Komnas HAM Ungkap Pelaku Penembakan 10 Warga Sipil dalam Kerusuhan 21-23 Mei 2019
Laporan investigasi Tim Pencari Fakta Peristiwa (TPF-P) Kerusuhan 21-23 Mei 2019 bentukan Komnas HAM itu memaparkan 7 temuan.
Sebanyak 10 Warga Sipil Tewas dalam Kerusuhan 21-23 Mei 2019: Komnas HAM: 'Penembaknya Terlatih'
POS-KUPANG.COM - Komnas HAM menyimpulkan aparat Kepolisian RI telah melanggar prinsip dan norma-norma HAM dalam penanganan kerusuhan 21-23 Mei 2019. Polisi disebut telah melakukan kekerasan dan kewenangan berlebihan terhadap massa.
Laporan investigasi Tim Pencari Fakta Peristiwa (TPF-P) Kerusuhan 21-23 Mei 2019 bentukan Komnas HAM itu memaparkan 7 temuan.
Di antaranya disebutkan, sebanyak 10 warga sipil telah tewas dalam peristiwa itu. Sembilan orang meninggal pada kerusuhan di Jakarta, 4 di antaranya masih anak-anak, serta 1 orang tewas pada kerusuhan di Pontianak, Kalimantan Barat.
Dari jumlah itu, satu orang korban meninggal akibat benturan benda keras di kepalanya, dan 9 korban lainnya tewas akibat peluru tajam.
Komisioner Komnas HAM sekaligus wakil ketua TPF Beka Ulung Hapsara menjelaskan hasil penyelidikan menyimpulkan tembakan amunisi aktif yang menewaskan ke-9 korban itu bukan berasal dari senjata kesatuan pengamanan Polri.

Sebaliknya, menurut Beka Ulung Hapsara, penembakan itu diperkirakan dilakukan oleh kelompok profesional dan terlatih.
"Kami menyimpulkan penembakan dilakukan oleh lebih dari 1 orang dan pelaku adalah orang yang terlatih serta terorganisir. Kesimpulan ini didasarkan pada fakta lokasi penemuan ke-9 korban berbeda-beda dan saling berjauhan," jelasnya.
"Penembakan ini tidak mungkin dilakukan oleh 1 orang. Tapi oleh beberapa orang. Kami katakan terlatih dan professional karena dari bekas luka, semua diarahkan pada organ vital korban," kata Beka.
Atas temuan ini Komnas HAM mendesak Polri untuk menuntaskan penyelidikan mereka terkait pelaku penembakan dan juga otak di balik kerusuhan ini.
Polisi berlebihan sikapi massa

Hasil penyelidikan TPF-P Komnas HAM juga menyimpulkan aparat kepolisian melakukan kekerasan dan terjadi penggunaan kewenangan yang berlebihan dalam menangani massa yang ricuh pada 21-23 Mei 2019 lalu.
Menurut Beka, berdasarkan bukti rekaman kamera, aparat polisi diketahui melakukan kekerasan di lima lokasi ibukota yakni di Kampung Bali, di depan kantor Kementerian ATR/BPN Jakarta Pusat, Jalan Kota Bambu Utara I, pos penjagaan Brimob, dan Jalan KS Tubun Jakarta Barat.
"Di lima lokasi itu, terjadi pemukulan, intimidasi, pengeroyokan oleh aparat polisi. Tindakan ini dipicu emosi akibat mengetahui terjadinya pembakaran asrama Polri di Petamburan atau karena tidak mampu mengendalikan emosi akibat kelelahan. Tapi ini tidak bisa diterima," papar Beka.
"Penggunaan kekerasan memang diperbolehkan dalam penanganan suatu peristiwa, bahkan polisi memiliki kewenangan seperti itu. Tetap implementasinya harus ketat. Dalam arti, dalam situasi terdesak dll," jelasnya.