Cerpen
Panggilan Bukit Babel Cerpen : Simpli Ridi
Ya! Suara mereka mampu menembus nirwana dan Sang Khalik mungkin sedang terusik oleh ria yang penuh.(cerpen : Simpli Ridi)
Penulis: PosKupang | Editor: Apolonia Matilde
Pukul 12:30 siang. Hal ini telah menjadi kebiasaannya. Putra tunggal dari keluarga yang kaya-raya ini telah memelihara hidupnya sendiri di kota besar yang menggiurkan, selekas buyarnya ketidakpedulian dan perhatian dari orang tuanya sejak masih berusia 5 tahun.
Pada usia yang masih sangat belia itu, orang tuanya menitipkannya pada seorang pengasuh yang dibiayai. Atas kerinduaan untuk menumpukan harta kekayaan berlebihan dan tetap menjaga stabilitas posisi jabatan yang tinggi, kedua orang tuanya lupa akan tanggung jawab yang dibutuhkan Bryan. Waktu terus berlalu hingga Bryan bertumbuh sebagai seorang pemuda.
Bryan sang pemuda yang mulai mengerti, pun juga mulai merasa kurangnya perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Dengan kehendaknya sendiri ia memilih menciptakan takdir dalam hidupnya. Ia berkeinginan untuk hidup tanpa pengasuh, dan mulai mencari jawaban tentang pertanyaan hidupnya di berbagai tempat hiburan malam. Apa makna hidup ini? Ia mendapati jawabannya dalam dunia hiburan. Ia terus bertumbuh hingga terseret ke dalam kehidupan kelam sebagai pecandu alkohol, pengidab narkoba dan sabu-sabu, gigolo, penikmat seks bebas hingga digelar dengan penguasa club-club malam. Di sana ia menemukan jawabannya ketika ia bertanya, apa itu hidup yang sebenarnya.
Bryan tidak peduli atas teguran dan peringatan oleh kedua orangtuanya disaat mereka mendapati anaknya terlentang dan tak sadar di atas sofa.
• Perempuan Indonesia Timur Gelar Konferensi
Terkadang didapati tubuhnya terkapar di anak tangga, atau di depan pintu masuk karena tak mampu lagi berjalan, oleh karena kelebihan alkohol yang menggoncangnya. Kebiasaan ini telah terlampau menjadi miliknya dan dipeliharanya sebagai benteng sandarannya untuk memetik makna hidup dalam gelap.
Bukan saja terlepas dari perhatian orangtuanya, situasi dan kondisi pusat kota besar itu turut membentuk dirinya. Bersikap egois dan membanggakan diri selalu menjadi sumber acuan hidupnya.
Keacuhan hidup yang ditimbanya dari sikap-sikap itu juga, telah mematikan sifat asketisnya yang pernah tersemai dalam kodratnya sebagai manusia yang berjiwa rohaniah.
Walaupun ia dibesarkan dalam keluarga yang berlatar belakang Katolik, namun yang dianutnya adalah sikap hidup ateis praktis.
Ketika Bryan yang sudah dimabukkan oleh situasi hidup yang kian membawanya pada pusaran ruang amukan jiwa dan kemalangan yang merahimi derita, terkadang menuntutnya untuk mengakhiri semua itu dengan jalan pintas yang tragis.
Di sini ia mengalami masa gelap yang mendalam. Masa gelap mulai menghinggapinya ketika ia mulai sadar dan mengerti akan kehilangan beberapa hari yang telah lewat.
Dalam masa itu, ia seperti seekor anak ayam yang terus melengkingkan suaranya untuk mencari dan menemukan kembali di mana letak suara induknya.
Namun induknya telah diterkam maut. Walaupun Bryan sangat membenci orang tuanya, namun ia tidak telepas dari kodratnya sebagai manusia. Ia sangat merindukan keberadaan mereka di sisinya. Entah mengapa kerinduaan ini muncul ketika mereka sudah tidak berada lagi disisinya. Mereka telah direnggut oleh maut dengan cara yang tragis. Mereka telah meraih maut di pinggiran tebing dengan jurang yang tinggi, saat mobil mereka kehilangan kendali.
Bersama mobil, mereka terjatuh dan tubuh mereka hancur di lahap api yang menyala akibat ledakan mobil. Pengalaman buruk ini telah menggoncangkan keadaan Bryan dalam kemesraannya dengan jalan hidupnya.
Masa gelap ini menuntut Bryan untuk lebih cepat mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis pula. Namun, saat ia yang sudah berada di ujung tebing batu alam yang tinggi, persis di tempat kedua orang tuanya merebut dunia hidup abadi, dengan butir-butir air mata yang menetes, kehancuran hati yang terus berkecamuk dari pengalaman buruknya, menuntut keinginannya untuk melompat merebut maut dari tangan Sang Khalik.
Sekejab, elusan angin yang sepoi-sepoi menghampirinya. Lembutnya angin itu membisikan sesuatu yang melumpuhkan tekatnya.
• 7 Warganya Jadi Korban KKB di Papua, Bupati Toraja Utara Minta Warganya tak Tersulut Emosi
Suara itu bergema di telinganya, "sssuuuuuussshhh..Maaf !" Kata ini seakan menenangkannya dan membuka selaput duka yang telah mengasingkan dirinya. Kata itu terus mengusiknya hingga membawanya kembali menemukan dirinya.