Berita Cerpen

Cerpen Berrye Tukan: Demon dan Demo

"Demon, jangan kau ikut demo-demo itu. Kau urus saja kuliahmu! Jangan kau pikir soal negara ini, sudah ada orang yang atur.

tribunnews.com
Ilustrasi demonstrasi 

POS-KUPANG.COM|KUPANG - "Demon, jangan kau ikut demo-demo itu. Kau urus saja kuliahmu! Jangan kau pikir soal negara ini, sudah ada orang yang atur.

Kau belajar saja yang benar, biar cepat selesai, pulang bantu bapa cari uang, bantu adik-adikmu yang masih sekolah di sini. Kau dengar tidak?" suara tegas sang ibu di telpon terus menggurui Demon. Demon tak segera menjawab.

"Hei, Demon! Kau dengar tidak mama omong ini?" teriak sang ibu di seberang. Kalau di rumah, mungkin Demon sudah bisa melihat mata sang ibu yang melalak tajam menatapnya bila tak segera menjawabnya.

Ini Yang Dilakukan GBI Tunas Daud Kepada Para Janda, Duda dan Anak Yatim di Kelurahan Oesapa

"Iya, mama. Saya dengar."
"Lalu?"
"Iya, saya tidak ikut demo."
"Ya sudah kalau begitu. Sekarang kau pergi kuliah sudah. Besok baru mama kirim uang bulanan," tutup sang ibu.

Tidak ada gunanya berdebat dengan sang ibu. Sejak kecil, hanya ada dua aturan di rumah, pertama, ibu tidak pernah salah, dan yang kedua, kalau ibu salah maka lihat lagi aturan nomor satu.

Meski sudah dewasa dan sekarang menjadi seorang mahasiswa sekalipun, ibu yang hanya tamatan sekolah lanjutan pertama itu tak pernah bisa dibantah.

Kata-kata ibu adalah titah yang harus dilaksanakan. Namun, sejak tinggal di Jakarta untuk melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi di kota ini, Demon seolah menemukan dunianya sendiri.

Dia mulai berani melakukan hal-hal yang sejak dulu ingin dilakukannya. Di Jakarta pula, Demon mulai bergabung dengan komunitas dan sanggar sastra baik di kampus maupun di lingkungan tempat tinggalnya. Sejak kecil, Demon memang suka menulis dan membaca puisi.

"Puisi? Kau bisa hidup dari puisi? Sini kasih saya satu buku, saya bisa tulis seribu puisi dalam satu malam!" cemooh sang ibu ketika melihat Demon menulis puisi kala masih sekolah di kampung.

Zico: MK Tolak Uji Materi jika Revisi UU KPK Belum Bernomor

Namun, di Jakarta Demon justru sudah beberapa ikut pentas dan membacakan puisi di beberapa even kecil yang diadakannya bersama teman-temannya.

Caranya yang menarik dan bagus ketika membawakan puisi serta suaranya yang lantang membahana membuat beberapa teman kuliahnya mengajaknya untuk bergabung dalam Badan
Eksekutif Mahasiswa. Penampilannya pun mulai berubah.

Rambutnya yang dulu selalu rapih disisir seperti potongan para pejabat, kini dibiarkan panjang, gondrong sedikit kribo.

Demon kemudian ikut bergabung dengan kelompok-kelompok diskusi mahasiswa di kampus yang sering mengkritisi kebijakan pemerintah dan parlemen yang dinilai kurang berpihak pada kepentingan masyarakat.

"Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas di parlemen sama sekali tidak berbobot dan berkualitas! Kebebasan individu dalam bertindak dan beropini sudah mulai diatur-atur negara dengan alasan yang absurd. Masa ayam yang keliaran di halaman tetangga harus didenda sekian juta rupiah? Lihatlah di kampung-kampung, ayam-ayam tidak dikandangkan. Bebas berkeliaran cari makan. Dan tidak ada masalah serius kok sejauh ini?" ungkap Bimo, ketua BEM di kampus kala berdiskusi bersama Demon dan beberapa mahasiswa lainnya di pelataran kampus.

"Ini aneh! Suami perkosa istri sendiri pun didenda! Lah, sejak kapan istilah perkosa sendiri ada dalam hubungan suami istri?

Kadis Pendidikan TTS Pastikan Korban Pemerkosaan Tidak Dikeluarkan dari Sekolah

Mereka udah married, lah bebas dong gituan! Kalau ga mau, ya udah tinggal bilang aja, haha." Celetuk Imah, seorang mahasiswi cantik yang ikut hadir di situ.

"Ada lagi nih teman-teman, perempuan yang pulang larut malam bakalan didenda juga. Kasihan dong sama ibu-ibu yang harus kerja di malam hari, jaga toko, kafe atau di warung Padang. Di kampung saya, kalau ada hajatan di kampung, mama-mama dan perempuan di kampung biasa main Dolo sampai pagi. Terus, mereka ini bakal ditangkap juga?" giliran Demon bersuara.
"Dolo itu apaan, Mon?" tanya Imah.

"Dolo itu kayak nyanyian berbalas pantun di kampung kalau ada hajatan besar di kampung."

"Wah menarik tuh Mon. Kapan-kapan boleh lah maen ke kampungmu buat lihat gituan."

"Bolehlah Mah. Apalagi kalau kamu mau jadi istriku, haha. " balas Demon sambil cekikikan.

"Haha, gomballoe Mon!" tawa Imah.

"Baik teman-teman. Tidak ada kata lain, kita harus lawan RUU ini. Kita tidak boleh diam saja. Tidak ada kekuatan yang bisa melawan semua ini kecuali kekuatan mahasiswa.

Kita telah melahirkan reformasi yang menumbangkan Orde Baru yang korup. Semangat reformasi harus dijaga dan dirawat agar bisa tumbuh secara benar, tidak dimanfaatkan oleh pikiran-pikiran dan idealisme jahat yang hendak menghancurkan negara ini. Ayo kita lawan!" teriak Bimo.

Puluhan Truk dan Pikap di Mbay Antre Isi BBM di SPBU

"Lawan! Lawan! Lawan!" teriak mereka nyaris bersamaan, bersemangat.

"Besok, semuanya berkumpul di sini. Kita berangkat pagi-pagi ke istana. Kita harus tunjukkan dan suarakan suara kita! Suara rakyat adalah suara Tuhan!" tutup Bimo penuh energi.

Malam itu, Demon tak bisa lelap tidurnya. Antara kertas-kertas berisi narasi orasinya yang akan dibacakannya besok di depan gedung parlemen, pikirannya melayang-layang jauh ke kampungnya, menghadirkan wajah sang bapak dan ibu.

Haruskah niatnya berdemo besok bersama teman-teman kampusnya disampaikan juga pada kedua orang tuanya?" pikirnya.

Ibu pasti akan menolak mentah-mentah niatnya itu. Demon pun mulai bimbang, apakah dia harus ikut berdemo ataukah harus kembali menjadi anak yang patuh dan penurut pada orang tuanya? Demon menimbang semuanya dalam pikiran yang serba tak tentu arah. Dan sebelum dia memutuskannya, dia sudah terlelap dalam kantuknya.

Sarwendah Kaget dengan Porsi Makan Betrand Peto Anak Angkat Ruben Onsu

***
Sudah hampir jam sepuluh lagi. Pak Betu, ayah Demon, masih saja belum mandi. Segelas kopi besar dan dua potong pisang goreng yang tersisa di piringnya masih menemaninya menonton siaran televisi pagi ini. Ibu Lena, sang istri masih sibuk di dapur.

"Mah, kau sudah telpon Demon kah?" teriak Pak Betu.
"Sudah. Empat lima hari lalu."

"Dia bilang apa?"
"Dia tidak akan ikut demo. Urus saja kuliahmu, kataku."
"Kah? Hari ini semua mahasiswa di banyak kota yang turun demo. Semoga saja tidak rusuh."

"Demon pasti tidak ikut, Pak. Kalau dia ikut juga, saya suruh dia pulang kampung saja. Kasih makan babi dan kambing di kebun," jawab Bu Lena sambil beranjak menuju ruang tamu, ingin menonton siaran di televisi bersama sang suami.

"Wah, banyak sekali nih. Hampir mirip demo sembilan delapan yah?" ungkap Bu Lena ketika melihat siaran di televisi.
"Hmm," gumam Pak Betu.

Daftar di Gerindra Bakal Calon Bayar Rp 20 Juta, Ini Tujuannya

Keduanya lalu menyaksikan seorang reporter televisi yang sedang berada di antara kerumunan demonstrasi.

"Pemirsa, saya sudah berada di antara para mahasiswa yang berdemo ini. Saya akan mengajak salah satu mahasiswa yang berdemo hari ini untuk diwawancarai," kata sang wartawan cantik di dalam televisi sambil berjalan mencari salah seorang mahasiswa pendemo yang bakal diwawancara.

Dan dia berhasil mendapatkannya, seorang laki-laki kurus ceking, lumayan tinggi, berambut gondrong sedikit kribo.

"Maaf, mas. Bisa saya wawancara sebentar?" tanya sang wartawan cantik itu. Laki-laki itu sedikit gugup, namun nampak siap meladeni pertanyaan sang wartawan. Pak Betu dan Ibu Lena terlihat begitu saksama memperhatikan siaran televisi itu. Kedua pasang bola mata mereka nampak tajam membelalak pada sosok yang ada di dalam televisi itu.

"Apa yang menjadi tuntutan teman-teman mahasiswa ini?"

"Kami sesungguhnya sedang menegakkan semangat reformasi sembilan delapan yang dicetuskan oleh senior kami sendiri, para mahasiswa juga. Reformasi tidak boleh dikotori dengan niat jahat dan idealisme sesat yang akan menghancurkan negara ini.

Presiden Jokowi Sebut Kerusuhan di Wamena Ulah Kelompok Bersenjata, Jangan Digeser ke Konflik Etnis

Aturan-aturan yang absurd dan tidak adil harus segera dihapus dari RUU ini. Kami menuntut parlemen untuk segera menghapus pasal-pasal yang aneh dan absurd itu," jawab mahasiswa itu tegas dan penuh yakin.

Pak Betu dan Ibu Lena masih terdiam. Sepertinya ada sesuatu yang begitu menarik perhatian mereka, namun keduanya belum sepenuhnya memastikan hal itu. Lelaki dalam televisi itu masih saja berdiri di situ. Wartawan cantik itu hendak berlalu darinya, namun lelaki itu berbicara lagi.

"Mba, saya bisa ngomong sesuatu?" ujarnya.

"Ya, apa ya mas?"

"Saya mau sampaikan pesan buat kedua orang tua saya di kampung," jawabnya sambil mukanya diarahkan sepenuhnya ke hadapan kamera.

"Bapa, mama, jangan marah ya, saya ikut demo. Ini untuk negara kita juga. Saya pasti habis kuliah juga, jangan khawatir.

Salam buat semua di kampung," katanya kemudian sembari tersenyum.

Wawancara cantik itu tersenyum kecil melihat ulah laki-laki itu.
"Sudah mba. Makasih ya," salamnya sambil berlalu.

Pak Betu dan Bu Lena masih bengong di depan televisi itu.
"Mah, itu anak kita, Demon," suara Pak Betu tiba-tiba.
Bu Lena masih terdiam, lalu berteriak sekeras tenaga, menggelegar bak suara guntur.

"Demooooooooooon!! Berani-beraninya kau ikut demo!!!!"
(Waibalun, 27/9/2019)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved