Opini Pos Kupang

Mengadministrasi Demokrasi Substantif di NTT

Tugas utama pembentukan tim seleksi (timsel) ini adalah memilih secara bertanggung jawab para calon komisioner KPU

Editor: Dion DB Putra
ilustrasi

Oleh Dr. Marianus Mantovanny Tapung dan M Robby Keupung
Tim Seleksi KPU Kabupaten/Kota

POS-KUPANG.COM - Tim seleksi calon komisioner KPU Kabupaten/Kota di Provinsi NTT dibentuk berdasarkan keputusan KPU RI No. 1485/PP.06/Kpt/05/KPU/X/ 2018 dengan nomor pengumuman 1336/PP.06-Pu/05/KPU/IX/2018. Keputusan ini berpayung pada UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017, PKPU (PKPU) RI No. 27/2018, KKPU RI No. 252/PP.06.kpt/05/KPU/III/2018, PKPU (PKPU) RI No. 7/2018 tentang Seleksi Anggota KPU Provinsi dan Anggota KPU Kabupaten/ Kota.

Tugas utama pembentukan tim seleksi (timsel) ini adalah memilih secara bertanggung jawab para calon komisioner KPU kabupaten/kota yang berkualitas. Komposisi tim merupakan keterwakilan anasir-anasir seperti jurnalis, aktivis LSM, akademisi dan birokrat.

Ramalan Zodiak Malam ini - Aries Segera Petakan Serangan, Tes Sudah Selesai Leo jadi Santailah

Gaji PNS 2019 Naik, Mau Tahu Berapa Kenaikan Gajimu, Lihat Tabel Resmi dari Pemerintah

Ternyata Daftar WhatsApp Tidak Harus Pakai Nomor Telepon, Begini Caranya

Bila merujuk pada kompetensi, kualifikasi, basis kerja dan pengalaman, tim ini diharapkan mampu memilih calon komisioner, yang de jure dan de facto, memiliki kualifikasi, kapasitas, kapabilitas, dan integritas. Komisioner terpilih diharapkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat NTT sebagai pengguna utama dari jasa kerja para penyelenggara pemilu tersebut.

Secara umum, keterlibatan intensif timsel bergerak mulai dari proses penjaringan calon, penelitian berkas portofolio (dokumen administrasi), seperti makalah, kualifikasi pendidikan dan pengalaman berorganisasi serta berkas-berkas lain yang berhubungan dengan profil diri dan keberadaannya sebagai anggota masyarakat, Computer Assisted Test (CAT), psikotes, tes kesehatan, dan wawancara.

Merujuk pada tata cara seleksi, ketika mengakhiri setiap tahapan, timsel selalu melakukan pleno. Pleno merupakan ruang pertimbangan untuk memutuskan dan menetapkan luaran utamanya.

Timsel pastikan, semua keputusan dan penetapan diambil berdasarkan data obyektif tentang calon, yang dikonstruksi secara musyawarah mufakat.

Dalam pleno, timsel senantiasa berpreferensi pada prinsip hukum dan aturan yang berlaku, dan sedapat mungkin menghindari intervensi subyektif berikut konflik kepentingan.

Kami yakin, proses dan jadwal sudah berada dalam sistem yang standarized, akuntabel dan transparan. Dengan demikian, bisa asumsikan, timsel sudah bekerja dengan `sehat' berdasarkan sistem yang ajeg, dikelola secara prosfesional, transparan, akuntabel dan penuh integritas. Imperatif moral kerja timsel, hasil tidak mengkhianati proses dan sebaliknya juga proses tidak mencederai hasil!

Demi memperkuat sistem yang ada, timsel juga menyepakati perangkat-perangkat non-normatif yang dipandang perlu untuk mendukung sistem seleksi.

Perangkat non-normatif ini dirancang semata-mata bertujuan agar calon merupakan `right man on the right place'. Perangkat non-normatifnya, antara lain: 1) Calon bebas dari afiliasi ideologi partai politik, calon legislatif atau paslon tertentu, yang dinilai akan mengganggu independensi, integritas dan netralitas sebagai penyelenggara pemilu.

(2) Calon tidak memiliki jejak digital (digital footprint) yang negatif di ragam media sosial, mainstream, maupun cetak. Telusuran jejak digital untuk mendapat sebanyak-banyaknya informasi mengenai profil calon ketika berinteraksi dalam masyarakat.

Dari jejak digital juga akan dilihat sejauh mana keterlibatan calon dalam isu politik identitas, politik intoleran, politik separatis, mengumbar ujaran kebencian, menyebarkan berita bohong, dan berpendapat rasialis atau berbias gender. (3) Calon tidak memiliki jejak moral personal dan sosial yang buruk; tidak tersangkut masalah kejahatan seksual, KDRT, narkotika, korupsi, dll).

Selain mengacu pada sistem dan aturan, dalam membuat keputusan timsel juga menggunakan beberapa perspektif, antara lain: (1) Sustainabilitas, regenerasi dan keadilan.

Perspektif sustainabilitas ini berhubungan dengan keberlanjutan kerja kelembagaan KPU dengan rentang pendek jadwal pemilu 2019. Perspektif regenerasi lebih bertalian dengan `kehendak baik' untuk memberi kesempatan kepada generasi muda dan `kemampuan memanfaatkan peluang' dari orang muda dalam mengurus dan mengelola negara.

Perspektif regenerasi juga dibarengi dengan pertimbangan azas keadilan dan pemerataan. Semua orang memiliki hak untuk menduduki jabatan sebagai komisioner, tetapi pertimbangan keadilan dan pemerataan akan membatasi hak tersebut.

(2) Dalam memilih calon, tim juga mengacu pada konsep dan praksis afirmasi gender, disabilitas, inklusivitas, representasi komunitas dan multikulturalitas. Berbagai preferensi ini penting untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang selama ini `kurang dihiraukan' dalam bangunan demokrasi, serta bagian dari upaya meningkatkan partisipasi berbagai elemen dalam membangun demokrasi di Indonesia.

Selanjutnya, dalam setiap tahapan tes, materi mengenai wawasan demokrasi, kepemiluan dan negara bangsa selalu mengedepan demi menakar komprehensivitas dan holisitas pengetahuan dan pemahaman calon. Misalnya, dalam sesi wawancara, timsel mengekstrapolasi wawasan tentang pilar-pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika), kepemiluan, ketatanegaraan, kepartaian, dan lembaga penyelenggara Pemilu.

Diharapkan dalam proses ekstrapolasi, para calon dapat bermigrasi dari hanya sekedar konsep abstrak, menuju pada praksis, aplikasi dan implementasi. Selain ini itu timsel juga melakukan pendalaman terhadap:

(1) Materi dan strategi pengawasan Pemilu, sistem hukum, sistem politik, serta peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu; (2) Integritas diri, komitmen, dan motivasi; (3) Kemampuan komunikasi dan kerja sama tim; (4) Kualitas kepemimpinan dan kemampuan berorganisasi; (5) Pengetahuan muatan lokal, dan (6) Klarifikasi atas tanggapan dan masukan masyarakat yang disampaikan melalui berbagai bentuk kanal.

Timsel memiliki ekspektasi agar demokrasi di NTT memiliki citra positif. Ekspektasi ini mesti tergambar dalam dua hal: (1) adanya pengadministrasian demokrasi secara baik dan benar dan kepatuhan pada undang-undang, peraturan, sistem dan norma-norma (regula sunt servanda).

Bila tidak, tentu akan menciptakan bias dan polarisasi. Biasanya perilaku tidak patuh muncul ketika terjebak dalam conflict of interests, abuse of power, partisan, dan tidak independen dalam bertugas. Keterjebakan bisa saja ini terajut ketika mulai merambahnya kepentingan pragmatis-instrumental.

Keterjebakan ini perlu dihindari agar tidak terjadi bias yang memicu konflik. Bersikap etis, jujur dan terbuka, inklusif dan menjunjung kultur kolektif kolegial adalah keutamaan-keutamaan moral etis organisatoris. Bila keutamaan-keutamaan ini dikembangkan dengan baik, tentu akan dapat mendukung administrasi demokrasi yang berkeadaban.

Kedua, kerja timsel dan calon komisioner, memiliki satu fitrah: adanya hijrah demokrasi prosedural-rutinistik kepada demokrasi substantif.

Demokrasi prosedural-rutinistik kerap ditandai dengan masalah instrumental-artifisial seperti pendanaan, alat peraga kampanye, perhitungan dan pembagian suara, payung hukum, dll., serta adanya dominasi-determinasi pihak elitis.

Situasi ini kerap mengangkangi partisipasi masyarakat yang berimplikasi pada tumbuhnya sikap ignoran dan indiferen masyarakat terhadap kegiatan politik (Wood, 2011).

Sementara demokrasi substantif lebih berkutat mengenai tujuan dan manfaat demokrasi bagi bonum commune. Dalam demokrasi substantif, masyarakat memiliki kesadaran kritis dalam memilih wakil rakyat, senator dan pemimpin lokal dan nasional yang terbaik.

Tentu, upaya berkelanjutan mengradasi kesadaran mesti diikuti dengan intensnya sosialisasi, promosi, edukasi, dan advokasi, antara lain untuk mengurangi prevalensi pemilih tradisional-emosional menjadi lebih rasional-ideologis.

Kesadaran kritis perlu dibangun demi menghindari intoleransi politik, politik identitas dan politik `dagang sapi' (Bandingkan: Katalog BPS, Ringkasan Indeks Demokrasi Indonesia Provinsi NTT tahun 2010-214).

Selain peran mengadministrasi demokrasi substrantif tugas timsel dan calon komisioner, berupaya menumbuhkembangkan sense of beloging and responsibility masyarakat terhadap demokrasi.

Bila tingkat partisipasi masyarakat berada di bawah ambang batas, maka hal tersebut bisa menjadi narasi impresif mengenai kegagalan para penyelenggara, dan tentu kegagalan timsel juga `kan? *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved