Breaking News

Berita NTT Terkini

Wacana Dipindahkan ke Pulau Ndana, Imigran: Terlalu Terpencil

Beberapa imigran duduk di bawah pohon beringin yang rindang, berbicara dalam bahasa Afghanistan.

Penulis: PosKupang | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM/Ambuga Lamawuran
Para imigran yang mendatangi Kantor Rudenim Kupang, Selasa (23/10/2018) 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ambuga Lamawuran

POS-KUPANG.COM | KUPANG - Menjelang siang hari, suasana di depan dan samping kantor Rumah Detensi Imigran (Rudenim) Kupang terlihat ramai. Beberapa imigran duduk di bawah pohon beringin yang rindang, berbicara dalam bahasa Afghanistan.

Di area parkiran motor, Sopur bersama tiga orang sahabatnya sedang berbicara lepas dalam bahasa ibu mereka, Afghanistan. Kadang mereka tertawa sambil menunjuk-nunjuk sesuatu di layar kaca Handphone milik mereka.

Sopur berasal dari Afghanistan, dan telah empat tahun menjadi imigran yang tinggal di Kota Kupang.

Baca: Anggota Satgas Pos Lookeu Bersama Warga Pasang Jaringan Pipa Air Bersih

Dia turut serta datang ke Rudenim Kupang hari ini, Selasa (23/10/2018), untuk menyampaikan beberapa tuntutan ke pihak Rudenim.

Pria itu pun telah mendengar kabar, bahwa mereka akan dipindahkan ke Pulau Ndana Rote di Kabupaten Rote Ndao yang berbatasan dengan Australia.

Baca: Warga Mbay Mengeluh Listrik Padam Berjam-jam

"Bukan Rote. Pulau Ndana. Dekat Rote," katanya kepada POS-KUPANG.COM, Selasa (23/10/2018).

Dia mengatakan, mereka memang ingin pindah dari Kota Kupang. Tetapi Pulau Ndana bukanlah harapan mereka.

Seperti penduduk pribumi yang tahu banyak hal, Sopur menjelaskan bahwa Pulau Ndana itu terpencil. "Agak terpencil. Di sana tidak ada apa-apa," ujarnya.

Karena terpencil, dia lalu bertanya 'bagaimana bisa tinggal di sana?'

"Kalau mau pindah, harus ke kota lain. Karena di sini saja anak-anak tidak bisa sekolah, apalagi di Pulau Ndana," jelasnya.

Maka, berceritalah Sopur tentang kehidupan anak-anak mereka di Kota Kupang. Anak-anak, katanya, tidak sekolah.

"Di sini tidak bisa belajar untuk anak kecil. Mereka tidak bisa sekolah. Ini sampai kapan?" tanyanya lagi.

Selain nasib anak-anak, pria itu pun memikirkan hal lain. Dia berkata kalau di kota-kota lain, semua imigran bebas ke berkeliling pada jam berapa saja, selama 24 jam.

"Di sini, kami hanya diberikan waktu dari pagi sampai jam sembilan malam," urainya.

Sumber: Pos Kupang
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved