobaan sosial semacam itu, sehingga dihinggapi paham radikal (radikalisme) yang berafiliasi pada ideologi keagamaan tertentu? Tentu Anda dapat memperpanjang pertanyaan ini. Pertanyaan itu mengundang sejumlah jawaban, sangat tergantung cara pandang Anda, bahkan berdasarkan pengalaman Anda. Pertama, kampus mempunyai adatistiadat mendikte (kuliah) alias "beda dikit" dengan indoktrinasi dan cuci otak atau mewanteksi (memberi warna) ideologi tertentu. Habitus ini menjadi ruang rangsang paling potensial untuk menghidupkan paham radikalisme di kampus. Keadaan demikian diperkuat oleh bumi kampus merupakan lahan terbuka untuk ditanami ideologi apa saja. Dengan kata lain, otonomi kampus menjadi area paling subur untuk membibitkan dan membobotkan paham radikalisme agama atau paham apapun. Katakan, ventilasi kampus begitu terbuka untuk dihembusi anarkisme dan radikalisme melalui berbagai motif seperti pengajian kampus, diskusi politik, narasi-narasi ideologis, dan indoktrinasi ajaran-ajaran tertentu yang bertolak belakang dengan prinsip keindonesiaan atau kebhinekaan.
Kedua, asumsi kuat, ada semacam ketololan kaum cendikia (dosen dan mahasiswa) ketika ilmu dipelintir untuk kepentingan kebencian. Kampus memproduksi bandit-bandit dari kelas teri (tawuran) hingga kelas kakap (bercokolnya kaum fundamentalist). Mungkin pula, kesibukan ilmu-berilmu di kampus dan di ruang-ruang kuliah terlampau memfokuskan diri pada pencapaian kecerdasan pikiran yang kadang berkutat dan berkotek pada nalar yang hitam putih (benar-salah). Padahal, hukum logika benar-salah hanya sebagian terkecil dari penjelajahan akal budi manusia untuk menjelaskan kotak hitam kehidupan.
Penelitian yang dilakukan Setara Institute masih bersifat gelondongan, hanya menemukan kampus-kampus yang terpapar virus radikalisme. Belum dilakukan studi khusus atau studi kasus tentang misalnya, jurusan mana yang paling mudah diserang virus radikalisme. Peneltian di luar negeri menunjukkan fenomena unik.
Hasil penelitian memperlihatkan mahasiswa teknik lebih rentan terhadap radikalisme. Keadaan demikian ditunjukkan oleh Diego Gambetta dan Steffen Hertog. Kedua peneliti ini mengumpulkan data dari pelbagai gerakan radikal di lingkungan Islam dan ratusan aktivis yang berasal dari 30 negara di Timur Tengah dan Afrika. Mereka yang diambil sebagai sampel adalah orang yang lahir antara 1950-an dan 1970-an. Ada juga orang Indonesia yang terlibat dalam gerakan ini.
Penelitian ini mengejutkan oleh karena gerakan radikal lebih mudah menggoda mereka yang memiliki pendidikan universitas. Secara khusus, para insinyur memiliki kemungkinan tiga atau empat kali lebih besar untuk menjadi radikal dan teroris daripada mereka yang berprofesi dalam bidang keuangan, kedokteran, maupun ilmu-ilmu eksakta (the sciences).
Ditemukan 6o persen dari para teroris di Barat memiliki latar belakang ilmu teknik (engineering). Sebanyak 8 orang dari 25 teroris yang melakukan serangan 11 September 2001 juga berlatar belakang teknik. Secara keseluruhan, 44,9 persen dari mereka yang terlibat dalam radikalisme memiliki ijazah teknik (Gambetta dan Hertog 2016: 4,11).
Faktor pendorong para insiyur adalah melampiaskan rasa frustrasi akibat tidak diserap oleh pasar tenaga kerja pada tahun 1980-an (baca Majalah Kebudayaan Basis, Nomor 07-08, Tahun Ke-66,2017).
Tentu saja, motif radikalisme di kampus-kampus Indonesia berbeda dengan kampus-kampus di luar negeri. Akah tetapi, yang paling mengecewakan bahwa penduduk kampus mengalami kemelaratan moral akademik. Kampus kehilangan bisa akademik yang paling diandalkan memecahkan persoalan sosial.
Pada tingkat seperti itu, kampus menjadi tempat memproduksi sampah pikiran yang kadang tidak bermutu sama sekali. Padahal, Kampus mesti menjadi laboratorium sucihama dari virus radikalisme. Ia berperan untuk menjelaskan secara akademis tentang radikalisme, bukan menjadi kaum fundamentalis.
Wabah radikalisme di kampus mengingatkan kita. Pertama, paham radikal adalah ancaman nyata dan serius. Paham ini selalu menjadi penggoda paling manjur, terutama pada masa puber politik. Kedua, mengingatkan pihak kampus harus menormalisasikan kampus dengan cara mendeteksi secara dini virus radikalisme di berbagai kelompok diskusi, kelompok pengajian, atau diskusi politik, forum-forum pertemuan eksklusif di kampus yang sengaja dilakukan untuk membibitkan dan membobotkan paham radikal.