Opini Pos Kupang

Lisboa, De Carvalho dan Negeri Bencana

Tidak berselang lama setelah misa yang tenang dan khidmat dimulai, gempa dengan intensitas tinggi terjadi pada pukul 9:40.

Editor: Dion DB Putra
Ilustrasi Tsunami 

Gempa bumi Lisboa menjadi tempat persemaian akan gagasan bahwa fenomena dunia fisik dapat dipelajari dan dimengerti melalui investigasi sains dan metode ilmiah.

Perkembangan sains dan riset di bidang seismologi selanjutnya telah memberikan pengetahuan tak ternilai tentang kegempaan. Ini telah menolong manusia untuk berespon dan beradaptasi secara antisipatif terhadap fenomena dan bahaya alam seperti gempa bumi juga tsunami dan menghindarkannya dari bencana alam yang terjadi.

Kesadaran Bencana

Tahun 2018 tercatat menjadi tahun bencana yang paling mematikan di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (The Jakarta Post, 28/12/2018). Setidaknya sebanyak 4.231 orang dinyatakan meninggal atau hilang selama perisitwa bencana alam yang terjadi di seluruh kepualuan Nusantara.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 2.426 bencana alam terjadi pada 2018, termasuk gempa berkekuatan 7,4 yang mengguncang Kota Palu di Sulawesi Tengah pada bulan September dan gempa berkekuatan 6,4 yang mengguncang pulau Lombok dan Bali pada bulan Juli.

Ini tidak termasuk tsunami Selat Sunda yang dipicu oleh erupsi gunung berapi Anak Krakatau dan tanah longsor bawah laut yang melanda Banten dan Lampung pada Sabtu lalu (22/12/2018).

Dengan melihat jumlah korban yang begitu fantastis dalam hanya kurun waktu 1 tahun terakhir, bangsa Indonesia nampaknya belum belajar banyak dan menjadi bijaksana sejak gempa dan tsunami besar yang menghantam Aceh pada tahun 2004.

Belajar dari bencana Lisboa 1755 dan tindakan de Carvalho, setidaknya ada tiga poin penting yang perlu diambil di dalam memperbaiki upaya mitigasi, prediksi, dan edukasi kebencanaan juga rehabilitasi pasca bencana.

Pertama, inisiatif, peran dan komitmen para pemimpin dan pengambil kebijakan baik dalam institusi pemerintah maupun universitas sangat menentukan dalam usaha membangun kesadaran masyarakat akan bahaya alam dan bencana alam.

Kedua, penguatan riset, diseminasi dan edukasi kebencanaan kepada masyarakat. Keanekaragaman pola dan mekanisme gempa dan tsunami di seperti yang terjadi di Palu dan Selat Sunda Indonesia seharusnya memacu para ilmuwan Indonesia untuk bergairah menelitinya.

Juga pengembangan sistem deteksi dini tsunami yang dipicu aktivitas vulkanik yang hingga saat ini belum ada dan yang telah menjadi kambing hitam tsunami Selat Sunda seharusnya diresponi melalui usaha-usaha penelitian inovatif.

Selain itu, diseminasi hasil penelitian kegempaan sebagai masukan kebijakan pemerintah maupun materi edukasi kepada masyakarat harus lebih banyak ditingkatkan.

Dan yang ketiga, peningkatan solidaritas kemanusiaan terhadap saudara-saudara kita yang mengalami musibah bencana alam. Ini akan memperkuat perasaan senasib sepenanggungan, menumbuhkan semangat kebersamaan untuk pulih dan bangkit kembali (resilience).

Ini juga memberikan keyakinan bersama bahwa hidup di dalam negeri yang berada di kawasan lingkaran cincin api yang rawan bencana alam bukanlah suatu bentuk hukuman ilahi. Sebaliknya ini menunjukkan bahwa manusia dan kehidupannya adalah bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dengan alam semesta yang dinamis. *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved