Singa dan Orang Kristen serta Kisah Bibir yang Tidak Dimakan

Setelah lewat beberapa hari, seorang Kristen lewat. Singa liar itu lagi-lagi melahap orang itu. Seluruh bagian tubuh

Editor: Dion DB Putra
Metro/Getty
ilustrasi 

Oleh: Tony Kleden
Warga Kota Kupang

POS KUPANG.COM -- Ada seekor singa yang liar dan buas. Setiap kali dia bertemu dengan makhluk hidup yang lain, terutama manusia, pasti saja akan diterkam dan dilahap habis. Tulang-tulang yang keras sekalipun pasti akan remuk dan tak pernah tersisa oleh taringnya yang runcing.

Ketika tahu bahwa orang Kristen adalah orang-orang baik, berkatalah ia kepada teman-teman singa yang lain, "Saya telah mendengar seruan di padang gurun, dan saya ingin bertobat. Saya pasti tidak akan mengganggu orang-orang Kristen lagi. Saya akan membiarkan mereka tetap hidup, dan tak akan lagi menjadikan mereka santapan pemuas isi perutku."

Setelah lewat beberapa hari, seorang Kristen lewat. Singa liar itu lagi-lagi melahap orang itu. Seluruh bagian tubuh orang itu dimakan habis tak tersisa, kecuali bibirnya. Ia lalu dicemoohi teman-temannya.

"Bukanlah engkau ingin bertobat dan berjanji tak akan menjadikan orang Kristen sebagai santapan lezatmu? Mengapa hari ini engkau justru sekali lagi membunuh seorang Kristen?"

Setelah berpikir panjang, singa buas itu menjawab, "Saya memang sudah berjanji untuk tidak menerkam orang Kristen. Namun orang yang telah kumakan itu telah kucium lebih dulu sebelum diterkam. Ternyata sama sekali tidak tercium aroma kekristenan, kecuali bibirnya saja. Karena itu bibirnya saja yang tidak kumakan." (Kokoh Prihatanto: M.A.P, Mimbar, Altar dan Pasar, Penerbit Lamalera, 2017).

Ini hanya cerita rekaan. Tetapi kandungan artinya dalam. Sekarang lagi musim pilkada, pemilihan kepala daerah.

Di NTT ada 10 kabupaten yang pilih bupati-wakil bupati, juga ada pemilihan gubernur-wakil gubernur. Seperti biasa setiap kali pilkada, isu-isu miring, kampanye hitam mulai dimainkan. Isu lama didaur ulang lagi. Lagu lama diaransemen lagi seolah-olah jadi baru.

Isu dan lagu lama kembali dimainkan bersamaan dengan musim kampanye. Emosi masyarakat dibakar, diaduk-aduk. Passion mereka digugah. Tujuannya hanya satu, menjatuhkan lawan tanding untuk merebut kemenangan.

Kita sepakat menjatuhkan lawan dengan cara-cara seperti ini tidak sehat, tidak fair. Kalau dalam sepakbola sudah kena kartu kuning. Dua kali dapat kartu kuning, wasit memberi kartu merah. Yang dapat kartu merah harus meninggalkan lapangan. Malu.

Malu karena kartu merah itu simbol seorang pemain tidak layak berada di lapangan. Tidak layak karena kasar, tidak fair, main seenak dan sesukanya.

Sama seperti itu juga halnya dengan kampanye politik. Menghujat, menganggap remeh lawan, mengedepankan black campaign (kampanye hitam), menunjukkan salah dan dosa lawan adalah cara-cara kampanye yang tidak fair dan tidak sehat itu.

Sebaliknya mengagung-agungkan diri sendiri adalah orang yang terjebak dan terjerat dalam paham triumfalisme sempit. Orang seperti ini mengira dan menduga diri seorang superbody, superhero, hebat dan tanpa cacat cela dan tak ada duanya.

Yang perlu diangkat dan dikampanyekan adalah program kerja, tekad dan niat yang hendak dilakukan. Jualan kampanye itu program kerja, bukan hujatan dan umpatan terhadap lawan. Nada dasar kampanye itu persuasi, bukan provokasi.

Dari sekian banyak calon kepala daerah-wakil kepala daerah di NTT, hampir semuanya orang Kristen, baik Katolik maupun Protestan. Hanya satu dua saja penganut Muslim. Daerah ini, provinsi ini, mayoritas penganutnya pemeluk Kristen. Katolik 55%, Protestan 34%, Islam 9%, sisanya Hindu, Budha dan penganut kepercayaan lainnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved