Berita Nasional
Ini Sejarah Rupiah Setelah Uang Jepang Yang Wajib Kamu Tahu Sebagai Warga Negara Indonesia
Ini Sejarah Peredaran Rupiah Setelah Zaman Jepang Yang Wajib Kamu Tahu Sebagai Warga Negara Indonesia.
Kisah berikutnya terjadi dalam waktu pendudukan Yogyakarta oleh tentara Belanda. Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda menyerbu ibu kota R.I.
Persiden Sukarno, Wk. Presiden Muh. Hatta, Menteri Luar Negeri H.A. Salim dan beberapa anggota Kabinet dan orang-orang penting lainnya ditangkap oleh serdadu-serdadu Belanda dan segera diangkut dengan pesawat terbang ke Jakarta.
Selanjutnya mereka diasingkan ke Prapat dan sebagian dari mereka kemudian dipindahkan ke Manumbing di Pulau Bangka.
Kesaksian Pembantu Hingga Pesan Terakhir Fransiskus, Begini Kasus Pembunuhan Keluarga di Palembang
Polisi Kantongi Identitas Tersangka Pelaku Utama Pengeroyokan SMKN 5 Kupang
Jam 9 pagi tanggal 19 Desember sebuah jeep dengan empat serdadu masuk di halaman rumah .saya. Dengan senjata otomatis di tangannya mereka memasuki rumah saya, dan terus menggeledah rumah; tidak ada tempat di dalam rumah yang terlepas dari penggeledahannya.
Yang dicari adalah senjata. Mereka bertindak cukup sopan. Kebetulan yang datang adalah serdadu-serdadu Belanda totok.
Di antara pejabat-pejabat penting yang tidak ditangkap oleh tentara Belanda dan tetap tinggal di Yogyakarta terdapat Menteri Perhubungan Ir. Djuanda.
Pada akhir bulan Desember 1948 saya diminta datang oleh Ir. Djuanda untuk datang di rumah beliau, untuk diserahi suatu tugas.
Soalnya ialah sbb: Kabinet Amir Sjarifudin ke I memutuskan untuk mengeluarkan semua "uang merah", yaitu uang Belanda, yang terdiri dari uang kertas dan uang logam yang disimpan di Javansche Bank (Bank Indonesia) dari bank tersebut untuk selanjutnya disimpan di istana Paku Alam di bawah tanggung jawab Sri Paku Alam.
Uang ini telah dipergunakan Pemerintah untuk keperluan-keperluan penting. Saya diperintahkan untuk mempergunakan sisa uang itu untuk membantu perjuangan para pegawai R.I. yang masih setia kepada R.I.
Menurut penjelasan Ir. Djuanda, tugas yang sama akan tetapi untuk para anggota ABRI, dilakukan oleh Pangeran Bintoro dengan petunjuk-petunjuk dari Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX.
Ditemukan 2 Bom dalam Surat untuk Barack Obama dan Hillary Clinton di New York
KPK Lakukan OTT di Cirebon, Jawa Barat, Seorang Kepala Daerah Ikut Diamankan
Saya adalah teman sekuliah dengan Sri Paku Alam waktu di Rechtshogeschool di Jakarta.
Kepada saya diperbantukan sdr. Soebagjo (aim), pada waktu itu sekretaris Kementerian Keuangan dan kebetulan juga termasuk masih kerabat (bahasa Jawa: sentono) Paku Alaman, dan seorang lain yang sudah tidak ingat namanya lagi.
Dalam pada itu Ir. Djuanda tidak memberikan petunjuk apa-apa kepada saya. Beliau mempercayakan pelaksanaannya kepada saya seluruhnya. Beliau hanya berpesan, bahwa kita (pegawai RI) harus dapat bertahan sedikit-sedikitnya sampai bulan Juli 1949.
Kami harus beroperasi di daerah yang seluruhnya dikuasai oleh musuh.
Sebagai langkah pertama kami bertiga menghadap Sri Paku Alam di istana Paku Alaman. Setelah diadakan pembicaraan- pembicaraan yang mendalam dengan Sri Paku Alam, kami mengadakan permufakatan sbb:
— Uang merah disimpan oleh Kepala Keuangan Paku Alaman.
— Yang dapat mengambil uang dari Paku Alaman hanyalah kami bertiga (sendiri-sendiri). Kalau kami tidak datang sendiri untuk mengambil uang, kami dapat mengirimkan utusan khusus yang harus membawa tanda-tanda tertentu.
— Jika dalam melakukan tugas kami tertangkap di Paku Alaman, kami harus mengatakan "akan" atau "baru" menghadap Sri Paku Alam (bahasa Jawa: caos).
— Operasi akan dimulai bulan Januari 1949.
* * *
Saya masih ingat beberapa nama yang saya berikan bantuan langsung dengan mendatangi rumah mereka masing-masing. Dapat saya sebutkan di sini: Ny. Fatmawati, Ny. Rahmi Hatta (yang saya berikan dengan perantaraan Sdr. Rachim), Ny. Djuanda, Ny. Ali Sastroamidjojo, Ny. Moh. Roem, Ny. Agus Salim, Ny. Sjafrudin Prawiranegara, Ny. Gafar Pringgodigdo dll.
Uang yang diambil dari Paku Alaman itu semula terdiri dari uang kertas, tetapi setelah persediaan uang menipis dan tinggal pecahan besar, maka yang dapat diambil hanya "uang cring", yang terdiri dari uang logam ringgitan (dari perak).
Pekerjaan pengambilan dan pembagian ini tidak sedikit menegangkan urat syaraf saya, sehingga setelah saya melakukan tugas selama tiga bulan, saya melaporkan kepada Ir. Djuanda bahwa saya tidak sanggup melanjutkan tugas saya. Ir . Djuanda menjawab: "Bagaimanapun juga tugas harus diteruskan. Kalau sampai ditangkap oleh Belanda, bilang saja saya yang suruh."
"Ya, Bapak Djuanda bicara gampang saja. Nama Bapak sudah dikenal oleh pihak Belanda. Tetapi kalau saya sampai tertangkap, saya bisa mati konyol."
Pada akhirnya saya masih menyanggupi lagi untuk melanjutkan tugas saya. Kalau dikehendaki sdr Takya anggota Polri yang kelak pensiun sebagai Jendral polisi akan membantu saya.
Dalam melakukan tugas saya, saya dibantu sepenuhnya oleh isteri saya. Pada suatu waktu tatkala suasana di Yogya agak berbahaya buat kaum lelaki, saya mengirimkan Ny. Soepeno Bustaman, isteri seorang pegawai tinggi P.T.T. dan sekarang berdiam di Bandung (suaminya telah meninggal dunia) untuk mengambil uang di Paku Alaman. Tugas ini diselesaikan dengan selamat oleh Ny. Soepeno Bustaman.
Dalam hal melakukan tugas ini, ada dua kejadian yang selamanya tidak akan hilang dari ingatan saya. Pada suatu hari pagi-pagi sekali datang seorang kurir ke rumah saya dengan membawa berita, bahwa salah seorang pembantu saya ditangkap oleh Belanda.
Saya memberikan isyarat kepada para pembantu lainnya untuk sementara menghentikan semua aktivitas sampai keadaan aman kembali.
Beberapa hari kemudian, saya ditemani oleh isteri saya dan anak saya yang tertua (pada waktu itu umur 7 tahun) pergi ke Paku Alaman untuk mengambil uang. Kami masing-masing naik sepeda dan anak saya membonceng saya di belakang dan saya dudukkan di atas dua kantong berisi uang logam ringgitan; tiap kantong bernilai 500 gulden.
Karena jalan-jalan kerap kali dilalui tank-tank Belanda, maka jalan-jalan pada waktu itu di sana-sini mulai berlubang-lubang. Tiap kali sepeda melintasi lubang, maka selalu terdengar suara "cring- cring," sehingga saya menjadi gelisah dan takut, kalau melalui pos-pos Belanda.
Untuk membetulkan cara duduk anak saya, saya juga tidak berani, karena mungkin akan menimbulkan curiga bagi orang-orang yang melihatnya. Dengan sangat hati-hati dan memilih bagian-bagian jalan yang rata kami dapat melalui pos-pos Belanda yang paling "serem" terletak di sebelah Kantor Pos Besar dengan selamat.
Pada lain kali setelah mengambil uang dari istana Paku Alaman, saya meliwati Jl. Malioboro dari selatan menuju ke utara. Setelah sampai di Danurejan, saya melihat dari jauh banyak serdadu-serdadu Belanda berhelm putih (anggota polisi militer) memenuhi jalan Malioboro.
Jantung saya hampir berhenti berdenyut. Untuk membalik saya juga tidak berani, karena saya sudah dapat dilihat oleh serdadu-serdadu Belanda. Jadi saya berjalan terus. Pada simpangan jalan Dagen, saya distop oleh seorang serdadu P.M. dan dipersilahkan membelok ke jalan Dagen, liwat Balokkan dan terus menuju ke jalan Malioboro lagi di dekat lintasan jalan k.a.
Dalam pada itu saya tidak diapa-apakan oleh serdadu-serdadu Belanda.
Apa yang sebenarnya terjadi? Hari itu adalah tanggal 30 April, hari ulang tahunnya Ratu Juliana. Masyarakat Belanda di Yogyakarta merayakan hari ulang tahun itu di Hotel Merdeka. Jalan Malioboro antara Jl. Dagen dan Jl. Balokkan ditutup untuk lalu lintas umum.
Sokongan sekedarnya kepada "orang-orang kiblik", yang masih setia kepada negara R.I., besar sekali artinya bagi perjuangan kita melawan Belanda untuk mencapai Indonesia Merdeka, karena ini memberikan sokongan moril yang sangat besar kepada mereka untuk tetap bertahan di Yogyakarta sebagai pegawai R.I. (*)
Artikel ini telah tayang di intisari.online.com dengan judul Kisah-kisah di Sekitar Peredaran Uang Rupiah Pengganti Uang Jepang