Suka, Suku dan Saku, Ternyata Tiga Hal Itu yang Terjadi dalam Pilkada di NTT

Realitas itu merupakan sebuah kondisi sarkastik tentang politik; sebuah kritikan tajam dan pedas tentang dinamika politik berikut

Editor: Dion DB Putra

Oleh: Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi FISIP Undana; Peneliti Institut Sophia Kupang

POS KUPANG.COM -- Konstelasi politik 2018 memunculkan realitas masyarakat yang fragmentatif. Masyarakat terbelah menjadi banyak sekali kelompok politik. Semua kelompok itu jelas berlandaskan kepentingan tertentu.

Judul di atas merupakan kristalisasi pemahaman masyarakat di kampung tentang politik Indonesia dan juga NTT masa kini. Menurut masyarakat, politik Indonesia hanya dapat dipahami sejauh memahami rasa suka, mengenal suku dan soal isi saku seseorang.

Realitas itu merupakan sebuah kondisi sarkastik tentang politik; sebuah kritikan tajam dan pedas tentang dinamika politik berikut embel-embel di belakangnya.

Dengan bahasa yang agak berbeda, pernyataan masyarakat di atas sebenarnya ingin menyampaikan pesan kepada elit politik di negara ini untuk sedikit mempraktikkan nilai politik berbasis etika.

Masyarakat, yang kerap dinilai oleh elit politik sebagai entitas yang tidak tahu apalagi paham politik, sedang mengajarkan kebijakan politik untuk sebuah kebajikan politik sebagai ujung akhirnya. Sasarannya adalah elit politik dan semua orang yang mengaku paham politik itu.

Pernyataan masyarakat tersebut sulit dibantah oleh manusia politik Indonesia. Rumusan bahwa popularitas (suka) merupakan fungsi dari bekerjanya etnis (suku) dan sumber daya ekonomi (saku) mendapat pendaratan praksisnya di level politik lokal dan nasional.

Di level demikian, politik tidak lagi dipahami sebagai sebuah obyek yang rasional tetapi menjadi entitas yang sungguh emosional.

Ketidaksadaran Politik

Dalam The Political Unconscious: Narrative as a Sosially Symbolic Act, Jameson (1981) mengatakan bahwa perilaku manusia harus dimengerti tidak hanya dalam wujudnya yang kelihatan.

Makna perilaku apa pun dari entitas yang disebut manusia wajib ditelusuri lebih intens dalam hubungannya dengan konteks sosial. Konteks sosial wajib disertakan karena penilaian obyektif tentang perilaku manusia akan sulit mencapai sempurna jika hanya menyelami realitas yang kelihatan dan mengabaikan fakta di balik perilaku yang sama.

Itulah yang oleh Jameson disebut sebagai sisi ketaksadaran manusia.
Menurut Jameson, realitas ketidaksadaran bisa juga dipakai untuk melacak dan memeriksa motif politik seseorang.

Sebagai entitas cerdas, manusia pasti memiliki beragam motif dalam setiap tindakan yang dilakukannya. Makna dari tindakan politik manusia politik akan sulit ditemukan jika kita hanya melihat wujud perilaku yang kelihatan.

Perilaku lahiriah manusia harus dihubungkan dengan konteks sosial kehadiran perilaku. Di sini, dibutuhkan analisis mendalam dan intens agar makna paripurna bisa diperoleh dengan amat terang.

Epstein (1994) dalam Radical Expression: Political Language, Ritual, And Symbol In England, 1790-1850 menyebutkan dua hal yang melatarbelakangi perilaku politik seseorang atau kelompok.

Pertama, sebagai ekspresi politik semata karena dirangsang oleh situasi tertentu.
Kedua, karena sebab tersembunyi dalam relasinya dengan situasi sosial yang dialami oleh seseorang atau kelompok.

Dalam kategori itu, yang pertama berkaitan dengan perilaku nyata yang nampak atau yang kelihatan dan yang kedua berhubungan dengan motif tersembunyi di balik perilaku tertentu.

Di bagian pertama, beragam ucapan, tindakan dan perilaku merupakan ungkapan langsung seseorang karena dipengaruhi oleh diskursus atau wacana tertentu.

Perilaku yang tampak dalam kategori pertama akan menunjukan motif asli. Sebaliknya, di bagian kedua, aspek dramaturgi kental ditunjukan di sana. Dengan kata lain, perilaku tampak hanyalah simbolisasi dari keinginan tersembunyi dari seseorang.

Konteks Kita

Pemahamn elit politik tentang politik bisa dijelaskan dengan dua konsep politik dari dua ahli politik di atas. Setiap yang ingin masuk ke ruang politik dan ingin sukses di arena politik, dengan beragam motif yang meliputinya harus bisa memanfaatkan suku dan menggunakan semua sumber daya.

Di level itu, mudah dipahami mengapa kemudian, etnis dan agama masih saja ditarik masuk ke dalam politik oleh elit politik.

Untuk konteks politik liberal masa kini, etnis dan juga agama seakan menjadi seksi dan cantik. Politik lokal dan nasional menjadikan etnis dan agama sebagai komoditas yang dijual ke masyarakat. Pembangunan jaringan politik dan penggunakan berbagai sumber daya ekonomi demikian disebut relasi patron-klien dalam politik.

Dalam relasi demikian, politik tidak akan dimanfaatkan untuk tujuan kepentingan bersama. Politik kemudian digiring ke lorong sempit kepentingan pribadi dan kelompok. Ini soal besar kita.

Menurut Sabl (2002) elit politik dan elit kekuasaan bahkan tidak hanya mengabaikan hasil politik tetapi sekaligus proses. Setiap kepala elit politik memang memiliki pemahaman yang berbeda tentang proses politik.

Karena perbedaan itulah maka mereka cenderung memiliki pandangan beragam tentang mekanisme politik. Karena itu, oleh sebagian elit, etnis, agama, hewan, kendaraan dan lain-lain bisa dimasukan ke lorong-lorong politik untuk sampai ke tujuan akhir yakni kekuasaan.

Di sana, etika politik jelas menjadi aspek yang harus disingkirkan. Etika politik hanya akan menjadikan elit politik mati karena idealisme politik tanpa ampun. Menurut Sabl, di situlah letak kecerobohan banyak elit politik masa kini.

Kelupaan akan etika sebenarnya bagian dari sisi gelap elit yang harus terus diperiksa oleh semua pihak agar tidak menjadi pemimpin politik di suatu saat nanti.

Implikasinya, masyarakat terjebak dan terbelah ke dalam kelompok-kelompok politik tertentu. Masyarakat terpecah ke dalam klik-klik yang sengaja dibangun elit politik. Maka, keamanan sosial menjadi taruhan utama di sini.

Itulah alasan mengapa kemudian, di setiap kontestasi politik, selalu ada anggaran keamanan. Di sana, teman-teman kepolisian diberi awasan bahwa politik selalu memunculkan gejala fragmentatif. Politik, terutama di Indonesia, selalu mendatangkan malapeta sosial.

Pertanyaan kemudian adalah apakah tugas keamanan hanya menjadi tanggung jawab Polri? Tidak.

Di sini kita harus menggugat elit politik. Sebab, politik mengandaikan adanya kualitas proses di dalamnya. Dengan demikian, keamanan masyarakat menjadi tanggung jawab lembaga politik.

Suka, Suku dan Saku adalah deretan kata yang harus selalu diingat dan terus mengiang di telinga dan pikiran elit politik Indonesia dan NTT masa kini. Bahwa kualitas politik tidak bisa ditentukan seberapa kuat rasa emosionalitas kita pada etnis dan seberapa banyak uang yang ada di saku.

Kualitas politik ditentukan seberapa sering elit politik merumuskan dan mempraktikkan kebijakan politik pro rakyat.

Di atas semua itu, keamanan nasional harus ditempatkan sebagai nilai bersama. Daerah ini sudah miskin. Menjadi aneh ketika kemiskinan masyarakat NTT kemudian dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan.

Dalam langgam yang sama, ketika masyarakat terbelah, beban sosial masyarakat jelas bertambah. Sebab, selain sibuk mengurus perut, masyarakat harus disibukan dengan soal keterpecahan sosial.

Karena kontestasi politik di 2018 memiliki cakupan yang luas, tugas keamanan jelas tidak hanya menjadi tanggung jawab Polda NTT dan atau Kepolisian Resort di 10 kabupaten yang berkontestasi.

Masyarakat harus sadar bahwa beban sosial kita semakin besar. Ongkos sosialnya terlalu besar jika masyarakat NTT pecah dan berantakan. *

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved