Ujian Nasional Itu Pencerdasan atau Pembodohan?

Ada delapan fase penting ujian dalam sejarah Indonesia. Pertama, era 1950-1960-an.

Editor: Dion DB Putra
Net
Ilustrasi 

Oleh: Louis Jawa
Kepala SMAK St Gregorius Reo, Manggarai

POS KUPANG.COM -- Musim ujian mulai datang lagi pada tahun 2018. Pelajar dari tingkat SD, SMP dan SMA mempersiapkan diri untuk menyambut aneka evaluasi belajar dengan metodologinya.

Pendidikan kita pun dihadapkan pada dilema ini: ujian untuk mencerdaskan atau membodohkan anak bangsa. Di satu sisi, ujian menjadi bagian penting untuk mengukur tingkat kecerdasan seorang pelajar, namun di sisi lain, kerja `tenaga dalam' meluluskan pelajar adalah bagian dari pembiaran kebodohan.

Bahkan banyak pelajar terlena dan terbuai lantas berujar," tidak usah belajar terlalu tekun, toh pada akhirnya kita akan lulus."

Bertolak dari pandangan Profesor Feliks Tans tentang kualitas kecerdasan (Cakrawala NTT 2014), penulis membangun tesis penting di tengah dilema akademis dan moral seperti ini adalah memperkuat proses pencerdasan secara bertanggungjawab tanpa terbuai pada iming-iming prestise kelulusan sekolah serta memangkas mentalitas cari gampang (easy going).

Sejarah Ujian Nasional

Ada delapan fase penting ujian dalam sejarah Indonesia. Pertama, era 1950-1960-an. Ujian secara nasional dimulai oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.

Ujian yang dinamakan Ujian Penghabisan ini disusun di Jakarta untuk tingkat SMP-SMA dalam bentuk esay dan hasilnya diperiksa di rayon. Kedua, era 1965-1971. Ujian negara, demikian namanya, berlaku untuk semua mata pelajaran dalam pengawasan yang sangat ketat dengan tingkat kelulusan 50 persen.

Ketiga, era 1972-1979. Ujian dengan sistem baru yakni Ujian Sekolah dengan penyelenggaranya adalah sekolah masing-masing dan pemerintah pusat hanya mengeluarkan kebijakan umum.

Keempat, era 1980-2000. Ujian dengan nama Evaluasi Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) untuk mengendalikan, mengevaluasi dan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Ebtanas diatur oleh pemerintah pusat sedangkan Ebta diatur oleh pemerintah provinsi. Pada era ini, ujian sungguh dipersiapkan dengan baik dan kelulusan tidak dengan mudah didapatkan.

Kelima, era 2001-2004. Ebtanas diganti dengan Ujian Akhir Nasional (UAN) dalam kewenangan Departemen Pendidikan Nasional. Pada tahun 2002, penentu kelulusan adalah nilai minimal untuk setiap mata pelajaran.

Pada tahun 2003, kriteria kelulusan dengan standar nilai minimal 3,01 untuk setiap mata pelajaran dan nilai rata-rata keseluruhan minimal 6,0. Pada tahun 2004, standar nilai minimal 4,0 (tidak ada nilai rata-rata minimal).

Keenam, 2005-2010. Nama Ujian Nasional (UN) dengan standar kelulusan untuk nilai minimal dan nilai rata-rata yang berbeda-beda setiap tahunnya. UN tahun 2005 (nilai minimal 4,25) dan UN tahun 2006 (nilai minimal 4,50).

Tahun 2007, ada dua nilai, yakni nilai rata-rata minimal 5,00 dan nilai mata pelajaran tidak boleh di bawah 4,25. Pelajar yang tidak lulus dapat mengikuti program paket C dan mengulang UN tahun depan. UN 2008 dengan mata pelajaran yang lebih banyak dengan nilai rata-rata 5,25.

Tahun 2009-2010, standar semakin naik dengan kriteria perhitungan yang hampir sama. Ketujuh, 2011-2014. Nilai minimal 5,50 dan kelulusan ditentukan oleh gabungan nilai Ujian Sekolah (US) dan UN dengan persentase 40%: 60%.

Kedelapan, 2015-2017. UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan, satuan pendidikan (sekolah) diberikan kewenangan untuk menentukan kelulusan pelajar berdasarkan kepribadian yang baik, mengikuti pendidikan secara normal dan nilai ujian sekolah.

Sejak tahun 2017, ada hal baru yang ditambahkan yakni pemilihan salah satu mata pelajaran jurusan selain Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika serta Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) dengan salah satu metode (yang dianjurkan) Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).

Menemukan Dialektika UN

Kisah miris tentang banyak pelajar yang cerdas namun tidak lulus di akhir masa pendidikannya menjadi tantangan yang tidak mudah.

Belum lagi kisah kelulusan dengan nilai sempurna tanpa cacat cela sedikitpun bahkan masih dikategorikan sebagai Sekolah dengan Tingkat Integritas Tinggi. Atau tentang nilai ujian sekolah (US, kewenangan sekolah) yang diatur sedemikian rupa agar dapat mengimbangi nilai ujian nasional (UN, kewenangan pusat).

Ketua Komisi Pendidikan Keuskupan Ruteng, Rm Frederikus Djelahu dalam sejumlah penelitiannya menemukan perbandingan terbalik antara pencapaian nilai US dan nilai UN.

Sampai pada titik ini, penulis dihadapkan pada dua pertanyaan penting: " Apakah meluluskan pelajar merupakan kebajikan moral bagi seorang pimpinan sekolah meskipun pelajar yang bersangkutan tidak layak lulus secara de fakto?

Mungkinkah meluluskan pelajar adalah tindakan "take for granted" untuk menyelamatkan nama sekolah, nama kabupaten dan nama provinsi?"

Prof Feliks Tans, Guru besar Universitas Cendana (Undana) menemukan sejumlah ketimpangan praksis UN antara kecerdasan dan pembiaran kebodohan. Ada dua pokok argumentasi Prof Feliks yang bisa didalami. Pertama,sistem pendidikan nasional yang terlalu membias, belum fokus pada bidang-bidang khusus.

Para pelajar SD belajar menghitung, membaca dan menulis. Di kelas yang lebih tinggi, para pelajar diarahkan pada pelajaran yang sesuai dengan bakat, minat dan kebutuhan mereka.

Kedua, pengembangan pendidikan berdasarkan bakat dan minat. Ujian hanyalah salah satu cara agar pelajar itu dapat berkembang secara maksimal dalam bidang yang diminatinya.

Seorang pengawas Sekolah dalam rapat Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) di Manggarai pernah mengajukan keberatan atas jadwal ujian yang bertubi-tubi sejak Februari hingga April. Dasar keberatan yang paling penting adalah tingkat kejenuhan pelajar dengan ujian tanpa jeda mulai dari Try Out, Ujian Semester VI, USBN hingga UN.

Gagasan cemerlang Prof Feliks patut diapresiasi di tengah kejenuhan pelajar menghadapi ujian. Pendidikan seharusnya membahagiakan dan menggembirakan, karena ilmu pengetahuan tidak perlu didekati dan didalami dengan cara yang kaku apalagi menakutkan.

Berangkat dari sejarah ujian di negeri ini, maka kesimpulan yang paling kuat adalah perubahan nama dan isi ujian dari masa ke masa. Ujian era 2000-2018 memproduksi kegelisahan dan ketakutan dengan begitu banyak nama dan standar nilai.

Prosedur ujian pada era ini pun seakan tambal sulam. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) pun harus terus menerus memformulasikan UN yang ideal, namun akhirnya terjebak dalam utopia untuk menghapus UN itu sendiri.

Menemukan dialektika UN membuat kita akhirnya memahami perbedaan antara lulus dan lolos UN. Kita butuh perubahan untuk kecerdasan anak bangsa dalam dunia pendidikan. *

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved