Opini Pos Kupang
Tentang Kau, Engkau, dan Anda
Apakah memang kata "kau" merendahkan martabat anggota Dewan? Mengapa kata "kau" itu digunakan Gubernur NTT
Oleh Yohanes Sehandi
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores Ende
POS-KUPANG.COM -- KATA "kau" menjadi cukup populer belakangan ini karena menjadi bahan perbincangan masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di media sosial, setelah kata ini "dipakai" Gubernur NTT Viktor Laiskodat dalam "membentak" seorang anggota Dewan Noviyanto Umbu Pati Lende dalam Sidang Paripurna DPRD NTT pada Senin, 17 September 2018.
Di samping "insiden" Gubernur dengan anggota Dewan, kata "kau" juga menjadi populer di media sosial karena dinilai merendahkan martabat anggota Dewan yang telanjur merasa diri orang terhormat.
Apakah memang kata "kau" merendahkan martabat anggota Dewan? Mengapa kata "kau" itu digunakan Gubernur NTT pada waktu itu? Bagaimana hubungan kata "kau" dengan kata "engkau" dan kata "Anda" yang ketiganya punyai kedudukan sama sebagai jenis pronomina persona kedua tunggal?
Baca: Live Streaming Opening Ceremony Asian Para Games 2018 Live di TVRI & Metro TV
Kata apa yang sebaiknya digunakan dalam situasi resmi termasuk dalam Sidang Dewan agar tidak menimbulkan salah pengertian? Hal ini yang diangkat dalam opini pendek ini.
Kata "kau" dan "engkau" mempunyai kedudukan sama dalam bahasa Indonesia sebagai pronomina (kata ganti) persona kedua tunggal, yang menunjukkan makna sebagai lawan bicara dari pronomina (kata ganti) persona pertama tunggal "saya" atau "aku."
Bentuk "kau" merupakan penggalan dari bentuk "engkau." Bandingkan bentuk "pak" dan "kak" yang merupakan penggalan dari bentuk "bapak" dan "kakak." Baik kata "kau" maupun "engkau" merupaan kosakata asli bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia kini.
Baca: 5 Zodiak Ini Paling Agresif di Ranjang, Bagaimana dengan Kamu?
Bagaimana kaidah/aturan penggunaan kata "kau" dan "engkau" ini? Seturut buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi III, cetakan ke-5, tahun 2003, halaman 253), kedua kata ini dipakai oleh (1) orang tua terhadap orang muda yang telah dikenal dengan baik dan lama; (2) orang yang status sosialnya lebih tinggi; dan (3) orang yang mempunyai hubungan akrab, tanpa memandang umur atau status sosial. Ketiga kaidah pemakaian ini tentu saja dalam situasi normal.
Yang terjadi dalam Sidang Paripurna DPRD NTT pada Senin, 17 September 2018 itu dalam situasi tidak normal. Situasi tidak normal itu terjadi karena Gubernur Viktor Laiskodat merasa tersinggung dengan tekanan interupsi anggota Dewan Noviyanto.
Karena emosi, Gubernur Laiskodat berkata, "Diam kau, jangan persalahkan pemerintah dan gubernur!" Mungkin saja Gubernur merasa lebih tua atau lebih tinggi status sosialnya dari Noviyanto sehingga merasa wajar saja kata itu digunakan, meski dalam nada tinggi dan marah.
Baca: Drama Korea Mr.Sunshine Raih Most Buzzworthy Drama, Disusul Drakor 100 Days My Prince
Karena situasi tidak normal pula, anggota Dewan Noviyanto yang interupsi merasa harga dirinya direndahkan. Mengapa?
Karena selama ini tidak lazim seorang pejabat eksekutif berkata seperti itu kepada anggota Dewan yang menjadi mitra sejajarnya. Anggota Dewan Noviyanto kaget mendengar seorang pejabat eksekutif, menggunakan kata "kau" pula. Yang lazim terjadi selama ini, anggota Dewan suka-suka membentak pejabat eksekutif. Kini terjadi sebaliknya, dan ternyata anggota Dewan tidak siap menerima kemungkinan baru oleh gubernur baru yang progresif.
Padahal sesungguhnya bentak-membentak dalam Sidang Dewan itu hal biasa, sebagai dinamika sidang. Yang penting bagi rakyat NTT, muara dari bentak-membentak itu untuk kepentingan rakyat NTT, agar NTT tidak lagi menjadi 5 besar provinsi termiskin di Indonesia, tidak lagi menjadi 5 besar provinsi dengan kinerja terburuk, dari 34 provinsi di Indonesia. Itu yang penting.
Ada banyak kasus perdata/pidana dalam masyarakat kita yang muncul karena penggunaan kata "kau" yang tidak pada tempatnya. Saya pernah diminta menjadi saksi ahli oleh Polres Ende dalam kasus penghinaan (pencemaran nama baik) karena penggunaan kata "kau" dan kata-kata makian lain, seperti babi, anjing, dan puki mai, oleh orang muda kepada orang lebih tua. Untung saja kasus itu tidak sampai di pengadilan karena kedua belah pihak mau berdamai secara adat.
Kata sapaan apa sebaiknya digunakan dalam situasi resmi, termasuk dalam Sidang Dewan? Sebaiknya menggunakan jenis pronomina (kata ganti) persona kedua tunggal yang lain, yakni kata "Anda."