Opini Pos Kupang
Opini Pos Kupang 14 Mei 2019 : People Power atau Pester Power
Realitas sosial diisi hiruk pikuk suara dan argumentasi narasi politik people power sebagai jalan akhir dari sebuah penentuan tonggak estafet bangsa.
People Power atau Pester Power
Oleh : I Putu Yoga Bumi Pradana
Pengamat Sosial dan Politik Universitas Nusa Cendana
AKHIR-akhir ini rakyat dibuat terusik, galau dan gelisah meratapi nasib masa depan
Indonesia.
Bukannya pemimpin yang galau melihat nasib rakyatnya, melainkan saat ini yang ada fenomena dimana rakyat yang galau melihat nasib kepemimpinan Indonesia pasca Pilpres 2019.
Realitas sosial diisi oleh hiruk pikuk suara dan argumentasi narasi politik people power sebagai jalan akhir dari sebuah penentuan tonggak estafet bangsa.
Narasi ini setidaknya cukup meresahkan dikarenakan dampak yang chaos yang mungkin ditimbulkannya.
People power bukanlah istilah baru di dunia. Istilah dan terminologi "people power" mengacu pada revolusi sosial damai yang terjadi di Filipina
sebagai akibat dari protes rakyat Filipina melawan Presiden Ferdinand Marcos yang telah berkuasa 20 tahun terutama diadakan di Epifanio de los Santos Avenue (EDSA).
People power dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan tata kelola pemerintahan suatu negara dan mencegah terjadinya tirani kekuasaan.
Legitimasi utama people power bersumber dari nilai utama demokrasi dimana people got the power; rakyat-lah yang memiliki kekuasaan.
Setidaknya terdapat 3 (tiga) bentuk utama people power dalam perspektif demokrasi yaitu
pertama, people power melalui proses legal konstitusional seperti proses pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislative (pileg) atau pemilihan kepala daerah (pilkada).
Kedua, people power sebagai pressure group (kelompok penekan) atau interest group (kelompok kepentingan) sebagai wadah penyampaian aspirasi lewat parlemen,
biasanya dalam bentuk demonstran, gerakan-gerakan tagar, hashtag di media sosial atau tanda tangan petisi atau bahkan melalui kelompok Non-Governmental Organization (NGO)
dengan tujuan untuk mempengaruhi proses formulasi dan implementasi kebijakan. Ketiga, people power dalam bentuk gerakan-gerakan keras dan ekstra-parlementarian, biasanya dikenal dengan istilah revolusi.
Perbedaan bentuk people power kedua dan ketiga adalah people power sebagai pressure atau interest group masih memiliki kepercayaan pada legitimasi institusi negara dan pemerintah.
Tujuannya hanya untuk mempengaruhi proses kebijakan pemerintah pada aspek tertentu dan tidak terdapat keinginan menggulingkan pemerintahan yang sah atau mengganti sistem negara secara total.
Sedangkan people power dalam bentuk yang ketiga sebagai gerakan-gerakan keras dan ekstra-parlementarian didasarkan pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap legitimisi lembaga negara.
Tujuan utamanya lebih kepada proses pemaksaan kehendak yang berpotensi menggunakan cara-cara radikal untuk menggulingkan pemerintahan yang sah atau merubah sistem tata kelola negara secara keseluruhan.
Proses ini dikenal dengan istilah revolusi. Karakter kekerasan pada ciri revolusi setidaknya dapat ditelusuri pada sejarah Revolusi Rusia atau Revolusi Perancis.
Untuk model people power ketiga, terdapat setidaknya 3 (tiga) prasayarat utama sebagai sumber legitimasi sosialnya yaitu pertama, terjadinya praktik otoritarianisme atau juga bisa disebabkan lemahnya faktor kepemimpinan dalam negara.
Kedua, terjadinya instabilitas politik (konflik ideologi negara atau perselisihan antar aktor politik) yang berujung pada terjadinya kelangkaan barang dan jasa hingga krisis ekonomi.
Ketiga, gagalnya sistem tata kelola negara yang mengarah terjadinya ketidakadilan secara meluas pada aspek penegakan hukum dan pembagian sumber-sumber ekonomi.
Jika salah satu prasyarat telah terpenuhi, maka sudah tentu people power dalam bentuk revolusi dapat terjadi dan memiliki legitimasi sosial yang kuat.
Juga mendapatkan dukungan publik yang luas dan merata di wilayah hukum negara tersebut.
Lantas bagaimana dengan kondisi Indonesia saat ini, apakah ketiga prasyarat tersebut saat ini sedang terjadi?
Jika ketiga prasyarat utama tersebut tidak terjadi, maka kita patut bertanya, revolusi tersebut merupakan bentuk people power atau pester power?
Pester Power sebagai Musuh Demokrasi
Jika people power dimaknai sebagai kekuatan rakyat guna mendukung proses demokratisasi di suatu negara, maka pester power dimaknai sebagai kekuatan pengganggu layaknya hama di sebuah lahan pertanian yang subur.
Tujuan politiknya untuk memberangus sebuah proses demokratisasi.
People power memiliki legitimasi sosial dan hukum dengan dasar argumentasi rasionalitas sebagai nilai utamanya.
Sedangkan pester power lebih disebabkan akibat ketidakpuasan sekelompok orang yang bersifat emosional dan mengatasnamakan rakyat tanpa disertai legitimasi sosial yang bersifat faktual.
Pester power biasanya disertai berita bohong (hoax), hasutan, provokasi dan argumentasi post-truth yang tujuannya untuk membentuk artificial social legitimation sebagai dasar argumen dan narasi politiknya.
Dengan demikian, pester power lebih merupakan musuh demokrasi karena melalui artificial social legitimationnya,
pester power berupaya untuk mengaburkan proses demokratisasi faktual yang terjadi dan menggantikannya dengan fakta-fakta manipulatif dan sarat kepentingan.
Lalu pertanyaannya, kondisi Indonesia pasca Pemilu 17 April 2019 lalu dan berbagai teriakan yang dilakukan sekelompok orang, apakah termasuk people power atau pester power?
Menjawab pertanyaan di atas bukanlah merupakan sesuatu yang sulit dan bukan juga sesuatu yang mudah.
Modal utama untuk menjawab pertanyaan di atas adalah pikiran yang terbuka yang tidak bias kepentingan artinya bersikap obyektif dan faktual.
Untuk menilai sebuah gerakan sosial sebagai people power atau pester power maka dapat kita ajukan sebuah pertanyaan,
apakah Indonesia saat ini sedang terjadi praktik otoritarianisme atau lemahnya faktor kepemimpinan dalam negara? Jawabannya tidak.
Kedua, apakah saat ini sedang terjadi instabilitas politik (konflik ideologi negara atau perselisihan antar aktor politik) yang berujung pada terjadinya kelangkaan barang dan jasa hingga krisis ekonomi? Jawabannya juga tidak.
Ketiga, apakah saat ini sistem tata kelola negara telah gagal dalam menjamin kepastian hukum dan mensejahterahkan masyarakat? Jawabannya juga tidak.
Justru sebaliknya. Pemerintahan saat ini sangat demokratis, menjujung dan merawat ideologi negara Pancasila dan
juga mempromosikan sistem tata kelola pemerintahan yang berbasis elektronik (e-government) dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi seperti akuntabilitas, transparansi dan responsivitas.
Kontestasi Pilpres tahun 2019 memang diakui telah menciptakan polarisasi yang begitu besar di tengah masyarakat
dan fatalnya polarisasi terjadi lebih disebabkan karena faktor emosional (primordialisme suku, agama atau golongan) pemilih di akar rumput.
Narasi politik people power akan sangat rentan disalahgunakan dan ditunggangi berbagai kelompok yang tidak bertanggungjawab yang menginginkan negara dan bangsa ini porak-poranda.
Tanpa legitimasi sosial yang kuat, people power rentan tergelincir menjadi pester power, dan jika pester power terjadi dan mendapat dukungan publik yang luas, maka demokrasi yang sejati telah kalah tanpa kita sadari. (*)