Khasanah Islam

Niat dan Tata Cara Itikaf! Waktu, Syarat, Pengertian, Keutamaan, dan Yang Membatalkan I'tikaf

Apa pengertian i’tikaf, bagaimana cara, niat, waktu, keutamaan dan syaratnya? Berikut ini pembahasannya.

Editor: Hasyim Ashari
ILUSTRASI/ Tribunnews.com
Niat dan Tata Cara Itikaf! Waktu, Syarat, Pengertian, Keutamaan, dan Yang Membatalkan I'tikaf 

Itikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan adalah sunnah Rasulullah.

Beliau tidak pernah meninggalkannya. Bahkan di Ramadhan terakhir sebelum wafat, Rasulullah beri’tikaf selama 20 hari.

Demikian pula istri beliau dan para sahabat Nabi. Mereka beritikaf 10 hari terakhir Ramadhan ini.

Bahkan sepeninggal Rasulullah, istri-istri beliau juga beritikaf 10 hari terakhir Ramadhan. Sebagaimana hadits di atas.

3. Dapat lailatul qadar

Orang yang itikaf 10 hari terakhir Ramadhan, insya Allah ia akan mendapatkan lailatul qadar.

Bagaimana tidak, menurut hadits-hadits shahih, lailatul qadar turun pada malam ganjil pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Bukankah saat itu orang yang beritikaf sedang beribadah kepada Allah?

Bahkan seandainya orang yang beritikaf itu sedang tidur dan hanya bangun sebentar pada malam lailatul qadar, insya Allah ia tetap mendapat lailatul qadar karena tidurnya merupakan rangkaian itikaf dan berpahala.

Waktu Itikaf

Itikaf wajib harus dilakukan sesuai dengan kewajibannya.

Jika ia bernadzar beritikaf semalam, maka waktu itikafnya adalah semalam.

Jika ia bernadzar beriktikaf tiga hari tiga malam, maka waktu itikaf baginya adalah tiga hari tiga malam.

Itikaf sepuluh hari terakhir Ramadhan dilakukan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

Yakni mulai ketika matahari terbenam pada malam ke-21 (atau ke-20 jika Ramadhannya 29 hari) sampai habisnya Ramadhan, yakni saat matahari terbenam malam hari raya Idul Fitri.

Lebih diutamakan jika ia meneruskan hingga shalat idul fitri dan baru meninggalkan masjid setelah shalat idul fitri.

Adapun waktu itikaf sunnah yang suka rela, ia tidak dibatasi.

Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali, meskipun waktunya singkat, seseorang yang berdiam diri di masjid dengan niat itikaf maka itu termasuk itikaf.

Namun menurut mazhab Maliki, waktu beritikaf minimal adalah sehari semalam.

Menurut mazhab Syafi’i, waktu itikaf minimal adalah bisa disebut menetap atau berdiam diri di masjid. Yaitu lebih panjang dari ukuran waktu tuma’ninah saat ruku’ atau sujud.

Jadi menurut mazhab Syafii, Hanafi dan Hanbali, seseorang yang itikaf satu jam atau bahkan hanya setengah jam pun boleh.

Sehingga bagi yang tidak bisa beritikaf penuh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, ia bisa beritikaf sebagiannya.

Misalnya datang ke masjid menjelang shalat isya’ dan beritikaf sampai Subuh.

Atau bahkan datang ke masjid beberapa jam sebelum shalat Subuh dan beritikaf sampai Subuh atau pagi hari. Itu juga bisa disebut itikaf.

Tempat Itikaf

Seluruh ulama sepakat bahwa tempat itikaf adalah di masjid.

Sehingga tidak boleh beritikaf di mushala di dalam rumahnya sendiri, kecuali wanita menurut mazhab Hanafi.

Yang menjadi perbedaan pendapat adalah, masjid mana yang boleh ditempati itikaf.

Menurut mazhab Hanafi dan Hambali, tempat i’tikaf adalah masjid jamaah.

Yaitu masjid yang di dalamnya didirikan shalat berjamaah.

Menurut mazhab Maliki, tempat i’tikaf adalah semua masjid.

Tidak boleh beri’tikaf di masjid rumah yang tertutup untuk orang umum.

Demikian pula menurut mazhab Syafi’i, tempat itikaf adalah seluruh masjid. Dan lebih utama masjid jami’, yaitu masjid yang dipakai untukSholat Jumat.

Syarat dan Rukun

Untuk sahnya i’tikaf disyaratkan hal-hal sebagai berikut:

Islam. I’tikaf tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir.

Berakal sehat atau tamyiz. I’tikaf tidak sah jika dilakukan oleh orang gila dan sejenisnya. I’tikaf juga tidak sah jika dilakukan oleh anak kecil yang belum mumayyiz.

Bertempat di masjid. I’tikaf tidak sah jika dilakukan di rumah. Kecuali menurut mazhab Hanafi yang membolehkan wanita beri’tikaf di mushala rumahnya.

Suci dari hadats besar. I’tikaf tidak sah jika dilakukan oleh orang yang sedang junub, haid atau nifas. Bahkan mereka dilarang berada di dalam masjid.

Izin suami bagi istri. Menurut mazhab Hanafi, Syafii dan Hambali, seorang istri tidak sah beri’tikaf tanpa izin dari suaminya.

Rukun i’tikaf hanya ada dua. Yakni niat itikaf dan tinggal (berdiam diri) di masjid.

Jika tidak berniat beri’tikaf, maka meskipun ia berada di masjid, keberadaannya bukanlah i’tikaf.

Demikian pula sebaliknya. Seseorang yang berniat beri’tikaf tapi ia tidak berada di masjid, maka itu bukan i’tikaf.

Ibnu Jazi Al Maliki mengatakan, seseorang yang sedang beri’tikaf harus menyibukkan diri dengan ibadah sebisa mungkin, siang dan malam.

Berupa sholat, dzikir, tilawah dan ibadah-ibadah lainnya.

Yang Membatalkan Itikaf

Ada 5 hal yang membatalkan itikaf, yaitu:

Murtad.

Sengaja keluar masjid walaupun sebentar, tanpa adanya udzur syar’i.

Hilang akal karena gila atau mabuk.

Datangnya haid atau nifas.

Jima’ meskipun karena lupa atau dipaksa.

Keluar mani baik karena mimpi atau disengaja.

Melakukan dosa besar.

Demikian pembahasan mengenai itikaf. Mulai dari pengertian, hukum, niat, keutamaan, waktu, tempat,

syarat, rukun dan hal-hal yang membatalkannya. Wallaahu a’lam bish shawab.

Artikel ini telah tayang dan bersumber dari BersamaDakwah

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved