TERNYATA! Angka 7 Keramat Bagi Presiden Soeharto. Simak Fakta-faktanya
Menjelang akhir kekuasaannya, Soeharto menjadi common enemy para mahasiswa dan elite politik di negeri ini.
Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979–1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis.
Mereka tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik.
Baca: Irvanto Sebut Markus Mekeng Terima 1 Juta Dollar AS, Disaksikan Setya Novanto
Baca: Program Kawasan Transmigrasi di Malaka Menyebar di Tujuh Lokasi, Dimana Saja?
Sebagai balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde Baru.
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah.
Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis.
Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia.
Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda.
Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili.
Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI yang disponsori Perancis.
Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada di bawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO.
Baca: Kemenag RI Lebih Memilih Mantan Napi Kasus Korupsi Jadi Mubalig Ketimbang Adik Gus Dur
Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997.
Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya.
Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Republik Tiongkok, dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan.