Selamat Menikmati Resolusi Raknamo
Bendungan Raknamo adalah bendungan pertama yang rampung dari sebanyak 49 bendungan yang direncanakan dibangun
Ia harus menjadi antitesis dari persoalan pembangunan infrastruktur yang cenderung bagus di beberapa tahun pertama, setelah itu malah jadi monumen kegagalan yang tidak dirawat dan dimanfaatkan lagi.
Kita mesti berkaca dari tata kelola bendungan Tilong yang tidak memberikan manfaat bagi warga desa Bokong yang persis di belakang bendungan itu yang justru puluhan tahun berada dalam masa-masa sulit mendapatkan air bersih dan air minum.
Untuk kepentingan asas manfaat itu, Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara (BWS NT) II Provinsi NTT tahun 2017 telah melakukan pekerjaan bangunan induk dan saluran primer sepanjang hampir 10 kilometer dengan dana Rp 36 miliar.
Pekerjaan itu akan dilanjutkan tahun 2018 berupa pekerjaan pembangunan jaringan irigasi dari bendungan Raknamo sepanjang kurang lebih 7 kilometer dengan dana APBN senilai Rp 37 miliar. Pekerjaan ini belum selesai.
Pada tahun 2019 masih ada pekerjaan jaringan skunder kurang lebih lima kilometer dan pekerjaan saluran tersier. Itu berarti, sampai dengan tahun 2019, rakyat belum dapat memanfaatkan air bendungan Raknamo karena jaringan sekunder dan tersiernya belum selesai.
Ini menjadi catatan bagi Pemerintah. Semestinya, jaringan sekunder dan tersier atau jaringan irigasi juga dikerjakan kurang lebih dalam masa pengerjaan bendungan.
Tujuannya adalah ketika bendungan selesai dibangun, jaringan irigasinya juga selesai dan bisa langsung dialiri ke lahan pertanian rakyat. Asas manfaatnya langsung dirasakan. Bukan menunggu beberapa tahun kemudian.
Belum lagi, ketika gubernur dan bupati setempat tidak merespons percepatan ini dengan membangun jaringan sekunder atau tersier yang berada dalam kewenangan mereka. Maka, sumber air pun tetap masih jauh.
Embung Penting
Hadirnya 7 bendungan di NTT dari total 49 bendungan se-Indonesia patut disyukuri. Namun, kita mesti realistis bahwa 7 bendungan ini tidak dapat menyelesaikan krisis air di NTT. Sebagai provinsi kepulauan, NTT mesti ditopang dengan hadirnya semakin banyak embung-embung berskala sedang dan kecil.
Provinsi NTT mempunyai keadaan iklim yang tergolong daerah tropis kering (semi arid) dengan curah hujan rata-rata 1,200 mm/tahun.
Musim hujan biasanya terjadi pada pertengahan bulan Desember hingga bulan Maret dengan intensitas curah hujan yang tinggi dalam durasi waktu yang pendek, sehingga sering menimbulkan banjir.
Sedangkan delapan bulan lainnya berlangsung musim kemarau yang menyebabkan debit sumber air menurun drastis, daerah pertanian mengalami kekeringan, pasokan air baku tidak memenuhi kebutuhan penduduk perkotaan maupun perdesaan.
Sementara, kebutuhan air bagi masyarakat NTT adalah 1,3 milliar kubik/tahun. Namun potensi air di NTT yang belum dimaksimalkan dan terbuang percuma 16,7 miliar kubik.
NTT adalah salah satu daerah yang curah hujannya sedikit. Setiap tahun El Nino menghampiri. Panas berkepanjangan. Efeknya adalah kekeringan, gagal tanam. Persoalan yang rutin setiap tahun ini menjadi pergumulan banyak pihak, baik pemerintah, legislator maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat.