Begini Potret Politik Kelas Menengah di NTT
Memotret politik kelas menengah di NTT, tulisan ini mengajukan beberapa argumentasi. Pertama, politik lokal
Bagi keuntungan atas jabatan formal dilakukan berdasarkan balas jasa politik, kedekatan personal atau atas referensi etnik, agama dan kekerabatan, meluas di kelas ini.
Mereka umumnya tahu atau terlibat dalam praktik manipulasi peraturan, anggaran dan tidak menyukai adanya transparansi dalam penyelenggaraan negara atau urusan yang bersifat publik.
Banyak aktivitas ekonomi ilegal yang berkembang dan berkelindan dalam jaringan sosial dan budaya. Praktik korupsi dan bisnis penjualan manusia (human trafficking), menjadi contoh yang kini sulit diatasi.
Tidak dipungkiri bahwa di luar area formal politik negara, terdapat `masyarakat sipil' (civil society) yang kemunculannya dapat dilihat sebagai bentuk transformasi politik kelas menengah dalam demokrasi (Jati, 2017).
Belum ada argumentasi lain yang cukup kuat selain bahwa kelompok-kelompok ini terfragmentasi (terpecah-pecah) dalam kepentingan, orientasi dan ruang gerak di arena sosial.
Selain bahwa harus diakui banyak di antaranya eksis karena pertalian dengan politik negara atau soal-soal lain yang butuh penjelasan lebih lanjut.
Kepentingan di Pilkada
Pilkada merupakan arena kontestasi politik yang konkret memperlihatkan politik kelas menengah di tingkat lokal.
Pilkada seperti pemilihan gubernur (pilgub) dan pemilihan bupati (pilbub) di NTT kelihatan lebih tampak sebagai festival pengulangan janji `elit lokal' lima tahunan. Janji-janji diakselerasi dalam ruang publik oleh mereka yang mayoritas merupakan kelas menengah.
Mereka yang karena pengetahuan, akses, peran dan posisi menjadi orang-orang utama, atau yang paling sibuk dalam kontestasi politik. Di antaranya ada politisi, kontraktor, pengusaha, dan birokrat lintas level, yang langsung maupun tidak, memobilisir dukungan akar rumput pada patronnya.
Politik identitas yang menghantui setiap perhelatan pilkada merupakan politik khas kelas ini. Karena itu pilkada lebih tampak merupakan `politik kekuasaan' dari mereka sering kita sebut sebagai `elit lokal' atau anggota dari kelas menengah ini.
Mereka sangat berkepentingan atas rezim lokal, sebab struktur kekuasaan dan anggaran serta keuntungan yang didapatkan dari keterlibatan dalam politik amatlah jelas.
Struktur anggaran sebagian besar dialokasikan untuk belanja pegawai, pengadaan barang dan jasa, yang merupakan konsumsi utama anggota kelas ini.
Dalam proses birokratik dan politik, praktik korupsi lintas level dan institusi merajalela. Distribusi kesejahteraan sosial yang diarahkan kepada kantong-kantong kemiskinan di lapisan sosial terbawah menjadi tidak terasa.
Tulisan ini tidak bermaksud menunjukkan pesimisme, bahwa tidak ada sedikitpun politik kerakyatan yang bersumber dari bawah. Tetapi memang, secara politik, peran mereka paling minimal, seperti hanya memberi suara saat pemilu.