Opini Pos Kupang

Mengadministrasi Demokrasi Substantif di NTT

Tugas utama pembentukan tim seleksi (timsel) ini adalah memilih secara bertanggung jawab para calon komisioner KPU

Editor: Dion DB Putra
ilustrasi

Perspektif regenerasi juga dibarengi dengan pertimbangan azas keadilan dan pemerataan. Semua orang memiliki hak untuk menduduki jabatan sebagai komisioner, tetapi pertimbangan keadilan dan pemerataan akan membatasi hak tersebut.

(2) Dalam memilih calon, tim juga mengacu pada konsep dan praksis afirmasi gender, disabilitas, inklusivitas, representasi komunitas dan multikulturalitas. Berbagai preferensi ini penting untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang selama ini `kurang dihiraukan' dalam bangunan demokrasi, serta bagian dari upaya meningkatkan partisipasi berbagai elemen dalam membangun demokrasi di Indonesia.

Selanjutnya, dalam setiap tahapan tes, materi mengenai wawasan demokrasi, kepemiluan dan negara bangsa selalu mengedepan demi menakar komprehensivitas dan holisitas pengetahuan dan pemahaman calon. Misalnya, dalam sesi wawancara, timsel mengekstrapolasi wawasan tentang pilar-pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika), kepemiluan, ketatanegaraan, kepartaian, dan lembaga penyelenggara Pemilu.

Diharapkan dalam proses ekstrapolasi, para calon dapat bermigrasi dari hanya sekedar konsep abstrak, menuju pada praksis, aplikasi dan implementasi. Selain ini itu timsel juga melakukan pendalaman terhadap:

(1) Materi dan strategi pengawasan Pemilu, sistem hukum, sistem politik, serta peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu; (2) Integritas diri, komitmen, dan motivasi; (3) Kemampuan komunikasi dan kerja sama tim; (4) Kualitas kepemimpinan dan kemampuan berorganisasi; (5) Pengetahuan muatan lokal, dan (6) Klarifikasi atas tanggapan dan masukan masyarakat yang disampaikan melalui berbagai bentuk kanal.

Timsel memiliki ekspektasi agar demokrasi di NTT memiliki citra positif. Ekspektasi ini mesti tergambar dalam dua hal: (1) adanya pengadministrasian demokrasi secara baik dan benar dan kepatuhan pada undang-undang, peraturan, sistem dan norma-norma (regula sunt servanda).

Bila tidak, tentu akan menciptakan bias dan polarisasi. Biasanya perilaku tidak patuh muncul ketika terjebak dalam conflict of interests, abuse of power, partisan, dan tidak independen dalam bertugas. Keterjebakan bisa saja ini terajut ketika mulai merambahnya kepentingan pragmatis-instrumental.

Keterjebakan ini perlu dihindari agar tidak terjadi bias yang memicu konflik. Bersikap etis, jujur dan terbuka, inklusif dan menjunjung kultur kolektif kolegial adalah keutamaan-keutamaan moral etis organisatoris. Bila keutamaan-keutamaan ini dikembangkan dengan baik, tentu akan dapat mendukung administrasi demokrasi yang berkeadaban.

Kedua, kerja timsel dan calon komisioner, memiliki satu fitrah: adanya hijrah demokrasi prosedural-rutinistik kepada demokrasi substantif.

Demokrasi prosedural-rutinistik kerap ditandai dengan masalah instrumental-artifisial seperti pendanaan, alat peraga kampanye, perhitungan dan pembagian suara, payung hukum, dll., serta adanya dominasi-determinasi pihak elitis.

Situasi ini kerap mengangkangi partisipasi masyarakat yang berimplikasi pada tumbuhnya sikap ignoran dan indiferen masyarakat terhadap kegiatan politik (Wood, 2011).

Sementara demokrasi substantif lebih berkutat mengenai tujuan dan manfaat demokrasi bagi bonum commune. Dalam demokrasi substantif, masyarakat memiliki kesadaran kritis dalam memilih wakil rakyat, senator dan pemimpin lokal dan nasional yang terbaik.

Tentu, upaya berkelanjutan mengradasi kesadaran mesti diikuti dengan intensnya sosialisasi, promosi, edukasi, dan advokasi, antara lain untuk mengurangi prevalensi pemilih tradisional-emosional menjadi lebih rasional-ideologis.

Kesadaran kritis perlu dibangun demi menghindari intoleransi politik, politik identitas dan politik `dagang sapi' (Bandingkan: Katalog BPS, Ringkasan Indeks Demokrasi Indonesia Provinsi NTT tahun 2010-214).

Selain peran mengadministrasi demokrasi substrantif tugas timsel dan calon komisioner, berupaya menumbuhkembangkan sense of beloging and responsibility masyarakat terhadap demokrasi.

Bila tingkat partisipasi masyarakat berada di bawah ambang batas, maka hal tersebut bisa menjadi narasi impresif mengenai kegagalan para penyelenggara, dan tentu kegagalan timsel juga `kan? *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved