Berita Cerpen
Cerpen Akuilina Yunita Sidin: Hujan Bulan Juni (Bukan Cerpen Supardi)
Laki-laki itu berjalan menjauh. Memunggungi perempuan berambut ikal, dengan dipenuhi sesak segala rasa dalam dadanya.
"Yah benar kata Om-mu. Mungkin kamu belum menyukainya. Dia laki-laki yang baik, dewasa dan keluarga kita sudah saling mengenal baik," sambung mama membujuk.
Perempuan itu tak lagi berucap. Ia selalu tak mampu menyela ataupun membantah keinginan mamanya. Dia beranjak ke kamar. Meninggalkan mama dan om-nya yang terus melanjutkan perbincangan mereka tentang rencana pernikahannya.
***
"Aku tak kuasa membantah. Aku tak mampu menolak keinginan mama. Jadi maafkan aku. Kita tak akan pernah menjadi kita.
Aku hanya mimpi untuk apa yang kita inginkan. Aku minta maaf," kata perempuan itu menjelaskan segala resah yang ada di dalam benaknya.
"Ayo sekarang kita temui mama kamu. Biar aku menceritakan tentang kita ke mamamu. Atau aku langsung melamarmu sekarang di depan mamamu." Kata laki-laki itu dengan penuh emosi.
"Andai semuanya semudah itu, aku pasti sudah melakukannya sejak dulu. Kita tidak direstui. Beberapa perbedaan tak dapat disatukan. Hidup bersama denganmu tak semudah aku meyeduh kopi dan kita menikmatinya berdua. Rasa cinta diantara dua jiwa tak seharusnya melukai jiwa yang lain. Mencintaimu mungkin hanya bisa kulakukan denga melepasmu. Aku tak ingin melukaimu semakin lama." Sambung perempuan itu dengan nada yang lumayan keras.
Namun, matanya basah oleh air mata. Laki-laki itu tertegun. Diam membisu mendengar kata-kata yang amat menyakitkan itu. Bagaimana mungkin perempuan di hadapannya ini mengatakan hal-hal di luar pikirannya.
Kata-kata yang hadir seperti cemeti yang menghujam tubuhnya, meninggalkan ceceran darah yang tak hanya pada kulitnya, namun luka merah itu ada pada hati dan perasaannya.
• Tanpa Aplikasi Tambahan, Anda Bisa Simpan Status WhatsApp Orang Lain yang Sudah Lebih dari 24 Jam
Perempuan dengan segala kata-kata romantisnya. Perempuan dengan puisi-puisi puitisnya. Namun, saat ini perempuan ini menamparnya dengan kata-kata yang menyayat hatinya.
"Yah baiklah. Aku pergi. Terimakasih untuk semua rasa sakit ini. Aku pamit. Sekali lagi terima kasih." Suara laki-laki itu memelan. Lalu meninggalkan perempuan itu.
***
Hari itu langit memang dipeluk mendung. Awan-awan tebal hampir menghujam bumi. Begitupun pada hati perempuan dan laki-laki itu. Langit hati keduanya mendung.
Sapardi benar, ternyata hujan paling lebat ada di bulan Juni.
Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni. Tidak si perempuan, pun si laki-laki itu. Kembali dirahasiakannya deru rindu pada pilu kata pisah.
Hujan bulan Juni, didekapnya dengan erat cerita keduanya menjadi kisah semesta paling pahit. Hujan bulan Juni, lebatnya kehilangan, namun tidak pada bayang.
(Penulis adalah guru Matematika di SMAK St. Familia Wae Nakeng Lembor, Manggarai Barat).