Komnas HAM Ungkap Pelaku Penembakan 10 Warga Sipil dalam Kerusuhan 21-23 Mei 2019

Laporan investigasi Tim Pencari Fakta Peristiwa (TPF-P) Kerusuhan 21-23 Mei 2019 bentukan Komnas HAM itu memaparkan 7 temuan.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN MOZES
Polisi bertahan dari lemparan batu para demonstran yang ricuh di dekat gedung Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Rabu (22/5/2019) malam. 

"Tapi dalam kasus 21-23 Mei, kami tidak menemukan adanya indikasi terutama di 5 lokasi itu yang bisa dijadikan alasan bagi polisi untuk melakukan kekerasan. Makanya kami menyebutnya dengan istilah penggunaan kekerasan berlebihan."

Temuan Komnas HAM ini tidak jauh berbeda dengan hasil investigasi independen yang dilakukan Amnesty International Indonesia dan Ombudsman RI terkait peristiwa ini.

Amnesty International Indonesia yang merilis hasil investigasi kerusuhan 21-23 Mei pada Juni lalu mengungkapkan pihaknya menemukan dugaan penyiksaan oleh aparat kepolisian dalam kerusuhan itu.

Aparat polisi disebutkan melakukan penyiksaan terhadap massa yang sudah tertangkap dan tidak melakukan perlawanan di Jalan Kampung Bali dan sekitar Bawaslu.

Sementara hasil rapid Assessment yang dilakukan Ombudsman menemukan Korps Bhayangkara telah melakukan empat mal-administrasi dalam penanganan Kerusuhan 21-23 Mei.

Empat mal-administrasi itu meliputi penyalahgunaan wewenang; penyimpangan prosedur dan tidak kompeten pada perencanaan dan plotting pasukan; cara bertindak Polri; serta proses hukum terhadap tersangka dan barang bukti.

Menanggapi laporan Komnas HAM ini, dikutip dari Kompas.com, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri, Kombes Asep Adi Saputra memastikan, pihaknya telah menelisik musabab kematian tersebut. Kerusuhan disinyalir sebagai penyebab pasti jatuhnya korban jiwa saat unjukrasa.

Sebelumnya Polisi juga telah mengakui ada 10 personilnya telah melakukan kesalahan prosedur dalam menangani proses pengamanan saat terjadi kerusuhan 21-22 Mei 2019 di Gedung Bawaslu.

Terhadap 10 personel kepolisian itu telah dilakukan proses hukum yang berlaku dan dijatuhi sanksi.

Hasil penyelidikan Komnas HAM juga mengungkap mobilisasi massa dan eskalasi kekerasan yang terjadi turut dipengaruhi oleh informasi di media sosial.

Komnas HAM menduga hal itu telah didesain secara sistematis sebelum, saat dan sesudah 21-23 Mei 2019 hingga kerusuhan meluas tidak hanya di ibukota tapi juga ke Pontianak.

Tim Pencari Fakta (TPF) Komnas HAM juga menyimpulkan massa pelaku kerusuhan terpicu oleh provokasi dan ujaran kebencian terkait keputusan hasil Pilpres 2019.
Tim Pencari Fakta (TPF) Komnas HAM juga menyimpulkan massa pelaku kerusuhan terpicu oleh provokasi dan ujaran kebencian terkait keputusan hasil Pilpres 2019. (Istimewa)

Dalam laporan investigasinya Komnas HAM menyampaikan 11 butir rekomendasi, di antaranya mereka meminta Presiden melakukan langkah-langkah strategis untuk menjamin peristiwa serupa dengan Peristiwa 21-23 Mei 2019 tidak terulang.

Presiden juga perlu menjamin Polri menindaklanjuti proses hukum terhadap semua pelaku yang telah mendorong terjadinya kekerasan dalam peristiwa 21-23 Mei 2019.

Kerusuhan sendiri terjadi berturut-turut selama dua hari pada tanggal 21 dan 22 Mei 2019. Berawal dari unjukrasa damai menuntut pengusutan kecurangan pemilu 2019 di depan kantor Bawaslu pada pagi hari di kedua tanggal tersebut.

Situasi berubah ricuh pada malam harinya hingga pagi keesokan harinya.

Setidaknya ada lima titik ricuh pada tanggal 21-22 Mei 2019, yakni depan Gedung Bawaslu, Pasar Tanah Abang, Simpang Jalan Agus Salim (Sabang), Jembatan Slipi Jaya dan Petamburan (sekitar kompleks Asrama Brimob).

Sumber: ABC News Indonesia

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved