Berita Cerpen

Cerpen Simply Dalung : Orang-Orang Gila

SEPERTI kampung kebanyakan, kehidupan di sebuah kampung berjalan sangat biasa. Tidak ada yang begitu istimewa.

Penulis: PosKupang | Editor: Apolonia Matilde
Ilustrasi
Orang-Orang Gila 

Lain ceritanya lagi kalau mereka saling bertemu. Akan timbul suatu perdebatan yang ramai kalau orang yang selalu mencerca bertemu dengan orang yang selalu mengucapkan puisi-puisi cinta. Orang yang selalu tertawa akan bonyok kalau bertemu dengan orang yang selalu memegang batu atau kayu untuk memukul dirinya, dia selalu merasa tersinggung karena ditertawai. Lain lagi dengan orang yang selalu berlari dari ujung ke ujung kampung, bertemu dengan siapa saja dia terus berlari. Segala halangan dan rintangan yang coba menghadangnya takkan menghalangi tekadnya untuk terus berlari.

Semua orang muda di kampung itu sudah menjadi gila. Kegilaan mereka bahkan telah membuat takut para orang tua dan adik-adik kecil mereka. Para orang tua merasa begitu terpukul melihat anak-anak mereka menjadi gila dalam waktu yang begitu singkat.

Mereka lebih terpukul lagi karena mereka tidak tahu mengapa anak-anak mereka menjadi gila. Setiap hari mereka hanya menangis. Sampai air mata mereka habis pun, mereka tetap menangis.

Baca: Via Vallen Minta Maaf, Ini Penyebabnya

Melihat begitu kacaunya kampung lantaran orang gila yang begitu banyak, istri kepala kampung yang merasa memegang mandat kepemimpinan, mendatangkan begitu banyak tabib dan dukun dari luar kampung. Tabib-tabib dan dukun-dukun itu datang dengan keahlian mereka masing-masing. Ada tabib yang ahli mengatasi sakit saraf, ada tabib yang ahli di bidang obat-obatan verbal. Ada dukun yang mampu melihat kembali masa lalu, dia adalah orang yang mampu melihat penyebab-penyebab kejadian yang tak kelihatan oleh manusia. Ada dukun yang mampu mewaraskan orang gila dan dia telah mewaraskan begitu banyak orang gila di banyak kampung.

Ada dukun yang jago santet, ada pula yang mampu berkomunikasi dengan roh-roh halus. Semua tabib dan dukun yang paling hebat didatangkan oleh istri kepala kampung untuk mengembalikan lagi situasi kampungnya seperti yang dulu. Namun, hasilnya nihil. Tabib-tabib dan dukun-dukun itu malah tak lebih dari orang gila di depan orang-orang gila itu. Mereka tetap gila. Dan para tabib dan dukun itu pun nyaris dibuat gila oleh mereka. Kehebatan dan kesaktian mereka dipatahkan hanya oleh orang-orang gila.

"Kegilaan macam apa ini? Tidak ada kegilaan yang lebi gila dari kegilaan anak-anak muda ini." Keluh seorang dukun.

***
Karena tidak ada yang bisa mewaraskan lagi orang-orang gila itu, mau tidak mau, suka tidak suka, para orang tua akhirnya hanya bisa pasrah melihat anak-anak mereka hidup sebagai orang gila. Sungguh, tidak ada yang lebih menyakitkan hati orang tua selain melihat anak mereka hidup dalam kegilaan. Mereka tidak bisa lagi memimpikan anak mereka yang mengenakan pakaian pegawai negeri. Mereka tidak lagi bisa membayangkan anak mereka pulang ke rumah dengan mengendarai mobil. Semua mimpi mereka hilang lenyap dimakan semua kegilaan ini.

Setiap harinya, akhirnya mereka hidup di tengah orang-orang gila. Kampung mereka tak ubahnya sebuah rumah sakit jiwa. Oarng gila berseliweran di mana-mana. Ujung-ujungnya mereka tidak bisa melaksanakan aktifitas mereka dengan baik. Saat mereka hendak pergi bertani, cangkul mereka sudah hilang dibawa pergi. Saat hendak keluar rumah, sandal mereka sudah hilang sebelahnya. Belum lagi, orang-orang gila itu sering masuk ke rumah-rumah warga dan berbuat apa saja yang hendak mereka perbuat. Pakaian diambil seenaknya, piring-piring dipecahkan , dinding-dinding rumah dicoret semaunya. Bahkan mereka juga sering memukul penghuni rumah yang mereka masuki. Setelahnya mereka lari dan tertawa pula. Begitulah orang gila. Diceramahi pun tidak ada gunanya.

Baca: Saat Hujan Walikota Kupang Ajak Kadis Kebersihan Turun ke Titik Rawan

Warga-warga yang waras, orang-orang tua dan anak-anak kecil, lama-kelamaan mulai terbiasa dengan kehidupan yang gila itu. Mereka sudah bisa membiarkan diri mereka hidup membaur dengan orang-orang gila itu. Mereka mencoba untuk hidup seperti biasanya sambil sesekali bertingkah gila kalau bertemu orang gila. Orang gila senang melihat sesama orang gila.

Tugas orang-orang tua kemudian hanya satu: tidak membiarkan anak-anak kecil mereka yang tidak gila berhubungan dan bahkan melihat kakak-kakak mereka yang gila, supaya barangkali suatu saat mereka tidak ikut-ikutan gila.

Di suatu pagi, istri kepala kampung memanggil semua warga yang warga yang waras untuk berkumpul di halaman rumahnya. Ia hendak menyampaikan sesuatu.

"Semalam, saya mengalami mimpi yang aneh dan di mimpi itu, saya bertemu dengan suami saya, kepala kampung kita. Dia datang dan berkata kepada saya: kenapa kehidupan kalian menjadi seperti ini? Orang gila di mana-mana, sedangkan kalian tidak berbuat apa-apa. Apakah tidak ada yang bisa membuat kampung kita menjadi lebih baik?

Asal kau tahu saja, sewaktu hidup saya sungguh bersusah payah berkompromi dengan para leluhur yang mulai murka melihat anak-anak muda kita yang hidup asal-asalan.

Para leluhur bahkan pernah hampir membinasakan semua anak muda di kampung kita. Mereka sudah tidak lagi mencintai kampung kita. Mereka lebih suka nongkrong dan mabuk-mabukan daripada duduk berkumpul dengan orang-orang tua sekadar bercerita tentang sawah dan hasil panen.

Mereka lebih senang membahas tentang hari ini mau ke mana daripada soal ramalan cuaca dan musim buah-buahan. Mereka tidak tahu lagi menyanyikan lagu-lagu adat.
Jadi, harus ada yang membuat mereka pulang ke jalan yang benar. Kalau tidak, kampung kita akan menjadi gila semuanya dan selamanya."
Semua orang yang mendengar hal itu kebingungan.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved