Ujian Nasional Itu Pencerdasan atau Pembodohan?
Ada delapan fase penting ujian dalam sejarah Indonesia. Pertama, era 1950-1960-an.
Kedelapan, 2015-2017. UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan, satuan pendidikan (sekolah) diberikan kewenangan untuk menentukan kelulusan pelajar berdasarkan kepribadian yang baik, mengikuti pendidikan secara normal dan nilai ujian sekolah.
Sejak tahun 2017, ada hal baru yang ditambahkan yakni pemilihan salah satu mata pelajaran jurusan selain Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika serta Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) dengan salah satu metode (yang dianjurkan) Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).
Menemukan Dialektika UN
Kisah miris tentang banyak pelajar yang cerdas namun tidak lulus di akhir masa pendidikannya menjadi tantangan yang tidak mudah.
Belum lagi kisah kelulusan dengan nilai sempurna tanpa cacat cela sedikitpun bahkan masih dikategorikan sebagai Sekolah dengan Tingkat Integritas Tinggi. Atau tentang nilai ujian sekolah (US, kewenangan sekolah) yang diatur sedemikian rupa agar dapat mengimbangi nilai ujian nasional (UN, kewenangan pusat).
Ketua Komisi Pendidikan Keuskupan Ruteng, Rm Frederikus Djelahu dalam sejumlah penelitiannya menemukan perbandingan terbalik antara pencapaian nilai US dan nilai UN.
Sampai pada titik ini, penulis dihadapkan pada dua pertanyaan penting: " Apakah meluluskan pelajar merupakan kebajikan moral bagi seorang pimpinan sekolah meskipun pelajar yang bersangkutan tidak layak lulus secara de fakto?
Mungkinkah meluluskan pelajar adalah tindakan "take for granted" untuk menyelamatkan nama sekolah, nama kabupaten dan nama provinsi?"
Prof Feliks Tans, Guru besar Universitas Cendana (Undana) menemukan sejumlah ketimpangan praksis UN antara kecerdasan dan pembiaran kebodohan. Ada dua pokok argumentasi Prof Feliks yang bisa didalami. Pertama,sistem pendidikan nasional yang terlalu membias, belum fokus pada bidang-bidang khusus.
Para pelajar SD belajar menghitung, membaca dan menulis. Di kelas yang lebih tinggi, para pelajar diarahkan pada pelajaran yang sesuai dengan bakat, minat dan kebutuhan mereka.
Kedua, pengembangan pendidikan berdasarkan bakat dan minat. Ujian hanyalah salah satu cara agar pelajar itu dapat berkembang secara maksimal dalam bidang yang diminatinya.
Seorang pengawas Sekolah dalam rapat Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) di Manggarai pernah mengajukan keberatan atas jadwal ujian yang bertubi-tubi sejak Februari hingga April. Dasar keberatan yang paling penting adalah tingkat kejenuhan pelajar dengan ujian tanpa jeda mulai dari Try Out, Ujian Semester VI, USBN hingga UN.
Gagasan cemerlang Prof Feliks patut diapresiasi di tengah kejenuhan pelajar menghadapi ujian. Pendidikan seharusnya membahagiakan dan menggembirakan, karena ilmu pengetahuan tidak perlu didekati dan didalami dengan cara yang kaku apalagi menakutkan.
Berangkat dari sejarah ujian di negeri ini, maka kesimpulan yang paling kuat adalah perubahan nama dan isi ujian dari masa ke masa. Ujian era 2000-2018 memproduksi kegelisahan dan ketakutan dengan begitu banyak nama dan standar nilai.
Prosedur ujian pada era ini pun seakan tambal sulam. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) pun harus terus menerus memformulasikan UN yang ideal, namun akhirnya terjebak dalam utopia untuk menghapus UN itu sendiri.
Menemukan dialektika UN membuat kita akhirnya memahami perbedaan antara lulus dan lolos UN. Kita butuh perubahan untuk kecerdasan anak bangsa dalam dunia pendidikan. *