Singa dan Orang Kristen serta Kisah Bibir yang Tidak Dimakan
Setelah lewat beberapa hari, seorang Kristen lewat. Singa liar itu lagi-lagi melahap orang itu. Seluruh bagian tubuh
Meski menganut beragam agama, terdiri dari berbagai suku dan golongan, dalam praksis hidup sehari-hari kita sungguh merasakan persaudaraan yang demikian kental. Kesatuan dari persatuan di antara kita sangat kuat.
Kekeluargaan, solidaritas dan soliditas di antara kita jauh mengatasi semua perbedaan agama, suku, golongan itu.
Itu sebabnya NTT itu sering disebut sebagai contoh toleransi umat beragama di Indonesia. NTT itu miniatur Indonesia. Gubernurnya Katolik, Wakil Gubernur Protestan, Ketua DPRR Islam. Lengkap tanpa masalah. Jarang di NTT terjadi keributan karena perbedaan agama.
Lalu sekarang, ketika satu dua orang ingin jadi bupati-wakil bupati, satu orang ingin jadi gubernur atau wakil gubernur dengan mengorbankan tali persaudaraan dan kekeluargaan, kita mestinya harus berontak.
Berontak karena persaudaraan dan kekeluargaan itu terlalu mahal untuk hanya ditakar dengan nafsu segelintir orang yang ingin merebut kekuasaan.
Pilkada itu hanya satu anak tangga saja menuju rumah besar berbentuk kabupaten atau provinsi.
Perbedaan sikap dan pandangan, persimpangan jalan pilihan adalah hal yang normal dan wajar. Yang tidak wajar kalau perbedaan sikap dan pandangan, bahkan juga persimpangan jalan pilihan itu, dibesar-besarkan dan kemudian dipelihara terus hingga jadi besar dan `pecah'.
Kita tidak ingin hajatan politik ini didominasi semangat memenangkan perang dengan segala cara dibanding dengan kegiatan politik sebagai mission sacre (tugas suci) menurut paham Aristotelian, yakni bahwa aktif di bidang politik merupakan pengorbanan untuk kepentingan umum dan kemaslahatan bersama.
John Calvin, seorang teolog abad ke-16 mengatakan, politisi itu sejatinya profesi yang sakral dan suci. Sakral dan suci karena politisi adalah orang yang berani memancarkan terang di tempat yang gelap.
Dia membawa pencerahan bagi masyarakat banyak. Seperti St. Yohanes Pembaptis, politisi adalah orang yang berseru-seru di padang gurun. Orang yang lantang berteriak-teriak membantu masyarakat keluar dari keberdosaannya, keluar dari ketertindasannya menyongsong hidup dan kehidupan yang lebih baik, hidup yang diwarnai `habitus' baru.
Bukan sebaliknya orang yang diam tenang membuat kalkulasi untung rugi di jalan tugasnya. Bukan juga orang yang hanya suka berteriak atas nama dan untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri.
Karena itu kesakralan politik itu jangan sampai tergerus nafsu kekuasaan dan pragmatisme berlebihan sambil mengusung adagium klasik politik adalah the art of possibility (seni memanfaatkan segala kemungkinan) sebagai alasan pembenaran. Sama seperti ajaran semua agama, etika Kristen mengajarkan kasih.
Kasih itu jadi inti paling dalam dari kekristenan. Tetapi kasih itu perlu diejawantahkan dalam praksis yang lebih nyata. Jangan sampai nilai dan etika Kristen itu hanya di bibir saja. Kita jadi cemas, takut singa buas seperti cerita di atas datang dan memangsai kita dengan cuma menyisahkan bibir saja. *