Opini Pos Kupang
Lisboa, De Carvalho dan Negeri Bencana
Tidak berselang lama setelah misa yang tenang dan khidmat dimulai, gempa dengan intensitas tinggi terjadi pada pukul 9:40.
Oleh Fredy Saudale
Dosen Fakultas Sains dan Teknik Undana Kupang
POS-KUPANG.COM - Pada tahun 1755, Lisboa adalah kota terbesar ke empat di Eropa setelah London, Paris dan Viena. Terletak di tepi utara sungai Tagus, Pelabuhan Lisboa merupakan salah satu yang terbesar dan terpenting di Eropa.
Sabtu, 1 November 1755 di musim gugur yang cerah, adalah Hari Raya Semua Orang Kudus (All Saints' Day). Umat Katolik sedang bersiap-siap menuju tempat-tempat ibadah untuk melaksanakan misa. Carmo Convent di pusat kota Lisboa adalah salah satu gereja yang penuh sesak oleh umat yang menghadiri misa kedua pagi itu.
Tidak berselang lama setelah misa yang tenang dan khidmat dimulai, gempa dengan intensitas tinggi terjadi pada pukul 9:40. Gempa yang diperkirakan berkekuatan 8,5 -9,0 meruntuhkan atap Carmo Convent dan menewaskan banyak umat yang beribadah.
• Ramalan Zodiak Hari Ini, Senin 7 Januari 2019, Aries Sibuk, Cancer Boros, Leo Sensitif
• ASN Pemprov NTT Tidak Disiplin Kenakan Rompi Saat Apel
• BTS Akan Keluarkan Album Terbaru Dengan Konsep Unik, Army Siap-siap Ya!
Selang 30 menit kemudian, pada pukul 10:10, gelombang tsunami besar setinggi 10-12 meter memasuki sungai Tagus dari arah Samudera Atlantik yang dengan derasnya menyapu habis kapal-kapal dan menghancurkan dinding laut yang mengelilingi kota.
Kurang lebih 100.000 manusia tewas dan 85 persen bangunan di Lisboa hancur. Gempa Lisboa dikenal sebagai bencana alam yang paling buruk yang pernah terekam dalam sejarah Eropa.
Bencana bukan Hukuman
Bencana Lisboa memunculkan kembali pertanyaan jika Tuhan maha baik mengapa Ia mengzjinkan bencana alam. Adalah filsuf asal Prancis Voltaire yang sangat tersentuh oleh penderitaan manusia akibat bencana Lisboa dan menuangkannya dalam Poème sur le désastre de Lisbonne (Puisi Bencana Lisboa).
Voltaire menolak pandangan filsafat optimisme yang popular saat itu yang mengklaim bahwa Tuhan menciptakan dunia yang baik adanya. Bahwa kejahatan ataupun bencana apapun yang terjadi akan tampak baik jika kita memahami tujuan dan makna yang lebih besar dari alam semesta yang ada di balik semua kejadian tersebut. Penolakan Voltaire banyak disalahartikan sebagai pembelaan terhadap ateisme.
Namun, sesungguhnya ini lebih disebabkan karena pandangan tentang bencana sebagai suatu bentuk dari hukuman ilahi telah begitu tertanam dalam jiwa masyarakat dunia barat yang religius. Sehingga menolaknya dipandang sama dengan menolak konsep Tuhan.
Di luar perdebatan filsafat dan teologis, Perdana Menteri Sebastiao José de Carvalho e Melo memberikan respon konkret, humanis dan rasional yang selamanya mengubah pandangan terhadap gempa dan tsunami sebagai fenomena alam yang tidak bisa dihindarkan yang bisa berpotensi menjadi bencana alam.
Lahirnya Sains Seismologi
De Carvalho mengeluarkan 200 dekrit yang berisi instruksi upaya pemulihan dan rekonstruksi. Selain itu, de Carvalho juga melakukan survei dan riset ilmiah pertama tentang gempa bumi yang mempelopori lahirnya ilmu seismologi modern.
De Carvalho mengirim pertanyaan ke setiap gereja paroki untuk dijawab melalui penyelidikan di antaranya: kapan gempa mulai dan berapa lama? Berapa banyak orang yang meninggal? Berapa banyak kerusakan yang terjadi? Apakah hewan-hewan bertingkah aneh sebelum gempa? Apakah permukaan laut naik lebih dulu atau surut?
Mempelajari dan mereferensikan catatan para imam dari gereja paroki atas pertanyaan de Carvalho, para ilmuwan modern mampu merekonstruksi peristiwa bencana Lisboa dari perspektif sains ilmiah. Tanpa survei dan riset yang dilakukan de Carvalho, pengetahuan ilmiah yang sangat berguna ini tidak mungkin didapatkan.
Gempa bumi Lisboa menjadi tempat persemaian akan gagasan bahwa fenomena dunia fisik dapat dipelajari dan dimengerti melalui investigasi sains dan metode ilmiah.
Perkembangan sains dan riset di bidang seismologi selanjutnya telah memberikan pengetahuan tak ternilai tentang kegempaan. Ini telah menolong manusia untuk berespon dan beradaptasi secara antisipatif terhadap fenomena dan bahaya alam seperti gempa bumi juga tsunami dan menghindarkannya dari bencana alam yang terjadi.
Kesadaran Bencana
Tahun 2018 tercatat menjadi tahun bencana yang paling mematikan di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (The Jakarta Post, 28/12/2018). Setidaknya sebanyak 4.231 orang dinyatakan meninggal atau hilang selama perisitwa bencana alam yang terjadi di seluruh kepualuan Nusantara.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 2.426 bencana alam terjadi pada 2018, termasuk gempa berkekuatan 7,4 yang mengguncang Kota Palu di Sulawesi Tengah pada bulan September dan gempa berkekuatan 6,4 yang mengguncang pulau Lombok dan Bali pada bulan Juli.
Ini tidak termasuk tsunami Selat Sunda yang dipicu oleh erupsi gunung berapi Anak Krakatau dan tanah longsor bawah laut yang melanda Banten dan Lampung pada Sabtu lalu (22/12/2018).
Dengan melihat jumlah korban yang begitu fantastis dalam hanya kurun waktu 1 tahun terakhir, bangsa Indonesia nampaknya belum belajar banyak dan menjadi bijaksana sejak gempa dan tsunami besar yang menghantam Aceh pada tahun 2004.
Belajar dari bencana Lisboa 1755 dan tindakan de Carvalho, setidaknya ada tiga poin penting yang perlu diambil di dalam memperbaiki upaya mitigasi, prediksi, dan edukasi kebencanaan juga rehabilitasi pasca bencana.
Pertama, inisiatif, peran dan komitmen para pemimpin dan pengambil kebijakan baik dalam institusi pemerintah maupun universitas sangat menentukan dalam usaha membangun kesadaran masyarakat akan bahaya alam dan bencana alam.
Kedua, penguatan riset, diseminasi dan edukasi kebencanaan kepada masyarakat. Keanekaragaman pola dan mekanisme gempa dan tsunami di seperti yang terjadi di Palu dan Selat Sunda Indonesia seharusnya memacu para ilmuwan Indonesia untuk bergairah menelitinya.
Juga pengembangan sistem deteksi dini tsunami yang dipicu aktivitas vulkanik yang hingga saat ini belum ada dan yang telah menjadi kambing hitam tsunami Selat Sunda seharusnya diresponi melalui usaha-usaha penelitian inovatif.
Selain itu, diseminasi hasil penelitian kegempaan sebagai masukan kebijakan pemerintah maupun materi edukasi kepada masyakarat harus lebih banyak ditingkatkan.
Dan yang ketiga, peningkatan solidaritas kemanusiaan terhadap saudara-saudara kita yang mengalami musibah bencana alam. Ini akan memperkuat perasaan senasib sepenanggungan, menumbuhkan semangat kebersamaan untuk pulih dan bangkit kembali (resilience).
Ini juga memberikan keyakinan bersama bahwa hidup di dalam negeri yang berada di kawasan lingkaran cincin api yang rawan bencana alam bukanlah suatu bentuk hukuman ilahi. Sebaliknya ini menunjukkan bahwa manusia dan kehidupannya adalah bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dengan alam semesta yang dinamis. *