Aksi Rakyat NTT
Kenapa Pendemo Trafficking Menyasar Tugu Meriam di Kantor Gubernur NTT, Ini Jawabannya!
Kenapa Pendemo Trafficking Menyasar Tugu Meriam di kantor Gubernur NTT, Ini Jawabannya!
Penulis: omdsmy_novemy_leo | Editor: OMDSMY Novemy Leo
Laporan Wartawan Pos Kupang.com, Novemy Leo
KUPANG.COM, KUPANG - Mengapa massa pendemo tolak perdagangan orang alias human trafficking, menyasar tugu meriam di depan Kantor Gubernur NTT? Ini jawabannya!
Salah satu tindakan dalam aksi damai ribuan massa yang teegabung dalam Aksi Rakyat NTT yang merupakan gabungan dari 28 lembaga organisasi kemasyarakat di NTT, Rabu (28/3/2018) itu, yakni membalikkan meriam yang ada di depan Kantor Gubernur NTT.
Baca: Warga NTT dan Keluarga Korban Traffciking Usung dan Bawa Peti Mati ke Kantor-Kantor Ini
Baca: Ribuan Rakyat NTT Lakukan Aksi Tolak Trafficking di Kupang, Kapolda NTT ke Belu Gelar Rapat Internal
Baca: Tidak Ketemu Gubernur NTT, Tugu Meriam Jadi Sasaran Para Pendemo

Tindakan yang dinilai sebagian orang sebagai bentuk perusakan itu sebenarnya dilakukan massa bukan tanpa makna.
Elcid Li, menilai sebagai bentuk kritik yang dilakukan rakyat kepada Pemerintah.

Dalam tulisannya berjudul
"Membalikan Meriam yang Diarahkan Kepada Rakyat" Elcid menxoba menjelaskan makna tindakan itu.
Baca: Untuk Perekaman e-KTP, Gubernur NTT Pesan Hal Ini kepada Para Bupati
Baca: 28 Organisasi Ini Besok Akan Turun ke Jalan Tolak Perdagangan Orang, Siapa Saja?
Tulisan Elcid menjadi viral yang dibagikan di sejumlah medsos oleh Aksi Rakyat NTT sejak kemarin.
Begini isi tulisannya:
Hari ini, 28 Maret 2017, meriam Belanda yang dipajang dengan moncongnya diarahkan kepada rakyat kami balik dan arahkan ke dalam, ke Kantor Gubernur NTT. Rodanya kami buang di got.

Catatan ini adalah pledoi tentang aksi pembalikan mulut meriam Belanda yang kami arahkan ke kantor Gubernur NTT ketika berkunjung ke Kantor Gubernur NTT untuk meratapi matinya saudara-saudari kami yang dipulangkan dalam peti mati dan tidak dipedulikan.
Hario Kecik salah seorang pelaku perang tiga bulan di Surabaya 1945 atau yang dikenal sebagai perang 10 November 1945 mengatakan ada kecenderungan elit-elit Indonesia senantiasa mengarahkan meriam kepada rakyatnya sendiri, daripada mengarahkan meriam kepada musuh-musuh negara yang berasal dari luar negara.
Baca: Ribuan Rakyat NTT Tolak Perdagangan Orang Mulai Kepung Kantor Gubernur NTT
Baca: Besok, Ribuan Rakyat NTT di Kupang Turun ke Jalan, Hentikan Perdagangan Orang
Tanda-tandanya jika ada ‘ajang adu ayam’ sudah bisa dipastikan itu kerjaan bangsa sendiri yang mengadopsi devide et impera.

Model kolonialisme internal semacam ini dilanggengkan oleh para elit lokal. Mereka gemar sekali berpesta seperti layaknya para londo dulu. Mereka gemar dipuji oleh anak-anak yang mereka bina.
Sebaliknya mereka amat alergi terhadap kritik. Meskipun jika kritik itu menyangkut nyawa rakyat. Di era yang orang sebut sebagai post truth dengan mudah para centeng menggadaikan harga diri dan logika untuk menyembah tuannya.
Jangan heran meskipun proklamasi 1945 sudah dikumandangkan berulang-ulang namun konsep rakyat (the people) tidak pernah bisa diturunkan dalam gerak kolektif. Sebaliknya yang terjadi adalah para elit berpestapora, dan rakyat pulang dalam peti mati.

Jangan heran jika meriam Belanda dipakai bertahun-tahun dan diarahkan moncongnya selama sekian tahun kepada rakyat. Simbol-simbol penjajah yang dipakai dan dianggap biasa merupakan bukti bahwa kolonialisme bukan lah soal warna kulit.
Para elit baru (new class) hidup terasing di negeri yang kemiskinan menjadi kutukan untuk orang miskin. Bahkan orang kaya maupun investor menjadi dewa-dewa baru yang amat peduli dengan sopan santun yang dibuat-buat, tetapi mengabaikan kemanusiaan yang hakiki.
Baca: Pendemo Human Trafficking Desak Kapolda NTT Keluar Ruangan Temui Mereka di Halaman Polda NTT
Baca: Ya Ampun! Polisi Gali Kubur TKI Milka Boimau, Jenasah Diotopsi, Hati dan Ginjalnya Hilang!
Baca: Lembaga Perlindungan Saksi Korban Temui Keluarga Almarhum Adelina Sau di TTS
Regulasi tetap menyimpan unsur penindasan. Logika ekonomi, cenderung mengabaikan kematian orang kecil. Uang adalah panglima. Memburu rente adalah bahasa kompeni.
Ratusan orang yang pulang mati di NTT hanya dianggap lelucon. Sukarnois macam apa kalian, jika membaca teks Sukarno pun tak mampu, tetapi sebaliknya gemar sekali bersembunyi di balik ketiak kekuasaan.
Ah, Bung Karno, putrimu pun mengecewakan kami! Si kurus ceking pun tak peduli pada perempuan-perempuan kami yang dijual.
Di Timor hari-hari ini kelaparan adalah hal yang biasa. Di desa orang disebut punya pekerjaan, tetapi amat minim uang tunai. Sebaliknya di kota pekerjaan bertaburan, dan uang pun seolah tidak mengenal etika, akal budi ditelan aturan untung-rugi (cost and benefit). Jika memangsa manusia lain adalah cara hidup, dan seolah dihalalkan.
Maka jangan heran kisah tentang mewahnya perilaku elit-elit di Kota Kupang sudah menjadi rahasia umum.
Mereka hidup dari ‘uang tim sukses’, entah wartawan, entah aktivis kampret. Sementara kasta paling bawah dihuni oleh mereka yang menyambung nyawa untuk hidup. Mereka yang pergi dan tak peduli apakah bisa kembali dalam keadaan bernyawa.
Baca: Saat Bertengkar dengan Pasangan, Lakukan 3 Hal Ini untuk Menyelesaikannya
Baca: Saat Intim, 4 Hal ini Jadi Kekuatiran Pasangan, Apa Saja?
Baca: Bikin Pasanganmu Terkesan di Pagi Hari, Lakukan 5 Hal Ini!
Pertanyaannya, pejabat-pejabat daerah macam apakah yang ada di NTT dan di Indonesia yang tidak mampu melihat derita kaum marhaen semacam ini.
Slogan marhaen di Provinsi NTT hanya jadi judul kosong, tanpa paham isinya. Bahkan ini berlaku bagi mereka yang mengaku anak idiologis Bung Karno.

Mana ada kaum marhaen di negeri yang para perempuannya mati dan pulang, namun sekedar untuk mendapatkan ambulance saja agar dapat mengantarkan tubuh mereka ke rumah dan liang lahat pun harus dilalui dengan mengemis?
Mana ada pemimpin kaum marhaen yang bersembunyi di ruang ber-AC ketika para korban tiba dan hendak bertanya dimanakah letaknya keadilan dalam dinding kekuasaan? Dimanakah rasa manusia yang masih tersisa di ujung mesin-mesin birokrasi?
Meriam Belanda kau puja, dan kau arahkan moncongnya kepada rakyat.

Retorika kompeni kau pakai hari-hari ini. Kau katakan mereka yang berdaulat hanya lah mereka yang berduit. Sedangkan kalian rakyat sebaiknya diam dan jangan ribut.
Ikut saja aturan--meskipun aturan-aturan itu mematikan. Meskipun aturan-aturan itu terbukti gagal. Meskipun penderitaan yang kalian suarakan hanya menjadi proyek baru untuk pejabat-pejabat partai politik. Meskipun harga dirimu diinjak hingga kalian tak mampu bersuara.
Di titik ini. Ketika kematian menjadi hal yang sengaja dilupakan. Dan tubuh yang ditinggalkan di cargo bandara adalah hal yang kurang penting. Dan sebongkah roda meriam menjadi lebih penting untuk pedagog-pedagog yang mengaku Sukarnois.
Baca: Sudah Mau Berkomitmen dengan Pasanganmu? Lihat 6 Tanda Ini Dulu!
Baca: Setelah Menikah, Wajah Pasangan Suami Istri Cenderung Mirip. Ini Jawabannya!
Maka sudah tepat lah, rakyat Indonesia di NTT menggulingkan meriam itu, dan mengarahkan moncong meriam Belanda itu ke dalam rumah elit kolonial baru. Kulit kita memang sama.
Bung Karno juga sudah memperingatkan di era neo kolonialisme penjajah yang datang kulitnya berwarna sama denganmu, namun berwatak penghisap yang sama.
Meriam sebaiknya tidak diarahkan kepada rakyat. Sebaliknya ini lah saatnya rakyat memberi makna atas tafsir meriam yang hari ini kami balik dan arahkan pada elit sontoloyo yang tidak mau peduli dengan dukacita kaum marhaen.
Apa program emergency yang kalian buat untuk perempuan-perempuan kita yang mati? Apa program perlindungan untuk anak-anak kita yang dikirim dan dijual ibarat ayam potong?
Dengan bambu dan kayu para pemuda membalikan meriam penjajahan Belanda yang moncongnya bertahun-tahun diarahkan pada rakyat.

Dengan bambu dan kayu kami ingat bahwa nenek moyang kami pun merebut kemerdekaan dengan cara melawan senapan mesin dengan bambu runcing. Pemimpin yang tidak peduli dengan penderitaan warganya sendiri adalah penjajah.
Jika di tahun 1930 Bung, pernah menulis pledoi Indonesia menggugat. Di tanggal 28 Maret 2018, kami para pemuda di Kupang, NTT, menuliskan Rakyat NTT Menggugat.
Baca: Hei Pria, Jangan Mengejar Wanita dengan Cara Murahan, Ganti Strategi, Ini Tipsnya
Baca: Gila! Suami Ini Minta Uang Puluhan Juta Setelah Gerebek Istri dengan Selingkuhan di Hotel
Baca: Perempuan Jangan Berlibur ke 7 Negara ini, Salah-salah Bisa Jadi Korban Tindak Kekerasan Seksual
Dalam teks Indonesia Menggungat Bung Karno (1978 [1930]), hal.107 menulis tentang kromo-isme. Patut lah itu kalimat putra fajar itu dikutip dengan utuh:
Siapa dari kaum pergerakan Indonesia menjauhi atau tak mau bersatu dengan saudara-saudara “rakyat rendah” yang sengsara dan berkeluh kesah itu, siapa yang menjalankan politik ‘salon-salonan’ atau ‘menak-menakan’, siapa yang tidak memperusahakan marhaenisme atau kromoisme,--walaupun ia seribu kali sehari berteriak cinta bangsa cinta rakyat, ia hanya lah menjalankan politik yang….cuma politik-politikan belaka!
Selama ini di kantor Gubernur NTT meriam yang pernah menembakan peluru Belanda kepada rakyat dipajang sebagai barang angkuh yang moncongnya diarahkan kepada rakyat.

Entah berapa banyak sudah rakyat di Pulau Timor yang mati akibat tembakan meriam Belanda ini. Entah kenapa meriam yang menembakan pelurunya kepada bangsa Timor ini kemudian dipakai sebagai simbol kantor Gubernur NTT.
Baca: Lihat! Foto-Foto Antusias Warga dan Keluarga Korban Trafficking Lakukan Aksi Damai Ini di NTT
Baca: Pasangan LDR Ini Bikin Foto Unik Agar Mereka Tetap Saling Mencintai
Baca: 5 Hal Ini hanya dirasakan dan Mampu Dilewati Pasangan LDR, Kalian Ga Akan Kuat
Entah kenapa congkaknya penjajah masih kau wariskan pada generasi ini. Entah mengapa watak kolonialisme masih teramat kental diwarisi oleh pejabat-pejabat bangsa ini.
*Rakyat Indonesia di Nusa Tenggara Timur (*)