Opini Pos Kupang
Opini Pos Kupang 14 Mei 2019 : People Power atau Pester Power
Realitas sosial diisi hiruk pikuk suara dan argumentasi narasi politik people power sebagai jalan akhir dari sebuah penentuan tonggak estafet bangsa.
Sedangkan pester power lebih disebabkan akibat ketidakpuasan sekelompok orang yang bersifat emosional dan mengatasnamakan rakyat tanpa disertai legitimasi sosial yang bersifat faktual.
Pester power biasanya disertai berita bohong (hoax), hasutan, provokasi dan argumentasi post-truth yang tujuannya untuk membentuk artificial social legitimation sebagai dasar argumen dan narasi politiknya.
Dengan demikian, pester power lebih merupakan musuh demokrasi karena melalui artificial social legitimationnya,
pester power berupaya untuk mengaburkan proses demokratisasi faktual yang terjadi dan menggantikannya dengan fakta-fakta manipulatif dan sarat kepentingan.
Lalu pertanyaannya, kondisi Indonesia pasca Pemilu 17 April 2019 lalu dan berbagai teriakan yang dilakukan sekelompok orang, apakah termasuk people power atau pester power?
Menjawab pertanyaan di atas bukanlah merupakan sesuatu yang sulit dan bukan juga sesuatu yang mudah.
Modal utama untuk menjawab pertanyaan di atas adalah pikiran yang terbuka yang tidak bias kepentingan artinya bersikap obyektif dan faktual.
Untuk menilai sebuah gerakan sosial sebagai people power atau pester power maka dapat kita ajukan sebuah pertanyaan,
apakah Indonesia saat ini sedang terjadi praktik otoritarianisme atau lemahnya faktor kepemimpinan dalam negara? Jawabannya tidak.
Kedua, apakah saat ini sedang terjadi instabilitas politik (konflik ideologi negara atau perselisihan antar aktor politik) yang berujung pada terjadinya kelangkaan barang dan jasa hingga krisis ekonomi? Jawabannya juga tidak.
Ketiga, apakah saat ini sistem tata kelola negara telah gagal dalam menjamin kepastian hukum dan mensejahterahkan masyarakat? Jawabannya juga tidak.
Justru sebaliknya. Pemerintahan saat ini sangat demokratis, menjujung dan merawat ideologi negara Pancasila dan
juga mempromosikan sistem tata kelola pemerintahan yang berbasis elektronik (e-government) dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi seperti akuntabilitas, transparansi dan responsivitas.
Kontestasi Pilpres tahun 2019 memang diakui telah menciptakan polarisasi yang begitu besar di tengah masyarakat
dan fatalnya polarisasi terjadi lebih disebabkan karena faktor emosional (primordialisme suku, agama atau golongan) pemilih di akar rumput.
Narasi politik people power akan sangat rentan disalahgunakan dan ditunggangi berbagai kelompok yang tidak bertanggungjawab yang menginginkan negara dan bangsa ini porak-poranda.
Tanpa legitimasi sosial yang kuat, people power rentan tergelincir menjadi pester power, dan jika pester power terjadi dan mendapat dukungan publik yang luas, maka demokrasi yang sejati telah kalah tanpa kita sadari. (*)