Opini Pos Kupang
Sikap Pers di Tahun Politik, Refleksi Kritis pada Hari Pers Nasional
Pers Indonesia selalu dipandang penting dalam upaya menegakkan demokratisasi. Pers merupakan salah satu kekuatan
Pers Indonesia perlu berkaca diri dan memantulkan refleksinya di peringatan HPN tahun 2019 ini. Sama seperti Habermas yang percaya bahwa hanya dengan refleksi diri dan komunikasi, orang dapat benar-benar mengontrol nasib mereka dan merestrukturisasi masyarakat secara manusiawi. Pers di Indonesia perlu melakukan interaksi dan komunikasi dengan berbagai pihak agar pers Indonesia mampu membentuk gerakan sosial dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Pers Indonesia melalui kerja jurnalistiknya menjadi saluran demokrasi untuk mengatasi berbagai problem. Sebut saja problem korupsi dan problem politik kotor harus dapat dijawab oleh pers Indonesia. Pers Indonesia tidak boleh lari dari kenyataan ini.
Pers Indonesia harus mampu menunjukkan kenyataan yang sebenarnya kendati produksi jurnalistik merupakan fakta yang dikonstruksikan kembali dalam rapat-rapat redaksional. Pers Indonesia harus berkiblat pada upaya demokratisasi.
Dalam perspektif ini, demokrasi berarti bahwa pemerintah dan legislatif berada di bawah sorotan masyarakat secara terus-menerus melalui kerja nyata pers.
Penyelenggara negara wajib memberikan pertanggungjawaban secara nyata kepada rakyat. Itu berarti tidak sekedar verbalisme belaka dan tidak memadamkan kritik konstruktif dari berbagai lapisan masyarakat teristimewa dari kalangan akademisi.
Pers tidak sekedar menjadi bebas merdeka tetapi juga bertanggungjawab untuk kepentingan rakyat.
Realitas demokrasi sering jauh dari cita-citanya. Hal ini terjadi karena adanya bentuk penjajahan kembali atas ruang publik (re-feodalisasi ruang publik). Rasanya sulit untuk menemukan realitas demokrasi yang nyata dalam ruang publik baru.
Secara konseptual, kita tentu akan menjumpai banyak pemikiran tentang demokrasi. Namun secara nyata, demokrasi cenderung hanya sebagai slogan-slogan hampa yang digelar oleh berbagai partai politik atau politisi oportunis.
Re-feodalisme ruang publik terjadi ketika gelombang kapitalisme merajalela ke berbagai pelosok dunia. Hal ini pun menggerogoti demokrasi yang sesungguhnya diharapkan terjadi. Habermas pun menyadari kondisi ini.
Ia pun mengulas tentang perubahan fungsi politis ruang publik di mana media massa mengambil bagian penting di dalamnya. Habermas mencatat bahwa sejarah surat kabar harian raksasa di paruh kedua abad ke-19 membuktikan bahwa pers sendiri telah berubah menjadi alat manipulasi yang bisa diperjualbelikan.
Komunikasi politik yang dilakukan oleh elit yang berkuasa hanya bertujuan untuk pencitraan semata. Pers boleh jadi dapat "dibeli" oleh para penguasa dan para pemilik modal. Komunikasi politik pada situasi seperti ini dapat dimanipulasi oleh para aktor politik dan media yang sudah dibelinya itu.
Pers untuk Demokrasi
Jakob Oetama berpendapat bahwa demokrasi di Indonesia dalam proses menjadi atau disebutnya dengan istilah "democracy in the making".
Pers Indonesia mengambil tempat di dalam sistem, terikat oleh pandangan hidup, struktur, dan kebudayaannya, namun sekaligus juga mampu memperlihatkan peranannya dalam mengambil bagian secara aktif dalam perkembangan demokrasi di Indonesia.
Demokrasi di Indonesia sering kali hanya dikaitkan dengan fungsinya memberikan kebebasan dan partisipasi penuh kepada rakyat untuk ikut aktif dalam seluruh proses politik. Demokrasi diidentikkan dengan kebebasan dan hak-hak rakyat termasuk kebebasan menyatakan pendapat dan pikiran serta kebebasan pers.