Jangan Pernah Melupakan Tragedi Selat Pukuafu 31 Januari 2006
Itu rute pelayanan rutin setiap hari, berangkat dari Kupang petang hari. Kapal yang dinahkodai Marianus Koten
Para petinggi waktu itu adalah Gubernur NTT, Piet A. Tallo, Wakil Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, Danrem 161 Wirasakti-Kupang, Kolonel (Inf) APJ Noch Bolla, Kapolda NTT, Brigjen (Pol) RB Sadarum, Ketua Satkorlak NTT, Frans Salem, Walikota Kupang SK Lerik, Wakil Walikota Kupang, Daniel Adoe.
Siapapun yang menulis sejarah saat mereka mendapat kepercayaan untuk mengayomi masyarakat NTT, jangan pernah lupa catatan peristiwa kelam ini.
Laut adalah anugerah Tuhan bagi manusia. Cuaca adalah asesorisnya. Manusialah yang memiliki kearifan untuk mengelola anugerah itu.
Dalam peristiwa hukum ini tidak ada yang dihukum. Alam lah yang bersalah. Padahal bukan alam yang menandatangani ijin berlayar. Bukan alam yang punya otoritas di birokrasi yang bersinggungan dengan urusan pelayaran.
Dalam kasus ini, banyak informasi beredar liar. Banyak gosip seputar proses terbitnya izin berlayar. Tidak begitu saja ditandatangani surat izin berlayarnya.
Dokumen kapal dan persyaratan teknis lain sesuai aturan apakah sudah benar-benar diperiksa, tidak sekadar dokumen tertulis. Ibarat kir kendaraan, harus benar-benar mengecek fisiknya, bukan buku kirnya. Begitu juga mekanisme dan aturan menyangkut dokumen manifes penumpang.
Pengalaman berlayar dengan feri milik ASDP saya selalu menyaksikan ada penumpang yang naik kapal tanpa tiket. Lalu saat petugas memeriksa tiket, banyak penumpang yang membayar tunai di atas kapal.
Bukan soal pertanggungjawaban uang itu, tapi bagaimana penumpang kapal diedukasi apa manfaatnya jika memiliki tiket dan namanya terdaftar dalam manifes penumpang. Selain itu harus ada kejelasan mengenai siapa pejabat yang berhak dan memiliki kompetensi untuk menandatangani surat izin berlayar.
Para penumpang kapal feri juga sebaiknya pada saat berlayar, perlu diprogramkan simulasi bagaimana menyelamatkan diri bila terjadi kecelakaan di laut. Atau secara rutin mempraktekkan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi kecelakaan di laut.
Seperti para pramugari yang selalu memperagakan bagaimana memakai "life jacket" dan bagaimana meninggalkan kapal. Dalam kasus tenggelamnya JM Ferry, diduga banyak penumpang tenggelam akibat tersedot arus saat kapal tenggelam.
Banyak kasus-kasus kecelakaan laut, baik kapal tenggelam, kapal terbakar atau lainnya, harus menjadi pelajaran berharga untuk melakukan evaluasi untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan berlayar.
Tanggal 31 Januari sudah berlalu kemarin. Apakah kita sudah melupakan peristiwa itu?
Mungkin masih ada air mata yang menetes dari keluarga yang kehilangan orang-orang terkasihnya saat mengenang peristiwa 12 tahun lalu itu.
Peristiwa itu kiranya memberikan peringatan kepada penguasa pemberi ijin berlayar, penerbit informasi cuaca dan para awak kapal, dan semua yang mempunyai kewenangan hingga kapal boleh berlayar, agar tidak ada lagi nyawa melayang sia-sia hanya karena sebuah kelalain sederhana.
Semoga saat ini tidak ada lagi praktik ada penumpang tidak tercatat dalam manifes pelayaran. Jangan ada penumpang yang bangga dan bahagia bila ikut berlayar secara cuma-cuma dan namanya tidak tercatat sebagai penumpang dalam manifest resmi kapal.